Pengajian Tarjih ke-78: Kaidah Fikih sebagai Jalan Menentukan Hukum

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pengajian Tarjih Muhammadiyah edisi 78 membahas tema tentang kaidah-kaidah fikih. Kajian tersebut disampaikan oleh Drs. H. Dahwan, M.Si, Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Rabu, 5 Februari 2020.

Dahwan menjelaskan kaidah fikih merupakan istilah yang digunakan oleh ulama fikih untuk mengembangkan cakupan suatu hukum. Definisi dari kaidah fikih adalah aturan yang dapat digunakan atau diterapkan pada sebagian besar kasus-kasus yang ada di dalamnya. Ada pun definisi yang lain yaitu peraturan umum yang dapat diterapkan pada persoalan hukum yang banyak. Sebagai contoh kasus, dalam keadaan darurat dan untuk menjaga keberlangsungan hidup, sesuatu yang hukumnya haram dapat berubah menjadi halal.

Di dalam kaidah fikih, terdapat lima kaidah pokok sebagai jalan pintas untuk menemukan hukum dari suatu kasus yang terjadi. Kelima kaidah pokok tersebut adalah. Pertama, bahwa segala persoalan atau perkara tergantung pada niatnya karena tidak ada pahala kecuali dengan niat. Contoh, seseorang yang tidak dapat melaksanakan jamaah di masjid karena adanya suatu halangan, padahal ia berniat untuk melakukannya andaikan tidak ada halangan, maka ia mendapatkan pahala jamaah.

Kaidah yang kedua, sesuatu yang telah diyakini tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan. Maksud dari kaidah tersebut adalah jika seseorang telah yakin berbuat sesuatu dan ia merasa ragu maka pada dasarnya ia telah melakakan perbuatan tersebut sampai datang padanya buktu nyata bahwa ia belum melakukannya.

Lanjutnya, kaidah yang ketiga, bahwa kemudharatan atau sesuatu yang berbahaya itu dapat dihapuskan. Segala sesuatu yang membahayakan atau menyebabkan kerusakan pada pikiran, perasaan, jasmani, maupun rohani harus dihilangkan. Kemudharatan membolehkan hal-hal yang sebelumnya dilarang dengan syarat menolak kerusakan harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan.

Kaidah yang keempat, kesukaran itu dapat menarik kepada kemudahan. Karena Allah swt menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran kepada hambanya. Apabila suatu perkara itu sempit, maka hukumnya menjadi luas dan sebaliknya. “Semua yang melampaui batas, maka hukumnya kembali pada kebalikannya,” ujarnya di Masjid Gedhe Kauman.

Dan kaidah yang terakhir, bahwa adat kebiasaan dapat dijadikan sebagi sumber hukum. Sesuatu yang telah terkenal menurut kebiasaan, seperti sesuatu yang disyaratkan dengan suatu syarat, maka apa yang telah ditetapkan oleh kebiasaan itu seperti ketetapan dalam nash.

Dari kelima kaidah pokok tersebut berguna untuk mencari serta menetapkan hukum secara lebih cepat. “Barang siapa yang menguasai usul fiqih maka ia akan mengetahui segala jalan dalam pengambilan atau penetapan suatu hukum. Dan barang siapa yang menguasai kaidah-kaidah fiqih maka ia akan menemukan hukum dari suatu permasalahan secara cepat,” tutupnya.(diko)

Exit mobile version