Sabtu sore adalah momen yang paling dinanti oleh kebanyakan anak muda, tak terkecuali bagi para pelajar. Setelah enam atau lima hari beraktivitas rutin di sekolah, berangkat sebelum pukul 07.00 dan pulang di atas pukul 14.00, mereka memanfaatkan momen malam minggu untuk mencari hiburan. Sebagian dari mereka jalanjalan dan nongkrong bareng teman-teman sepermainannya, sebagian lainnya ikut rekreasi bersama orang tua, dan tidak sedikit pula yang memanfaatkan waktu itu untuk perayaan kebebasan pekanan, yang cenderung mengarah kepada hal-hal negatif.
Kegiatan berbeda justru ditampilkan oleh Komunitas Pelajar Mengajar (KPM) Surabaya, Jawa Timur, guna mengisi panjangnya malam minggu. Sejak berdiri pada tahun 2016, tiap Sabtu sore mereka rutin menyapa anak-anak dan masyarakat yang ada di pesisir Kota Pahlawan tersebut. Kegiatannya berupa pendampingan belajar dan pemberantasan buta huruf, serta pembudayaan hidup sehat bagi anak-anak dan masyarakat sekitar Pantai Kenjeran. “Komunitas Pelajar Mengajar adalah komunitas yang fokus terhadap ekologi dan pengentasan buta aksara,” terang Fadhli Rahman Rinadi dari Divisi Media KPM saat dihubungi Suara Muhammadiyah baru-baru ini.
Secara umum, Fadhli menjelaskan, kegiatan KPM adalah belajar mengajar dan pemberdayaan masyarakat agar sadar lingkungan. Tapi, lanjutnya, sesekali KPM juga melakukan study tour, mengajak anak-anak jalan-jalan sembari belajar. “Kadang kita juga kedatangan tamu (pengajar) dari komunitas dan lembaga lain, dan setelah melihat aktivitas kami kebanyakan tamu mengajak kerjasama guna pengembangan komunitas,” imbuh siswa kelas 12 SMA Muhammadiyah 10 Surabaya itu.
Hebatnya, puji Ketua ASBO (Apresiasi Seni Budaya dan Olahraga) PP IPM Fathya Fikri Izzudin, komunitas yang didirikan oleh Pimpinan Daerah IPM Surabaya melalui sekolah advokasi ini sudah memiliki desa binaan. Tidak hanya itu, sambungnya, kegiatan pemberdayaan yang berawal dari gerakan mencuci tangan, sadar lingkungan, hingga cara pengelolaan sampah, kini mulai berbuah dengan lahirnya bank sampah yang mereka kelola. “Aktivitasnya tidak monoton belajar mengajar, tapi beragam dan luwes,” sanjung Fikri atas apa yang dilakukan KPM.
KPM sendiri, Fadhli menceritakan, lahir dari sebuah keprihatinan para pelajar yang tergabung pada sekolah advokasi IPM Surabaya. Mereka prihatin atas banyaknya kenakalan yang dilakukan oleh pelajar yang justru mengarah kepada hal berbau kriminal serta kian meningkatnya sikap individualisme yang mengurangi kepekaan pada persoalan sosial. “Dua tahun berjalan, komunitas ini membuktikan diri sebagai wadah yang baik untuk pelajar berkegiatan sekaligus sarana berbakti kepada masyarakat,” ucap Fadhli. (gsh)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 7 Tahun 2018