Ghazali, demikian Abah (Cok Simbara), memanggil Romy (Rio Dewanto), dalam agegan Film Bait Surau. Film bertema drama religi besutan Kuswara Sastra Permana ini memang sarat pesan spiritual. Bait Surau bercerita tentang perjalanan hidup Rio, pria mapan beristri yang datang ke desa nelayan.
Selama di desa itu, kisah hidupnya berubah setelah pergolakan batinnya menemukan hakikat spiritual pasca peristiwa pahit yang dialami selama hidup yang bergelimang harga hingga istrinya berpulang menghadap Allah SwT.
Kepada Khalayak, film ini berkisah bahwa pengalaman hidup manusia, seperti yang dialami Rio adalah jiwa rasional (insani) yang bila ditilik dalam sudut pandang psikologi agama merupakan daya akal praktis yang memicu manusia untuk memutuskan perbuatan yang layak dilaksanakan atau tidak, di sini jelas bahwa terkandung putusan etis di dalamnya.
Dikisahkan juga bahwa Romy tak pernah puas dengan kehidupannya yang kaya nikmat. Ia sering mencampakan istrinya, Nadia (Nadia Vella) sebagai perempuan sabar, penuh perhatian dan tak pernah lupa menyadarkan suaminya yang banyak menghabiskan waktu dengan hura-hura. Bahkan sebagai sosok utama dalam film tersebut Rio Dewanto, dalam kehidupan nyata seperti berada dalam kondisi tersindir untuk introspeksi diri.
Totalitas peran juga disuguhkan Astri Nurdin sebagai sosok perempuan tuna rungu dan tuna wicara. Pesan positif dalam film yang dibintanginya, keikhlasan untuk mensyukuri nikmat dari Allah SwT yang telah diberikan kepada kita.
“Sosok Siti juga menggambarkan perempuan dengan segala keterbatasannya yang bersahaja ikhlas memasak makanan untuk Ramdan dan Rio sebelum berlayar,” tandas Astri di sela-sela waktunya usai konferensi pers, di Planet Hollywood, Jakarta (20/10).
Bait Surau merupakan film yang direkomendasikan untuk tontonan keluarga. Menurut Anita Aulia, selaku produser, film ini adalah pesan sederhana yang jauh dari menggurui. “Di dalamnya memang nuansa spiritualitas lebih ditonjolkan. Namun sederhana, harapannya dapat dipetik hikmahnya oleh masyarakat,” kata Anita.
Menanggapi hal itu, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, Din Syamsuddin terlihat bersemangat. Pasalnya, setelah menyaksikan bersama salah satu Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Hajriyanto Y Thohari dan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Din mengakui, film ini tidak extravaganza sebagaimana yang lain. “Ada nilai-nilai edukatif sehingga mudah diikuti. Ceritanya sederhana namun di sini kekuatannya,” tutur Din.
Karena itu, Din merekomendsasikan film ini kepada pelajar, mahasiswa, guru, dan masyarakat, khususnya warga Muhammadiyah. Mengingat kaya inspirasi, ungkap Din, awalnya Romy berprerilaku buruk yang pada akhirnya menemukan cahaya kebenaran yang ikhlas berbagi untuk memperbaiki Surau yang sudah tua dan bocor saat hujan.
Pencarian Romy untuk bertemu dengan Ramdan tentu merupakan titik awal yang mengesankan. Ramdan tentu tidak mengetahui motivasi Romy mencarinya hingga sampai ke desa tempat ia dibesarkan. Barulah ia menyadari jia kedatangan Romy hanya untuk meminta maaf atas segala kesalahannya sebagai majikannya di kota selama ini. Beruntung ketulusan Abah menyakinkan Ramdan untuk menerima maaf kesalahan Romy bagian dari pesan pedagogis yang bernas.
Bagi Ihsan Tarore sebagai pemeran sosok Ramdan, dalam menghayati niali-nilai agama dalam film itu merupakan tantangan tersendiri. Kesabarannya menghadapi Romy di alur cerita film adalah daya pikat tersendiri bagi yang akan dan sudah menontonnya. Apalagi sosok Romy yang kuat mempertanyakan hal detail terkait ibadah sholat dan mengaji diimbangi dengan apik oleh Ramdan tanpa menggurui.
