Imam al-Bukhari, demikian ia dikenal lahir di sebuah kota terkenal sebelah tengah Uzbekistan. Bukhara. Nama kota inilah yang kemudian disematkan di akhir namanya. Hafalan Haditsnya tidak ada yang meragukan. Ucapan gurunya yang mengharapkan ada muridnya yang menulis Hadits, terngiang di telinganya, menggugah hatinya. Ia pun menuliskan Hadits yang dihafalnya yang mencapai ratusan ribu. Kitabnya pun menjadi rujukan utama dalam bidang Hadits. Meskipun Imam Bukhari sendiri menyatakan bahwa dia hanya menuliskan sebagiannya. “Masih banyak Hadits lain di luar sana,” katanya.
Imam Bukhari tumbuh dalam keadaan yatim. Ia dididik ibunya. Ayahnya, Ismail bin Ibrahim meninggal ketika ia masih kecil. Ia lahir pada hari Jum’at setelah shalat Jum’at, 13 Syawwal 194 H, dengan nama Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari. Muhammad dididik dalam keluarga yang berilmu. Ismail, Ayahnya, adalah seorang ahli Hadits. Ismail belajar Hadits dari sejumlah ulama terkenal. Ia berguru kepada Malik bin Anas, Hammad bin Zaid, dan Abdullah bin al-Mubarak. ayahnya meninggalkan Muhammad dalam keadaan berkecukupan harta. Harta tersebut akhirnya dimanfaatkan Muhammad untuk menuntut ilmu.
Muhammad mulai aktif menuntut ilmu ketika berusia 10 tahun dan aktif mengunjungi dan menyertai guru-gurunya ketika berusia 11 tahun. Pada tahun 210 H, ketika berusia 16 tahun, dia bersama ibu dan kakaknya mengunjungi kota suci, Hijaz, untuk melakukan ibadah haji. Muhammad kemudian tinggal beberapa saat di Makkah, dekat dengan Baitullah, untuk menuntut ilmu. Sejak saat itulah, Muhammad mulai mengunjungi beberapa negeri dalam rangka rihlah mempelajari Hadits.
Ia ke Khurasan, Bashrah, Kufah, Baghdad, Hijaz (Makkah dan Madinah), Syam, Mesir, dan tempat-tempat lain. Di antara guru-gurunya adalah Makki bin Ibrahim al-Balkhi, Abdullah bin Usman al-Marwazi, Abdullah bin Musa al-Abbasi, Abu Nu’aim al-Fadl bin Dakin, Ali bin al-Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan lain-lain. Muhammad bin Ismail al-Bukhari disebut-sebut sebagai anak murid Imam Ahmad bin Hanbal.
Uniknya, sejak mulai belajar, ia tidak pernah menulis apa yang disampaikan semua gurunya. Ia memiliki kekuatan hafalan yang mengagumkan. Beberapa kali teman-temannya menanyakan, mengapa Muhammad tidak pernah mencatat Hadits yang disampaikan gurunya. Oleh karena sering memperoleh pertanyaan yang sama, Muhammad meminta teman-temannya untuk menyampaikan Hadits yang dicatatnya. Setelah selesai temannya membacakan catatan Hadits-Haditsnya, Muhammad menambahkan dengan belasan ribu Hadits lain yang dihafalnya. Temannya pun menambahkan HaditsHadits yang disampaikan Muhammad dalam catatannya. Disebutkan dalam sebuah riwayat, Muhammad bin Ismail al-Bukhari dapat menghafal sebuah kitab hanya dengan membacanya sekali saja.
Meski demikian serius dalam belajar Hadits, Muhammad bin Ismail al-Bukhari juga sangat semangat dalam mempelajari fikih. Ia memiliki ketelitian yang menakjubkan ketika beristinbat dari suatu Hadits, sebagaimana hal itu kemudian terbukti dalam Kitab Shahih-nya. Muhammad bin Ismail al-Bukhari. adalah zahid. Ia berhati-hati dan menjauhi hal-hal haram dan syubhat. Ia menjauh dari para penguasa dan pemimpin. Orang yang pemberani dan dermawan.
al-Jami’ al-Shahih: Shahih al-Bukhari
Setelah menghimpun banyak Hadits yang sudah dihafalnya, Muhammad bin Ismail al-Bukhari merasa lelah. Ia lelah dalam menyaring, memperbaiki susunan, dan mencari-cari Hadits mana saja yang shahih. Oleh karena kehati-hatiannya itu, bahkan ia tidak mau menulis sebuah Hadits dalam kitabnya melainkan ia mandi dan shalat istikharah terlebih dahulu. “Tidaklah aku menulis sebuah Hadits di Kitab Shahih melainkan aku mandi terlebih dahulu dan shalat dua rakaat,” katanya.
