Jejak Tradisi Iqra Warga Persyarikatan

majelis pustaka

Foto Bibliotieek Muhammadiyah 1927 (Dok. Pusdalitbang SM)

Pada Juli tahun 1920, delapan tahun setelah Muhammadiyah berdiri, KH Ahmad Dahlan telah mendirikan empat lembaga dalam Muhammadiyah. Salah satunya adalah Majelis Taman Pustaka yang pada saat itu dipimpin oleh KH Mokhtar. Tujuan awal dari didirikannya Majelis Taman Pustaka ialah untuk menyiarkan dan menyebarkan agama Islam dengan selembaran cuma-cuma, mencetak majalah bulanan atau setengah bulanan secara berkala, dan mengadakan buku-buku keislaman yang dapat dipinjam atau dibeli oleh masyarakat.

Majelis Taman pustaka pada saat itu tidak hanya menyediakan buku-buku yang mengandung pelajaran keislaman, namun juga menyediakan buku-buku yang memuat ilmu-ilmu pengetahuan umum yang berguna bagi kemajuan masyarakat, bangsa dan negara tanpa harus bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Pada masa awal berdirinya Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan sangat menyadari bahwa untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya maka dibutuhkan tradisi membaca (Iqra’) di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah. Tradisi membaca menjadi hal yang sangat penting jika kita ingin belajar dari Negeri Matahari Terbit (Jepang) yang didapuk sebagai salah satu negara maju di wilayah Asia bahkan dunia.

Ada beberapa karakter atau ciri masyarakat di negara maju. Salah satu ciri terpenting adalah kecintaan yang tinggi kepada ilmu pengetahuan. Ekspresi paling nyata terhadapat kecintaan tersebut adalah kuatnya tradisi membaca. Di Jepang, kalau kita menaiki angkutan umum, hanya kita dapati dua pemandangan: pertama, orang membaca. Membaca bisa sambil duduk atau dengan berdiri bagi mereka yang tidak mendapatkan tempat duduk. Kedua, orang tidur. Bagi orang Jepang tidur berarti istirahat, setelah bangun dan merasa segar, mereka akan kembali membaca. Buku dan membaca sudah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari orang-orang di negara maju.

Tarikh Islam sesungguhnya mengajarkan kepada kita tentang kuatnya tradisi membaca kaum muslimin ketika negeri mereka menjadi pusat peradaban dunia pada periode klasik. Buah dari kuatnya tradisi membaca ini antara lain adalah lahirnya para ulama dan ilmuwan muslim dengan karya-karyanya yang sangat menakjubkan. Mereka adalah para pecinta ilmu dalam berbagai disiplinnya: fiqh, tasawuf, filsafat, matematika, kimia, astronomi, dan juga kedokteran.

Jika tradisi membaca dijadikan sebagai ukuran, maka banyak hal harus diusahakan dengan serius dan berkelanjutan, salah satunya menanamkan kecintaan terhadap ilmu sejak dini melalui personal, keluarga, masyarakat hingga negara. Agama Islam sangat mementingkan tradisi membaca. “Iqra” adalah kata pertama yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad saw memiliki makna perintah untuk membaca. Jadi, membaca bagi seorang muslim adalah bagian dari kesempurnaan keislamannya.

Dengan demikian, rasanya sulit bagi seorang muslim khususnya warga Muhammadiyah untuk mengaku sebagai umat yang maju jika malas untuk membaca. Karena tradisi membaca memang tuntutan kemajuan dan pintu gerbang kejayaan. (diko)

Exit mobile version