Oleh: Mukhlis Rahmanto
Pengukuhan anugerah pahlawan nasional Prof Abdul Kahar Mudzakkir pada 7 November 2019 membuka jendela sejarah yang selama ini belum terungkap, salah satunya terkait dengan satu titik kisar perjalanan Pak Kahar, -demikian banyak orang memanggilnya- saat menjadi mahasiswa di Mesir, negara yang menjadi salah satu impian orang-orang Islam Indonesia, dulu dan hingga kini untuk dikunjungi.
Hal itu dikarenakan Mesir adalah salah satu pusat munculnya peradaban manusia dengan peninggalan masyhurnya, yaitu Al-Ahram (piramid). Namun yang terpenting, khususnya dalam alam pikiran umat Islam di Indonesia, Mesir adalah pusat keilmuan Islam (ka’batul- ‘ilm) dengan Universitas Al-Azhar yang telah berumur 1000 tahun lebih pada tahun 1942 (berdiri 975 M) sebagai menara keilmuannya. Sebuah pameo masyhur berbunyi, “jika Mekah adalah hatinya Islam, maka Al-Azhar adalah kepalanya”.
Selain Al-Azhar, menurut Moza Abaza (1993) dan Michael Laffan (2004) adalah pembaruan Islam yang diinisiasi oleh Muhammad Abduh yang mengajukan kerangka pemahaman Islam baru lewat interpretasi alQur’an dan Sunnah melalui ijtihad, memfungsikan akal dan menolak taklid dengan pendapat para ahli hukum Islam abad pertengahan. Mesir juga negara pertama yang mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia pada 19 Maret 1946. Hubungan kedua negara hingga kini sangat erat ditandai salah satunya dengan jalan di Kairo yang diberi nama Jalan Ahmed Sukarno.
Mesir mempunyai arti dan hubungan khusus dengan Muhammadiyah. Pendirinya, KH Ahmad Dahlan terinspirasi oleh ide pembaruan Islam yang digaungkan Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Deliar Noer (1974) menulis bahwa Syekh Ahmad Soorkati (pendiri Al-Irsyad) kagum dan heran, ketika dalam perjalanan naik kereta api di Ambarawa, duduk di depannya seorang pribumi yang sedang asyik dan serius membaca kitab tafsir Al-Manar karya Abduh dan Rasyid Ridha. Sebuah buku yang hemat Ahmad Soorkati tergolong berat, karena berbeda dengan kitab-kitab tafsir Al-Qur’an yang beredar masa itu dengan kandungan pembaruan Islamnya.
Pribumi itu tak lain adalah KH Ahmad Dahlan, yang menurut penuturan muridnya, KH R Hadjid, juga membaca Risalah Tauhid (kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh muridnya, Ahmad Hani tahun 1924) dan al-Islam wa an-Nashraniyyah (Islam dan teologi Kristen) karya Abduh. Buku-buku tersebut sangat memengaruhi pikiran Islam berkemajuan Kiai Dahlan sesuai dengan pepatah Arab dan latin, “yu’rafu ar-rajulu bima yaqra’, manusia itu dikenal dari apa yang dia baca, you are what you read”. Meski Kiai Dahlan tidak pernah berkunjung ke Mesir, diriwayatkan beliau bertemu dan talaqqi (mengaji) dengan Syekh Rasyid Ridha di Mekah.
Semasa itu adalah KH Mas Mansyur yang pada tahun 1912 berangkat ke Mesir setelah sekitar 4 tahun belajar di Mekah yang sedang dilanda kemelut politik. Di Mesir ia belajar di Universitas Al-Azhar dan mulazamah (belajar intens) dengan beberapa Syeikh Al-Azhar seperti Syekh Hasunah An-Nawawi dan Syekh Salim Al-Bishri, Syekh Mustafa al-Maraghi (murid Muhammad Abduh dan penyusun Tafsir Al-Maraghi) dan para revolusioner Mesir yang hendak memerdekakan diri dari Inggris, dimana ia belajar strategi berjuang melawan kolonialisme, dan kelak ia bersama Soekarno, M Hatta dan Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai empat serangkai pahlawan Indonesia.
Di Muhammadiyah, Mas Mansyur terekam sebagai ketua Pimpinan Besar Muhammadiyah 1937-1942, mudir (direktur) Madrasah Mua’llimin Muhammadiyah Yogyakarta, dan yang fenomenal, ia menginisiasi pendirian Majelis Tarjih dan menjadi ketua pertamanya (1928).
Abdul Kahar Muzakir adalah salah satu tokoh Muhammadiyah dari Kotagede Yogyakarta. Berangkat ke Mesir lewat Mekkah dan belajar di Universitas Al-Azhar dan Darul Ulum (tahun 1946 digabungkan ke Universitas Kairo). Di Mesir ia tidak hanya belajar, tapi juga aktif di pergerakan bersama orang-orang Indonesia di Kairo yang pada tahun 1920-an menurut Roff (1970) tercatat berjumlah sekitar 60-an orang, yang kebanyakan berasal dari Minangkabau, seperti Djanan Taib (orang Indonesia pertama yang meraih gelar sarjana di Al-Azhar), Iljas Ya’kub, Mahmud Junus, Muhammad Idris Marbawi (kedua nama terakhir adalah penyusun kamus ArabMelayu), bersama-sama mendirikan Jamaah Al-Khairiyah at-Thalabiyah Al-Azhariyyah al-Jawiyah dan menerbitkan Seruan Azhar, sebuah majalah-jurnal yang menjadi corong dan pemupuk akar nasionalisme Indonesia dan Semenanjung Malaya (Malaysia). Tambah Roff (1993), di Mesir-lah saat itu, kebebasan untuk mengemukakan sentimen dan protes anti kolonialisme dapat dilakukan.
