YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah –Keresahan tentang mata pelajaran Kemuhammadiyahan menjadi agenda utama Majelis Reboan yang dipantik oleh Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah sekaligus Wakil Ketua PWM DIY, Arif Jamali Muis dan Penulis buku Pendidikan Karekter: Membangun Karakter Emas Menuju Indonesia Martabat, Bagus Mustakim, di Gedoeng Moehammadijah, Rabu malam (19/2).
Tema‘Redesign Mata Pelajaran Kemuhammadiyahan dan Intitusi Pendidikan Muhammadiyah’ yang diusung tersebut adalah satu bagian dari tema besar Majelis Reboan yang digagas oleh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) dengan tema besar yaitu Penyampaian Visi Masa Depan Persyarikatan, khususnya menjelang Muktamar ke-48 di Surakarta, Juli mendatang.
Mustakim berpendapat bahwa mata pelajaran Kemuhammadiyahan perlu dibawakan dengan paradigma konstruktivistik dengan kontekstualisasi konten. Namun hal tersebut belum diterapkan oleh guru-guru pengampu. Pengajaran mata pelajaran Kemuhammadiyahan masih cenderung menggunakan metode ceramah dan berorientasi terhadap koginisi.
Permasalahan selanjutnya yang ditekankan oleh Mustakim berada pada Majelis Dikdasmen. Upaya perbaikan guru dan kurikulum di Muhammadiyah ternyata belum sampai ke akar rumput. Beliau menceritakan bahwa ada sekolah di Ngawi yang tidak tahu-menahu tentang adanya perubahan di kurikulum yang direvisi Majelis Dikdasmen. Banyak pekerjaan Majelis Dikdasmen yang tidak terlaksana secara maksimal. “Mesinnya Majelis Dikdasmen nggak jalan,” tuturnya. Mustakim beranggapan bahwa Majelis Dikdasmen harus memperhatikan kesejahteraan dan kualitas guru Kemuhammadiyahan serta melakukan revolusi menjadi lebih profesional dalam bekerja.
Sementara itu, mata pelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) mengalami revisi dari segi kurikulum pada tahun 2017. Karena dirasa penting, jam pelajaran untuk AIK kemudian ditambah menjadi 12 jam. Hal tersebut, menurut Jamali, dirasa memberatkan siswa sekaligus guru yang mengampu pelajaran AIK. Selain masalah dari materi Kemuhammadiyahan itu sendiri, Kemuhammadiyahan yang dibebankan pada kreativitas guru, akan menambah masalah karena mata pelajaran kemuhammadiyahan bisa disertifikasi sehingga guru tidak termotivasi.
Permasalahan mengenai Kemuhammadiyahan sering berimbas pada persoalan krisis kader yang berkepanjangan. Oleh karena itu maka Majelis Dikdasmen dapat bekerja sama dengan Majelis Kader untuk menciptakan budaya yang dapat mengantarkan siswa untuk internalisasi nilai-nilai Kemuhammadiyahan.
Kemuhammadiyahan di sekolah seharusnya tidak berkutat pada ilmu, namun lebih pada nilai dan karakter Muhammadiyah. Nilai dan karakter ini bisa dibangun lewat budaya sekolah. Budaya tersebut, Jamali mencontohkan, dapat berupa social enterpreneurship, infaq, maupun berbagai penerapan Al-Maun seperti yang diajarkan Ahmad Dahlan. Jamali menegaskan bahwa Kemuhammadiyahan jangan hanya menjadi mata pelajaran. Kemuhammadiyahan harus diangkat menjadi karakter dan budaya sekolah. “Kalau ada delapan standar nasional pendidikan, maka tambah satu lagi. Standar Kemuhammadiyahan, yang itu tidak persoalan mata pelajaran, tapi itu lebih pada budaya sekolah,” tuntasnya. (LHHS)