Imam Hanafi: Penyusun Kitab Fiqih Pertama

Imam Hanafi: Penyusun Kitab Fiqih Pertama

Dok Madina 365

“Barangsiapa belum membaca buku-buku Abu Hanifah, maka ia belum memperdalam ilmu, juga belum belajar fiqih.” (Imam Syafii)

Imam Abu Hanifah adalah anak seorang pedagang. Satu-satunya Imam Madzhab yang bukan dari keturunan Arab. Ia keturunan Persia, atau disebut juga dengan Bangsa Ajam. Imam yang memelopori pentingnya ijtihad, termasuk dengan logika. Imam Madzhab yang mula pertama kitab fiqih secara sistematis. Sayangnya, nasib tragis mengiringi kematiannya.

Postur badannya sedang. Jelas dalam berbicara. Suaranya bagus dan enak didengar. Wajahnya khas Persia. Selalu memakai minyak wangi ketika berpakaian. Ramah dan kasih sayang dalam bergaul. Disegani dan tidak mau membicarakan hal-hal yang tidak berguna. Jika berdoa, selalu bercucuran air mata

Abu Hanifah memiliki nama asli Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi. Ia lahir di Kufah, Irak, pada 80 H / 699 M. Nu’man kecil sering mendampingi ayahnya berdagang sutra. Tidak seperti pedagang lainnya, Nu’man memiliki kebiasaan pergi ke Masjid Kufah. Buah dari kecerdasannya, ia menghafal al-Qur’an serta ribuan hadits dalam waktu tidak terlalu lama.

Pada masa-masa belajar, Nu’man sudah terlihat kecemerlangan otaknya. Ia telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan. Utamanya hukum Islam. Nu’man sering melibatkan diri dalam dialog tentang ilmu kalam, tauhid, dan metafisika. Ia pun menghadiri kajian hadits dan periwayatannya. Di kemudian hari, ia memiliki andil besar dalam bidang ini.

Saat itu, Iraq (termasuk Kufah) disibukkan dengan tiga halaqah keilmuan. Halaqah yang membahas pokok-pokok aqidah. Halaqah tentang Hadits Rasulullah (metode dan proses pengumpulannya dari berbagai negara, serta pembahasan dari perawi dan kemungkinan diterima atau tidaknya pribadi dan riwayat mereka). Halaqah masalah fiqih dari al-Qur’an dan Hadits, termasuk membahas fatwa untuk menjawab masalah-masalah baru yang muncul saat itu, yang belum pernah muncul sebelumnya.

Setelah menjelajahi banyak bidang keilmuan, ia memilih fiqih sebagai konsentrasi kajian. Ia mulai berguru kepada salah satu Syaikh ternama di Kufah. Ia menimba ilmu darinya hingga selesai. Nu’man sangat antusias menghadiri dan menyertai gurunya. Ia terkenal banyak bertanya, berdebat, dan bersikeras mempertahankan pendapatnya. Kadang membuat gurunya kesal. Saat berusia 16 tahun, Nu’man pergi ke Makkah, menunaikan ibadah haji dan berziarah ke Madinah. Dalam perjalanan ini, ia berguru kepada tokoh tabi’in, ‘Atha’ bin Abi Rabah, ulama terbaik di kota Makkah saat itu.

Menjadi Ulama

Abu Hanifah, yang kemudian dikenal dengan Imam Hanafi, adalah tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh secara sistematis. Ia menyusun berdasarkan kelompok bahasan: dari taharah, shalat, dan seterusnya. Sistematika ini kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, dan Imam Bukhari.

Suatu ketika, Syaikh Hammad meminta Abu Hanifah menggantikan posisinya sebagai pengajar, pemberi fatwa, dan pengarah dialog. Saat Syaikh Hammad wafat, ia pun mengganti seutuhnya posisi sang guru. Saat itu, Abu Hanifah berusia 40 tahun. Ketenarannya pun tidak terbendung, sebagai guru dan pemberi fatwa yang mencerahkan.

Imam Abu Hanifah menciptakan suatu metode dalam berijtihad. Ia melemparkan suatu permasalahan dalam suatu forum, kemudian ia mengungkapkan pendapatnya beserta argumentasinya. Ia akan membela pendapatnya di forum tersebut dengan menggunakan dalil dari al-Qur’an dan sunnah atau pun dengan logikanya. Cara ini menggiring Abu Hanifah dikenal sebagai pencetus metode optimalisasi logika.

