Imam Muslim dan Hadits yang Belum Diketahuinya

Imam Muslim dan Hadits yang Belum Diketahuinya

Dok Wikimedia Commons

“Muhsin dari Naisabur,” begitu al-Dzahabi memberi sebutan kepada al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, atau Imam Muslim.

Ia dikenal sangat baik kepada semua orang yang ditemuainya. Tidak segan memberikan harta yang dimilikinya kepada yang meminta. Tidak mengherankan, karena ia adalah seorang saudagar kain yang terkenal dan kaya. Profesi itu tidak menghalanginya untuk tetap tekun belajar Hadits kepada ratusan guru. Maha karya Hadits pun ia persembahkan untuk dunia Islam, Shahih Muslim. Kalangan ilmuwan Hadits menyebut karya ini hampir setara dengan kualitas Shahih Bukhari. Bahkan ada yang menyamakannya. Imam Muslim termasuk di antara sederetan para ulama yang memiliki saham besar dalam pengembangan displin ilmu Hadits. Karya yang lahir pada abad keemasan sejarah Islam, abad ke-3 H. Abad di mana banyak penulisan karya ilmiah terutama di bidang Hadits.

Imam Muslim lahir pada tahun 204 H atau 821 M di Naisabur, Iran. Naisabur merupakan kota yang indah dan banyak menghasilkan buah-buahan. Kota yang sangat terkenal dengan pendidikan, kebudayaan, perdagangan, dan arsitektur bangunannya. Semenjak kecil, Imam Muslim tumbuh di lingkungan ini. Naisabur, pada saat itu, merupakan negeri yang penuh dengan peninggalan ilmuilmu sunnah. Di kota inilah yang memberikannya peluang sangat luas untuk menuntut ilmu. Banyak orang yang bergiat memperoleh ilmu dan mentransfer ilmu di sana. Besar kemungkinan, orang yang terlahir di lingkungan ini akan tumbuh dengan ilmu juga.

Kesempatan yang terhampar luas ini tidak disia-siakan Imam Muslim untuk memetik banyak ilmu dan pengetahuan.

Selain itu, sang ayah, al-Hajjaj dan keluarganya juga mempunyai andil besar memotivasi Imam Muslim untuk menuntut ilmu. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli Hadits, Imam al-Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal Hadits, dan mulai berani mengoreksi gurunya ketika salah menyebutkan periwayatan Hadits. Pada usia 14 tahun, tepatnya tahun 218 H, ia memulai belajar Hadits lebih dalam kepada Yahya bin Yahya al-Tamimi.

Setelah beberapa lama menimba ilmu di negerinya, muncul keinginan besar Imam Muslim untuk menambah perbendaharaan ilmu syar’i. Ia pun merantau, belajar Hadits ke beberapa negeri. Sebagaimana diketahui, pada saat itu, guru-guru Hadits tersebar di banyak negeri. Maka Imam Muslim pun mendatangi guru-guru tersebut di banyak negeri. Pada tahun 220 H, ia berkesempatan menunaikan haji. Ia pun menjumpai Abdullah bin Maslamah al Qa’nabi di Makkah, untuk mendengarkan Hadits. Selepas itu, ia juga mendengar Hadits dari Ahmad bin Yunus dan beberapa ulama Hadits lainnya ketika dalam perjalanan ke Kufah.

Setelah kembali sejenak ke Naisabur, Imam Muslim kembali menjelajahi negeri-negeri Islam lainnya. Sebelum tahun 230 Hijriah, ia berkeliling dan memperbanyak mendengar Hadits. Semakin banyak mendengar dari banyak ahli Hadits, makin banyak pula kemajuan ilmunya di bidang ilmu Hadits. Dia berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli Hadits, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H. Guru yang paling menonjol dan memengaruhinya adalah Imam Bukhari. Maka, ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, dia sering datang untuk berguru.

