Oleh: Mu’arif
Untuk sebuah majalah, 100 tahun bukanlah usia yang pendek. Apalagi kategori majalah Islam dengan segmen pembaca terbatas, sudah barang tentu tak terbayangkan bagaimana cara mengelolanya hingga tetap eksis sampai kini. Tetapi majalah Suara Muhammadiyah yang terbit pertama kali pada 1915 masih eksis dan terus mengalami perkembangan, baik dari segi konten, kemasan, segmen pembaca hingga manajemennya.
Adalah Kuntowijoyo, sejarawan yang berhasil menemukan dokumen Suara Muhammadiyah (SM) edisi nomor 2 tahun 1915 (1333 H) di perpustakaan Leiden, Belanda, pada sekitar tahun 1990-an. Temuan ini sekaligus mengoreksi teori sebelumnya yang menyatakan bahwa SM terbit pertama kali sejak tahun 1921 (lihat SM no. 1 tahun 1990). Dokumen ini pula yang meluruskan beragam pendapat bahwa inisiator penerbitan SM adalah KH Ahmad Dahlan.
Penelitian terakhir yang dilakukan Muhidin M Dahlan (2010) turut melengkapi kegagalan kita dalam menggali data-data sejarah yang otentik. Padahal, dalam box redaksi SM edisi nomor 2 tahun 1915, nama Haji Ahmad Dahlan hanya tercantum sebagai redaktur bersama Haji Hisyam, RH Djalil, M Siradj, Soemodirdjo, Djojosoegito, dan RH Hadjid. Disebutkan dalam buku Toean Hadji Fachrodin (1930) bahwa pemimpin redaksi (hoofdredacteur) SM pertama adalah Haji Fachrodin, salah seorang murid KH Ahmad Dahlan yang berstatus sebagai anggota Inlandsche Journalisten Bond (IJB).
SM terbit pertama kali ketika majalah MedanMoeslimin dan Islam Bergerak yang bermarkas di Solo sedang naik daun. Dua orgaan perkumpulan SATV (Sidik Amanah Tablig Vathonah) ini sempat dikelola oleh para perintis Muhammadiyah di Yogyakarta sebelum sang pemimpin redaksi (hoofdredacteur), Haji Misbach, berseberangan haluan politik dengan mereka. Bahkan nama “Ketib Amin Djokja” (KH Ahmad Dahlan) tercantum dalam box redaksi Medan-Moeslimin terbitan tahun 1920-an. Di Yogyakarta ada beberapa majalah dan surat kabar yang cukup terkenal ketika SM pertama kali terbit, seperti Ratnadoemilah, Diponegoro, Almanak Buning, Bintang Mataram, Sin Po, dan lain-lain.
Jangan pernah membayangkan bahwa SM terbit pada tahun pertama dikelola dengan manajemen profesional dan memiliki oplag yang besar. Dalam kondisi bangsa yang tengah dijajah, kemiskinan dan kebodohan menjadi pemandangan umum masyarakat pada waktu itu. Budaya baca sudah pasti amat minim. Hanya para keluarga priyayi yang cukup melek huruf. Secara teoritis, menerbitkan sebuah majalah untuk tujuan profit jelas kurang menguntungkan. Tetapi SM memang diorientasikan terbit sebagai media dakwah dan pembelajaran masyarakat dengan menggunakan jalur media cetak. Tidak dijual, tetapi dibagi gratis.
Dalam SM nomor 2 tahun 1915, terdapat beberapa artikel yang ditulis dengan huruf latin berbahasa Jawa Krama. Di antara beberapa artikel tersebut terdapat tulisan karya “HAD.” yang menurut Haji Ahmad Basuni disinyalir sebagai inisial dari “Haji Ahmad Dahlan” (lihat SM no. 13 & 14 tahun 1966). Ini menjadi bukti otentik bahwa sebenarnya SM turut andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa lewat proses penerbitan majalah bulanan.
Selain memuat sejumlah artikel, SM edisi tahun pertama juga memuat tanya jawab agama, kisah kepahlawanan Islam, dan sejumlah advertensi. Sebuah fakta baru perlu digarisbawahi di sini, bahwa SM sebagai majalah Islam tertua yang masih eksis hingga kini termasuk di antara media massa yang turut mempelopori tradisi periklanan. Pada awal abad ke-20, Yogyakarta merupakan sentra kerajinan batik. Kauman menjadi salah satu pusat kerajinan batik pada waktu SM pertama kali terbit. Banyak dari kalangan tokoh Muhammadiyah pengusaha batik memasang iklan produk-produk mereka di majalah ini.
Tetapi sayang, dokumen-dokumen sejarah penerbitan SM sejak pertama kali terbit hingga kini tidak lengkap. Patut disayangkan karena kesadaran historis warga Muhammadiyah amat kurang. Terhadap sejarah salah satu amal usaha yang dirintis sejak zaman KH Ahmad Dahlan hingga memasuki era pasca reformasi ini, tidak semua warga Muhammadiyah menghargainya. Minimal ada kesadaran untuk merawat dan mendokumentasikan sumber-sumber sejarah penerbitan SM yang sesungguhnya masuk kategori fenomenal dalam konteks sejarah media massa Islam di tanah air. Akibatnya, dalam konteks sejarah pers nasional, nama majalah SM justru tidak banyak disinggung. Ini menjadi ironis karena media-media yang tumbuh dan berkembang sezaman dengan SM justru kini hanya tinggal nama. Surat kabar seperti Ratnadoemilah, Diponegoro, Almanak Buning, Bintang Mataram, Sin Po, dan lain-lain kini hanya bisa ditemukan di musium. Sementara SM yang tumbuh dan berkembang bersama media-media tersebut kini masih eksis dan terus menunjukkan perkembangan signifikan.
Memasuki tahun 2015, majalah SM memang menjadikan momentum milad ke-100 sebagai momentum strategis untuk berbenah dan menunjukkan eksistensinya. Kehadiran jajaran manajemen yang diisi oleh generasi muda telah mengubah wajah penerbitan SM dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, dalam momentum milad ke-100 ini, jajaran manajemen SM telah berusaha maksimal untuk mengetuk hati dan membuka mata umat Islam bahwa SM adalah majalah tertua di tanah air yang masih tetap eksis hingga kini.
SM layaknya sebuah ‘monumen yang berharga’ karena menyimpan banyak informasi sejarah. Penerbitan majalah yang telah melintasi berbagai zaman dan dinamika sosial-politik di tanah air ini sesungguhnya merupakan rekaman sejarah sejak zaman kolonial Belanda dan Jepang hingga bangsa ini memasuki masa kemerdekaan dan kini telah memasuki era pasca reformasi. Sekitar 30 tahun sebelum republik ini berdiri, SM sudah terbit memajukan umat Islam di tanah air. Ketika tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa diembankan kepada pemerintah Republik ini, justru SM sudah jauh-jauh hari menjalankan fungsi dakwah yang mencerdaskan. Ketika media massa Islam tumbuh subur di Republik ini, SM sudah lebih dahulu memberikan informasi yang mencerahkan umat. Maka tidak berlebihan apabila SM menjadi salah satu monumen bersejarah umat Islam di Indonesia yang telah berusia satu abad.
Mu’arif, Penilik Sejarah Muhammadiyah
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 15 Tahun 2015