Metode ini, menurutnya, sangat efektif untuk merangsang logika untuk terbiasa berijtihad. Sebuah metode dalam kerangka ilmu fiqih yang kemudian dikenal dengan Madzhab Hanafi. Baginya, istinbat hukum mesti didasarkan pada tujuh hal pokok: al-Qur’an, Sunnah Rasul, fatwa sahabat, qiyas, Istihsan, Ijma’, dan ‘urf. Ia pun menulis karya-karya besar dan istimewa: al-Fiqh al-Akbar, al ‘Alim Wa al-Mutam, dan Musnad al-Fiqh al-Akbar.

Kerendahan Hati Berbuah Jeruji

Kemasyhuran Imam Hanafi terdengar salah seorang menteri Khalifah Abu Ja’far al-Mansur. Ketika Khalifah membutuhkan seorang hakim, sang menteri pun menyodorkan nama Imam Hanafi. Berbekal optimisme yang tinggi bahwa tidak akan ada yang menolak tawaran yang diberikannya, Khalifah mengutus seseorang menemui Abu Hanifah untuk menghadapnya. Khalifah agak kaget ketika Abu Hanifah menjawab, “aku akan istikharah terlebih dahulu, meminta petunjuk kepada Allah. Jika hatiku dibuka maka akan aku terima. Jika tidak, maka masih banyak ahli fiqih lain yang dapat dipilih oleh Amirul Mukminin.”

Waktu telah berjalan lama, tetapi Abu Hanifah tak kunjung menghadap Khalifah. Khalifah pun mengutus lagi seseorang memintanya menghadap. Abu Hanifah pergi menghadap dan menolak jabatan hakim. Khalifah tidak menyerah begitu. Ia bahkan bersumpah agar Abu Hanifah menerima jabatan sebagai hakim. Akan tetapi, Abu Hanifah tetap berkeras menolaknya. Setelah berdebat lama dan Abu Hanifah tetap menolak, Khalifah pun tersinggung. Ia memerintahkan pengawalnya mencambuk Abu Hanifah seratus cambukan dan dijebloskan ke jeruji penjara.

Selang beberapa hari, Khalifah ditegur kerabatnya, “wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Anda telah mencambuk diri Anda dengan seratus ribu pukulan pedang.” Khalifah pun segera memerintahkan pegawainya membayar 30.000 dirham (sekitar Rp. 2,1 miliar), sebagai ganti deritanya. Khalifah membebaskannya dan memulangkan Abu Hanifah.

Di luar perkiraan Khalifah lagi, ternyata Abu Hanifah menolak “ganti derita” yang ia bayar. Khalifah makin marah. Khalifah memerintahkan menjebloskannya lagi ke penjara. Hanya saja, para menteri mengusulkan supaya Abu Hanifah segera dibebaskan. Abu Hanifah cukup diberi tahanan rumah saja. Dilarang duduk bersama masyarakat atau keluar dari rumah.

Akhir Hayat

Selang beberapa hari setelah menjalani tahanan rumah, ia terkena penyakit. Makin lama bertambah parah. Akhirnya ia wafat. Bulan Rajab 150 H dengan usia 70 tahun. Berita kematiannya segera menyebar. Salah seorang ulama Kufah berkata, “Cahaya keilmuan telah dimatikan dari kota Kufah, sungguh mereka tidak pernah melihat ulama sekaiber dia selamanya.” Kini, mufti dan faqih Irak telah tiada.

Jasadnya dikeluarkan, dipanggul di atas punggung kelima muridnya, hingga sampai tempat pemandian. Ia dimandikan al-Hasan bin Imarah. Al-Harawi menyiramkan air ke tubuhnya. Ia dishalatkan berpuluh-puluh ribu orang. Sebelum wafat, sang Imam berwasiat agar jasadnya dikuburkan di Kuburan Al-Khairazan. Pada masa Turki Utsmani, sebuah masjid di Baghdad didedikasikan untuk sang Imam. Masjid tersebut dinamai Masjid Imam Abu Hanifah.

Sepeninggal beliau, madzhab fiqihnya tidak redup dan terus dipakai oleh umat Islam, bahkan menjadi madzhab resmi beberapa kerajaan Islam seperti Daulah Abbasiyah, Mughal, dan Turki Utsmani. Saat ini, Madzhab Hanafi banyak dipakai di daerah Turki, Suriah, Irak, Balkan, Mesir, dan India. (ba; dari berbagai sumber)

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 6 Tahun 2015

Exit mobile version