Selain tiga guru tersebut, Imam Muslim juga berguru kepada Ishak bin Rahawaih, Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan, Ahmad bin Hambal, Abdullah bin Maslamah, Sa’id bin Mansur, Abu Mas ‘Abuzar, ‘Amr bin Sawad, Harmalah bin Yahya, dan lain-lain. Dari kekayaan pengetahuannya inilah yang kemudian mengantarkannya kepada derajat imam. Imam memiliki ciri khas. Berbadan tegap, berambut dan berjenggot putih, dan selalu mengulurkan ujung surbannya di antara dua punggungnya.

Prinsip Jarh wa Ta`dil

Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu’ dan wara’ dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu Hadits. Disinyalir, Kitab Shahih Muslim-nya memuat 3.030 Hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, sekitar 10.000 Hadits. Sementara ada yang menyebutkan 4.000 Hadits tanpa pengulangan dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah Hadits yang ditulis dalam Shahih Muslim diambil dan disaring dari sekitar 300.000 Hadits yang ia ketahui. Untuk menyaring Hadits-Hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.

Dalam proses penyusunan Kitab tersebut, Imam menerapkan prinsip ilmu jarh dan ta’dil. Suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu Hadits. Ia juga menggunakan sighat al-tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddatsani (menyampaikan kepada saya), haddatsana (menyampaikan kepada kami), akhbarani (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata). Penerapan metode inilah yang dianggap sebagai wujud tawadhu’ dan wara’-nya Imam Muslim. Hal ini pula yang dianggap sebagai kelebihan dibanding Shahih Bukhari. Kitab Shahih Muslim dianggap lebih hati-hati dan selektif, di samping pengelompokan Haditsnya juga lebih baik. Ia meriwayatkan setiap Hadits di tempat yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara Imam Bukhari memotong-motong suatu Hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat ia sebutkan lagi sanadnya.

Meskipun demikian, reputasi Imam Muslim dianggap masih di bawah gurunya, Imam Bukhari. Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu Hadits, nama Imam Muslim begitu monumental. Dalam hal ini, ia setara dengan Imam Bukhari. Sejarah Islam sangat mengapresiasi prestasinya di bidang ilmu Hadits.

Selain al-Musnad ash-Shahih atau al-Jami’ al-Shahih, Imam Muslim membuahkan banyak sekali karya. Seperti, misalnya, al-Asma’ wa al-Kuna, Irfadus Syamiyyin, alArqaam, al-Intifa bi Julud al-Siba’, Auham al-Muhadditsin, al-Tarikh, al-Tamyiz, al-Jami’, Hadits Amr bin Syu’aib, Rijal al-‘Urwah, Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, Thabaqat, al-I’lal, al-Mukhadhramin, al-Musnad al-Kabir, Masyayikh alTsawri, Masyayikh Syu’bah, Masyayikh Malik, al-Wuhdan, al-Shahih al-Masnad, dan lain-lain. Sebagian telah dicetak dan ada tiga Kitab yang masih berbentuk manuskrip: alAsma’ wa al-Kuna, Rijal al-‘Urwah, dan Thabaqat.

Ahmad bin Salamah menceritakan, “suatu hari, Imam Muslim mengadakan suatu majelis mudzkarah, lalu ditanyakan padanya sebuah Hadits yang ia tidak ketahui. Maka ia segera pulang lalu menyalakan pelitanya. Ia berkata kepada orang yang ada di rumah, ‘jangan sekalikali ada seorang pun yang menemui saya.’ Disampaikan kepadanya bahwa ada yang menghadiahkan sekeranjang kurma lalu diberikan kepadanya. Mulailah ia mencari Hadits sambil menikmati kurma satu per satu hingga masuk waktu pagi di mana ia telah memperoleh Hadits yang dicarinya dan kurma yang ada di keranjang pun telah habis.” Konon, oleh sebab itulah Imam Muslim harus undur diri dari kehidupan. Ia wafat setelah menemukan satu Hadits yang belum pernah ia tahu sebelumnya. Ia wafat pada bulan Rajab 261 H/ Mei 875 M. Ia dikuburkan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur. (ba; dari berbagai sumber)

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 9 Tahun 2015

 

Exit mobile version