Ada sebuah kisah ibrah, pelajaran yang berharga. Seorang raja dikabari tentang sosok shalih ahli ibadah. Suatu kali sang raja memberi tahu ajudannya akan menemui ahli ibadah itu untuk memperoleh “berkah” kebajikannya. Tibalah saat yang dijadwalkan. Tapi alangkah kecewa raja itu karena menemukan abid yang shaleh itu tengah makan di pinggir jalan.
Ketika ditemui raja, si ahli ibadah itu menanggapinya dingin sambil tetap makan. Raja marah, lalu bergegas sambil mengumpat: “Sungguh orang ini tak ada kebaikan sedikit pun!”. Ahli ibadah itu lega hatinya, seraya berujar: “Alhamdulillah, aku bebas telah dijauhkan dari orang itu, dia pulang dalam keadaan mencercaku”.
Rupanya, ahli ibadah itu sengaja bertingkah menjadi orang yang tampak urakan tatkala didatangi raja yang niatnya hanya untuk “ngalap berkah” atau mencari “berkah” dari keshalihannya. Padahal, hal seperti itu tidak sejalan dengan keyakinan akidahnya. Si ahli ibadah itu ingin tetap seperti orang biasa dan tidak ingin dianggap seperti orang suci.
Ahli ibadah itu tidak ingin tampak semuci, orang yang suka menampak-nampakkan kesuciannya. Dia teringat akhlak Imam Abu Hanifah, yang menolak ketika orang pada minta dido’akan olehnya. “Bila saya berdo’a untuknya, maka siapakah yang akan mendo’akan diriku?”, ujar salah seorang imam madzhab yang dikenal ahlu ra’yu itu. Bukan tidak ingin mendo’akan orang lain, tetapi sang Imam tidak ingin dirinya disakralkan atau dianggap suci.
Sikap semuci memang tidak dikehendaki Allah. Lebih-lebih jika sikap merasa diri paling tahu agama, shalih, dan alim itu dalam praktiknya sering tidak sejalan antara kata dan laku. Allah berfirman, yang artinya: “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (Qs Al-Baqarah [2]: 44).
Berbeda dengan ahli ibadah yang rendah hati dan tidak ingin menampakkan kealiman atau keshalihannya. Saat ini, tidak jarang orang-orang yang tampak ahli agama dan ahli ibadah terlihat ironi berperilaku, “lain di kata, lain tindakan”. Sehari-hari cermat mengawasi akidah, akhlak, dan perbuatan orang lain dari penyimpangan. Malah, sering orang lain dianggapnya sekuler, bukan ulama, dan tidak agamis. Dirinya yang agamis atau Islami dalam segala hal.
Namun, perangainya tidak jarang jauh panggang dari api keshalihan dan kealiman dari yan sering ditampakkannya secara lahir. Melarang orang politis, sehari-hari sadar politik dan kekuasaan. Agama, pengajian, dan hubungan antar kaum shalih dan alim sering digunakan untuk kepentingan ambisi diri atau kelompoknya tanpa rasa sungkan. Para ahli agama dan alim malah gemar politik keagamaan. Lalu, menjadi tidak beda atau sama saja perangainya dengan orang-orang sekuler yang ditabukannya.
Memang, tidak mudah merawat kebersihan hati, agama, dan kebajikan dengan ikhlas dan istiqamah. Ujian hal-hal yang ruhaniah itu justru terjadi di kala menghadapi godaan nafsu, ambisi, dan kejayaan duniawi. Alasan berbuat “sekuler” itu justru sering dilakukan atasnama agama, dakwah, dan firman Ilahi. Itulah dunia kehidupan yang ternyata berlaku umum untuk siapapun, bahwa dunia dengan segala ambisinya dapat membelokkan insan beriman dari jalan benar dan lurus.
Maka, jagalah keikhlasan dalam beragama maupun dalam menjalani kehidupan berbekal agama. Orang beriman jangan menyerupai perangai orang kafir dan munafik. Apalagi jika insan beriman itu berilmu agama dan penyebar risalah agama, sungguh dituntut keikhlasan yang melampaui untuk menjadi uswah hasanah (teladan yang baik), bukan uswah sayi’ah (contoh buruk). Allah mengingatkan insan beriman dan ahli ibadah, melalui firman-Nya yang artinya “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Qs Al-Bayinah [98]: 5). (A. Nuha)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 12 Tahun 2015