Menjaga Akidah Islam dengan Amal Shalih

“Tidak mungkin Islam lenyap dari seluruh dunia, tapi tidak mustahil Islam hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang bertanggungjawab?”

Pernyataan KH. Ahmad Dahlan tersebut sangat inspiratif dan setidak-tidaknya mengandung tiga pesan penting. Pertama, masa depan Islam di Indonesia bisa “mengkhawatirkan”, bahkan tidak tertutup kemungkinan Islam bisa sirna (lenyap) dari bumi Indonesia, jika umat Islam tidak bersatu dan tidak berjuang bersama-sama dalam memajukan Islam atau mewujudkan Islam yang berkemajuan. Kekhawatiran KH. Ahmad Dahlan ini sangat beralasan karena sejak masuknya Islam ke Indonesia hingga sekarang, lebih-lebih di era penjajahan, umat Islam Indonesia sangat rawan “dipecah-belah” dan diadu domba oleh pihak lain.

Kedua, siapakah yang bertanggungjawab terhadap masa depan Islam Indonesia? Tentu kita semua. Namun bagaimana umat Islam mempunyai “kendaraan atau sarana” untuk berjuang mengawal dan memajukan Islam Indonesia di masa depan? Oleh karena itu, KH Ahmad Dahlan terpanggil untuk mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi dan gerakan dakwah amar makruf nahi munkar. Menurut beliau, Islam berkemajuan tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya gerakan dan organisasi yang rapi dan modern.

Perjuangan umat Islam tidak akan efektif jika masing-masing bergerak dan berjuang sendiri-sendiri, tanpa diwadahi oleh sebuah gerakan yang terorganisir dengan visi dan misi yang jelas. Tampaknya ayat berikut ini menjadi spirit gerakan KH Ahmad Dahlan ini dalam mendirikan Muhammadiyah dan memperjuangkan masa depan Islam berkemajuan di Indonesia.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung,” (Qs Ali Imran [3]: 104).

Ketiga, orientasi, wajah, dan prospek Islam dan umat Islam di Indonesia sangat ditentukan oleh seberapa besar umat Islam “tergerak dan kompak” untuk menyelesaikan masalah-masalah yang diwariskan oleh penjajahan masa lampau, yaitu: kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan kemunduran peradaban. Melalui pernyataan tersebut, KH Ahmad Dahlan seolah menyentil kita semua bahwa Islam Indonesia itu sesungguhnya berpotensi menjadi “kiblat Islam dunia” jika mampu bertahan dan berkembang pesat dalam menghadapi berbagai tantangan zaman.

Dan kata kuncinya adalah spirit reformasi di segala aspek kehidupan melalui kerja kolektif yang terorganisasi rapi dan modern. Karena itu, gagasan berislam dengan “kendaraan Muhammadiyah” merupakan salah satu jalan atau cara mengawal dan memajukan Islam Indonesia.

Visi, misi, dan cita-cita Muhammadiyah untuk mewujudkan Islam berkemajuan dalam bingkai masyarakat Indonesia merupakan spirit gerakan dan perjuangan yang perlu diapresiasi dan diaktualisasikan. Dalam konteks ini, masa depan Islam Indonesia dapat didekati pemahamannya melalui metodologi tafsir “teologi Al-Ma’un” yang pernah diperkenalkan KH Ahmad Dahlan kepada para muridnya.

Metodologi ini tampaknya merupakan sebuah kerangka pemahaman dan keyakinan kuat untuk menjadikan Islam itu membumi dan menginspirasi semua, bukan sekadar menampilkan “Islam wacana” tanpa kerja dan karya nyata. Model tafsir surat AlMa’un yang diajarkan oleh KH Ahmad Dahlan kepada para muridnya tidak hanya berupa pemahaman kognitif, tetapi bagaimana pemahaman akal itu diaktualisasikan menjadi perbuatan dan karya kemanusiaan kontekstual.

Teologi Al-Ma’un menghendaki kita mampu memadukan gerakan pemikiran sekaligus gerakan perubahan menuju kemajuan peradaban yang agung. Ayat-ayat Qur’aniyyah harus dipadukan dan diimplementasikan secara proporsional dengan ayat-ayat kawniyyah dan ijtima’iyyah (alam dan sosial).

Jadi, Islam berkemajuan dapat ditransformasikan dalam proses menuju masa depan Islam Indonesia berkemajuan jika didukung oleh adanya gerakan pemikiran dan peradaban (gerakan ide, pengembangan ilmu, riset, dan pendidikan) dan dipadukan dengan gerakan amal nyata melalui pemberdayaan institusi yang efektif dan dinamis, sekaligus penguatan budaya keummatan yang kokoh dan produktif, seperti: budaya malu, budaya membaca, budaya menulis, budaya berkarya, budaya beramal shalih, dan seterusnya.

Muhbib Abdul Wahab, Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 12 Tahun 2015

Exit mobile version