GEMURUH tepuk tangan membahana di Stadion Lam Pineung, Banda Aceh, ketika Presiden Soeharto mengaku ia “bibit Muhammadiyah” yang ditanam di bumi Indonesia. “Tanpa tedheng aling-aling, saya ini bibit Muhammadiyah yang ditanam di bumi Indonesia; dan alhamdulillah memperoleh kepercayaan masyarakat Indonesia untuk memimpin pembangunan nasional. Semoga apa yang saya lakukan ini tidak mengecewakan warga Muhammadiyah,’’ kata Presiden usai menyampaikan pidato saat membuka Muktamar Muhammadiyah ke-43 itu. Kontan ribuan hadirin serentak berteriak “tidak”. Di kala remaja, Presiden bersekolah di SMP Muhammadiyah Yogyakarta, dan mengaji pada KH AR Fachruddin, yang kelak menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Demikian berita yang diimuat pada Media Indonesia Ahad Edisi: 9 Juli 1995 yang mengisyaratkan betapa dekatnya Jenderal Soeharto dengan Muhammadiyah. Para peserta Muktamar di Banda Aceh itu kemudian mencatat bagaimana para pejabat tinggi negara yang mendapat kesempatan berbicara di forum Muktamar kemudian ramai-ramai menyatakan diri dekat dengan Muhammadiyah. Menteri Penerangan Harmoko mengisahkan bagaimana di masa mudanya dulu ia aktif di sebuah Ranting di bilangan Senen. Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad menyatakan bahwa ia lahir di BKIA ‘Aisyiyah Solo. Wakil Presiden Try Sutrisno mengisahkan bahwa sekolahnya dekat dengan sekolah Muhammadiyah di Surabaya. Setiap hari ia kalau berangkat sekolah selalu melewati depan sekolah Muhammadiyah.
”Jadi saya cukup mengenal Muhammadiyah sejak dulu,” katanya. Dan di Muktamar Aceh pula muncul program Muhammadiyah akan mendirikan stasiun televisi. Persentuhan Soeharto dengan Muhammadiyah berlangsung sejak dini. Ia juga aktif di kepanduan Hizbul Wathan dan mulai mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng Kartini dan Pangeran Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa. Kalau ia menyebut dirinya sebagai bibit Muhammadiyah karena sejarah hidupnya memang mengatakan demikian. Sepanjang Jenderal Soeharto memerintah selama 32 tahun, dia selalu menyempatkan diri untuk hadir pada saat ada perhelatan penting di Muhammadiyah. Bukan hanya ketika ada Muktamar, ketika ada Sidang Tanwir pun, kalau dia diundang Soeharto selalu menyempatkan diri untuk memberi sambutan. Soeharto pun meniru langkah Presiden Soekarno yang juga bibit Muhammadiyah, untuk memberi kesempatan kader terbaik Muhammadiyah menjadi menteri di Kabinetnya, dan memberi kesempatan untuk menduduki jabatan dan posisi strategis di pemerintahan.
Hubungan Jendral Soeharto dengan para Kiai Muhammadiyah pun akrab. Kalau berembug dengan Kiai Muhammadiyah ia dikenal rasional sekaligus menampakkan rasa hormatnya. Ketika suatu hari Panitia Rehabilitasi Masyumi mendatanginya ia pun menyambut dengan baik. Kiai Muhammadiyah yang membidangi Lembaga Hikmah bersama tim, waktu itu menginginkan Partai Masyumi direhabilitasi karena tidak pernah bersalah kepada Republik ini. Pak Harto menolak permintaan tetapi tidak asal menolak. Pak Harto bertanya,” Bapak-bapak, sebenarnya apa yang ingin diperjuangkan oleh Bapak-bapak dari Muhammadiyah ini?”
“Kami ingin ada suasana yang Islami dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Untuk ini perlu adanya tempat ibadah yang banyak sebagai tempat untuk membina kehidupan Islami tersebut,” jawab Kiai Muhammadiyah.
“Baik, kalau begitu saya akan membuat kebijakan membangun masjid dan mushalla di stasiun, di terminal, di bandar udara, di pelabuhan, di sekolah, di kampus, dan di kantor-kantor pemerintah,” kata Pak Harto.
Mendengar jawaban itu para Kiai Muhammadiyah pun lega. Dan antara Pak Harto dengan para Kiai Muhammadiyah terus terjalin silaturahmi sehingga kalau ada masalah yang krusial dapat diselesaikan dengan bijak. Termasuk masalah asas tunggal yang dapat diselesaikan oleh Pak AR Fakhruddin dengan Pak Harto dengan sangat arif. (Mustofa W Hasyim)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 15 Tahun 2015