Muhammad bin Ismail al-Bukhari pernah menyampaikan sebab mengapa ia menulis Hadits dalam bentuk kitab. “Kami dahulu berada di sisi Ishaq bin Rohawayh (gurunya dan Amirul Mukminin dalam ilmu Hadits), lalu Ishaq berkata: ‘sekiranya ada dari kalian yang menyusun sebuah kitab ringkas tentang Sunnah Nabi yang shahih.’ Ucapan gurunya ini membekas di dalam hatiku, setelah itu aku langsung memulai menyusun al-Jami’ al-Shahih.”
Ia pun menyusun Hadits-Hadits yang ia hafal. Hadits-Hadits dalam kitab tersebut adalah Hadits shahih yang ia pilih dari enam ratus ribu Hadits. Bukan hanya matannya yang shahih, melainkan juga sanadnya. Riwayatnya sahih dari Rasulullah dengan sanad yang tersambung, perawinya adil dan kuat hafalannya. Muhammad bin Ismail al-Bukhari merampungkan penyusunan kitab al-Jami’ al-Shahih selama 16 tahun. Setelah itu beliau membawanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Ali bin al-Madini, dan ulama lainnya. Semua ulama tersebut pun menyatakan bahwa kitab ini sangat bagus dan bersaksi akan kesahihannya. Namun demikian, Muhammad bin Ismail al-Bukhari sendiri mengomentari kitabnya. “Aku hanya menuliskan Hadits shahih di dalam kitab ini, dan Hadits shahih yang lainnya masih banyak lagi.”
Sebutan al-Jami’ al-Shahih hanyalah diambil dari judul asli kitabnya yang sangat panjang. Judul lengkapnya adalah al-Jami’ ash-Shahih al-Musnid min Hadits Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam wa Sunanihi wa Ayyamihi. Dalam riwayat yang lain disebutkan dengan nama al-Jami’ al-Musnid ash-Shahih al-Mukhtashar min Umur Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam wa Sunanihi wa Ayyamihi.
Selain al-Jami’ al-Shahih, Muhammad bin Ismail al-Bukhari atau Imam Bukhari menulis beberapa kitab lain. Di antaranya seperti al-Adab al-Mufrad, at-Tarikh alShaghir, at-Tarikh al-Awsath, al-Tarikh al-Kabir, at-Tafsir al-Kabir, al-Musnad al-Kabir, Kitab al-‘ilal, Raf’ul Yadain fi al-Shalah, Birr al-Walidain, Kitab al-Asyribah, al-Qira’ah Khalfa, al-Wihdan, al-Fawa’id, Qadlaya al-Shahabah wa al-Tabi’in, dan Masyikhah. Semua karya Imam Bukhari ini sangat penting dalam ilmu Hadits. Akan tetapi, yang paling terkenal adalah kitab al-Jami’ al-Shahih, yang lebih populer dengan Shahih Al-Bukhari. Warisan-warisan Imam Bukhari tersebut terbukti masih menjadi referensi utama dalam diskusi tentang Hadits hingga kini.
Meskipun sibuk dengan penulisan al-Jami, Imam Bukhari tidak lupa melakukan kebiasaannya pergi ke banyak tempat. Ia memiliki banyak murid di setiap daerah yang dikunjunginya. Dalam perjalanan itulah beliau meninggal. Ketika pergi menuju Samarkand, Imam Bukhari tiba di Khartand, sebuah desa kecil sebelum Samarkand, ia singgah untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun, di sana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Di sinilah ia wafat. Tepatnya pada hari Sabtu, 31 Agustus 870 M (256 H). Pada malam Idul Fitri. Dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. (ba; dari berbagai sumber)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 8 Tahun 2015