Muhammad Rasyidi: Menteri Agama Pertama, Tokoh Muhammadiyah
MUHAMMAD RASYIDI, putera kelahiran Kotagede Yogyakarta 20 Mei 1915, adalah Menteri Agama pertama Republik Indonesia. Kementerian Agama berdiri 3 Januari 1946 masuk dalam susunan kabinet ke-2 (Kabinet Syahrir). Usul didirikan Kementerian Agama diprakarsai oleh KH Abu Dardiri (Konsul Muhammadiyah Banyumas), KH Saleh Su’aidi, dan M. Sukoso Wiryosaputro mewakili Komite Nasional Indonesia (KNI) Karesidenan Banyumas yang disampaikan dalam sidang Badan Pekerja KNI Pusat.
Usul yang didukung oleh Mohammad Natsir, Dr Muwardi, Dr Marzuki Mahdi, dan M Kartosudarmo (semuanya anggota KNIP), setelah dibahas dalam sidang, disetujui oleh BPKNIP. Setelah itu, Pemerintah RI menindaklanjuti memasukkan Kementerian Agama dalam susunan kabinet. Dan Muhammad Rasyidi, aktivis Muhammadiyah, mendapat kepercayaan menjadi Menteri Agama pertama RI.
Muhammad Rasyidi ketika lahir, tujuh tahun setelah Hari Kebangkitan Nasional, oleh Atmosudigdo (ayahnya) diberi nama Saridi. Pergantian nama itu ada ceritera tersendiri. Saridi mendapat pendidikan dasar di Sekolah Muhammadiyah Kotagede. Sebagaimana kita ketahui, Kotagede yang terkenal dengan kerajinan peraknya adalah basis Muhammadiyah. Lalu ia meneruskan belajar ke Kweekshool Muhammadiyah.
Tapi tiada lama kemudian ia pindah ke Perguruan Al-Irsyad Al-Islamiyah Lawang, Malang di bawah asuhan Syekh Ahmad Syurkati (pendiri Al-Irsyad tahun 1914). Selain Syurkati, seorang alim yang berasal dari Sudan, guru-guru lainnya di Perguruan Al-Irsyad juga ada yang berasal dari Mesir dan Arab Saudi. Anak yang tekun, cerdas, dan dicintai guru-gurunya itu, oleh Syurkati kemudian diberi nama Muhammad Rasyidi. Sejak itu, nama Muhammad Rasyidi melekat pada dirinya.
Putera Kotagede, Muhammad Rasyidi mempunyai semangat belajar tinggi dalam menuntut ilmu. Ia buktikan berangkat ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan belajar. Sampai di Mesir, ia membatalkan niatnya, tidak masuk Universiatas Al-Azhar, tetapi masuk Universiatas Kairo. Ia memilih kuliah di Jurusan Filsafat sampai mendapat gelar B.A. Perubahan niatnya itu karena ia terpengaruh oleh saran teman terdekatnya, ialah A. Kahar Mudzakkir yang sama-sama dari Kotagede dan juga sedang kuliah di Mesir.
Setelah kembali ke Tanah Air, beberapa tahun kemudian, ia keluar negeri lagi melanjutkan study di Fakultas Sastra Universitas Sorbonne Paris. Pada tahun 1956, ia mendapat gelar doktor dari Universitas terkemuka itu. Setelah ia berhasil mempertahankan disertasi (berbahasa Perancis) yang berjudul (bila diterjemahkan) “Evolusi Islam di Indonesia : Tinjauan Kritik terhadap Kitab Centini”. Sebagai ilmuwan, ia menguasai empat bahasa asing : Arab, Inggris, Belanda, dan Perancis.
Tokoh terkemuka Indonesia ini, Prof Dr HM Rasyidi, mempunyai banyak pengalaman di bidang pendidikan. Menjadi guru besar Fakultas Hukum Universiatas Indonesia, guru besar Filsafat Barat di IAIN (sekarang UIN), dan dosen tamu McGill University, Montreal, Canada. Pengalamannya memberi kuliah bahkan telah dimulai sejak awal kemerdekaan menjadi dosen di Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta yang kemudian menjadi UII.
Setelah pulang dari Mesir, ia pun pernah mengajar di Ma’had al-islamy di Kotagede. Menteri Agama RI pertama ini, pernah menjadi Duta Besar Indonesia pertama di Kairo, Mesir. Mesir dan negara-negara di Timur Tengah adalah negara-negara awal yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Negara RI.
Selain aktif di Muhammadiyah, HM Rasyidi mempunyai pengalaman di bidang politik. Ia pernah aktif di Partai Islam Indonesia (PII) dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Kelahiran dua partai itu diprakarsai antara lain oleh Muhammadiyah. Bahkan Kongres Umat Islam pada tanggal 7 November 1945 yang melahirkan Masyumi berlangsung di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.
Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta tahun 1968, Prof Dr HM Rasyidi terpilih menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah masa jabatan 1968 – 1971. Peninggalannya yang bersifat monumental ialah Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM) yang diputuskan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo tahun 1969. Karena ia menjadi salah seorang perumusnya. Dan ia menjadi salah seorang Penasehat PP Muhammadiyah (1985 – 1995). (Muchlas Abror)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 15 Tahun 2015