Pak Kahar pula yang memimpin perayaan dua tahun terbitnya Seruan Azhar pada 14 Agustus 1927, di kantor majalah itu di samping Masjid Al-Azhar, Kairo, dekat dengan ruwaq Jawi (bagian dari Masjid Al-Azhar untuk komunitas pelajar Jawa), dimana berkumpul seluruh redaksi dan simpatisannya, yang menurut Roff (1970), masing-masing undangan memberikan statemen mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ia juga mewakili Jamaah al-Khairiyah menghadiri Muktamar Alam Islami di Palestina tahun 1931 atas undangan Mufti-nya saat itu, Amin Al-Husaini dan menjadi peserta termuda (24 tahun). Pak Kahar juga aktif menulis di media Mesir seperti Al-Ahram, Al-Hayat, dan bersahabat dengan aktivis partai Wafd, Sayyid Qutb (sebelum berubah pikirannya setelah mengunjungi Amerika) dan Hasan Al-Banna, sehingga menurut M. Rasjidi, ia dianggap sebagai duta Indonesia sebelum merdeka di Mesir dan kelak memudahkannya bersama utusan untuk Timur Tengah Republik Indonesia awal (KH. Agus Salim dkk.), mencari pengakuan kedaulatan dari Mesir.
Sekembalinya dari Mesir, Pak Kahar mengabdikan diri berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, menjadi “founding fathers” bangsa sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan mendirikan Universitas Islam Indonesia lalu menjadi rektornya. Jiwa gurunya menjadikannya mudir (direktur) Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.
Sezaman Pak Kahar adalah Prof KH Muhammad Faried Ma’ruf yang berasal dari Kauman Yogyakarta, yang menyelesaikan pendidikannya di Universitas Al-Azhar, serta ikut di dalam perayaan dua tahun Seruan Azhar tahun 1927.
Beliau memberikan statemen: “Seruan Azhar ini adalah suara pelajar untuk kemerdekaan Indonesia dan Malaya. Kita beruntung di Mesir ini merasakan kebebasan pers yang tidak kita peroleh di negeri kita. Semangat Seruan Azhar ini seperti semangatnya ‘Antara bin Shaddad (sosok pahlawan dalam syair Arab pra-Islam) yang mensimbolkan kebesaran, kehormatan dan kebebasan”. Sekembalinya ke Indonesia, ia turut berjuang untuk kemerdekaan, menjadi wakil ketua Masyumi, Menteri Urusan Haji, dan tercatat sebagai rektor IKIP Muhammadiyah Yogyakarta (sekarang Universitas Ahmad Dahlan.
Selain Pak Kahar, orang-orang Muhammadiyah dari Kotagede Yogyakarta yang belajar di Mesir antara lain Zubair Muhsin (ayah dari Achmad Charis Zubair, dosen filsafat UGM) dan Muhammad Rasjidi yang dikenal sebagai menteri agama pertama. Ia berangkat ke Mesir pada 1931, mendaftar di Al-Azhar dan diterima di Qism al- ‘Am (sekolah persiapan masuk Al-Azhar). Di tengah jalan ia merasa tidak puas dengan sistem di Al-Azhar yang saat itu tengah memodernisasi sistem pendidikannya yang diinisiasi oleh Syekh Muhammad Abduh (mufti Mesir). Lalu ia diberitahu Pak Kahar untuk pindah ke Darul Ulum, dimana ia memasuki sekolah persiapannya dengan Sayyid Qutb sebagai salah satu gurunnya dan sesuai kesukaannya, belajar ilmu agama dan umum seperti saat ia belajar di Kweekschool Muhammadiyah Ngabean.
Selang 8 bulan, ia lulus mendapat ijazah kafa’ah (keahlian), menghafal Qur’an 30 juz, dan dengan izin kepala sekolah Hasan Khursid, ia melanjutkan kursus Bahasa Inggris dan Perancis. Belajar bahasa adalah kegemarannya di mana mengantarkannya meraih gelar doktor di Universitas Sorbonne, Prancis di bawah bimbingan orientalis Luis Massignon, lalu mengajar di McGill, Kanada, dan tercatat ia pernah berdebat secara langsung dengan orientalis Joseph Schacth. Setelah pulang ke tanah air pada 1938, ia mendapat banyak amanat perjuangan dari bangsanya, di antaranya menjadi salah satu utusan Indonesia pada 1946, melobi pemerintah Mesir, melalui perdana menterinya saat itu, Mahmud Fahmi Nokrashi Pasha mengakui kedaulatan Indonesia. Bersambung
Mukhlis Rahmanto, Azharite, mengajar di UMY & mahasiswa doktoral University of Malaya
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 3 Tahun 2020