Kefakiran Romy terhadap ilmu agama adalah ciri khasnya yang memperhatikan gerakan sholat dan berwudhu. Tentu saja ini sangat kontral dengan realitas Rio Deanto yang berpenampilan garang dan maskulin. Ditambah lagi dengan peristiwa-peristiwa masa kelam yang membuatnya teringat kekeliruan hidupnya di masa lalu, terus memupuk jiwanya untuk mencari hikmah spiritualitas.
Potensi Jiwa dalam Konversi Agama
Jiwa dalam pandangan Ibnu Sina adalah hakikat manusia yang sesungguhnya. Dalam pandangannya, jiwa tidak lain suatu hal yang paripurna dalam diri manusia(Psikologi Ibnu Sina, 2009). Melalui jiwa, manusia dapat mengetahui segala sesuatu. Jiwa merupakan substantsi dari hati yang lembut. Tanpa jiwa, jasmani manusia tidak akan pernah mampu menggerakkan segenap potensinya agar menjadi aktual.
Tujuan akhir eksistensi manusia adalah untuk membawa potensi jiwa ke dalam aktualitasnya. Dalam makna yang lain jiwa merupakan pusat dari persepsi pengetahuan manusia. Jiwa dengan kekuatannya menggerakkan potensi manusia dari ide konseptual menjadi aktual. Dari gelap menjadi terang, dari fakir menjadi kaya dan seterusnya.
Dalam konteks Romy yang berada dalam kabut spiritual seperti dikisahkan dalam film Bait Surau, tekad kuatnya untuk memperlajari Islam adalah pintu gerbang menuju rumah kebijaksanaan (hikmah). Laut tempat mata percariannya bersama Ramdan sebagai nelayan memberikan pelajaran berharga bahwa masa lalunya yang penuh kedigdayaan harta telah melepaskan jiwanya terhempas dalam kegelapan. Namun selama hidup di desa itu, jiwanya tumbuh kembali bangkit membawa dirinya dalam ruang dan waktu yang mencerahkan dengan segala kekurangannya.
Secara bertahap, seiring perjalanan waktu Romy alami perubahan yang berarti. Jiwanya kuat, motivasi dan rasa ingin tahunya untuk belajar agama terus membuncah. Ia telah mengalami proses hijrah. Dari Romy yang hedonis menjadi Ghazali religius. Penampilannya lebih tenang berbeda dengan saat di kota dulu perilakunya buruk dna temperamental.
Ghazali adalah sosok pria bersahaja. Peristiwa konversi agama yang dialaminya adalah pertanda jika jiwanya yang potensial itu dapat mengaktualkan dirinya ke dalam batin yang tenang. Meminjam ungkapan Walter Houston Clork dalam The Psychology of Religion, seperti dikuti Dzakiyah Derajat dalam Ilmu Jiwa Agama (1996), konversi agama adalah pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti dalam sikap terhadap ajaran dan tindakan agama.
Abdul Mu’ti Sekretari Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengatakan Film Bait Surau ini mengidahkan kehidupan manusia untuk menjadi lebih baik. Dalam kehidupan agama disebut dengan konversi agama. “Yaitu perubahan hidup seorang manusia dari masa lalu yang kelam menjadi lebih baik,” ungkapnya.
Untuk itu, film ini merupakan isnpirasi bagi siapapun. “Karena untuk menjadi lebih baik tidak ada kata terlambat, tidak perlu malu. Hal ini memberi contoh kebahagiaan, dan untuk berbuat baik bisa dilakukan dengan jalan berbagi,” jelasnya. Film ini sangat menarik, karena pesan pendidikan karakternya kuat. Layak direkomendasikan untuk pendidik, orang tua, dan pelajar.
Spirit Filantropi
Jika tidak memiliki, maka tidak akan pernah memberi. Demikian pesan lain yang terkandung dalam Film Bait Surau. Di saat Romy belajar mengaji di Surau yang dibimbing seorang ustadz, ia menyaksikan langsung atap surau itu bolong ketika hujan turun. Hatinya tergerak untuk memperbaiki atap surau itu. Ia tidak tega melihat anak-anak desa mengaji dengan atau surau yang bocor.
Ia berjanji kepada Ramdan untuk segera memperbaiki surau jika kembali dari kota. Kebetulan Romy masih menyisakan sebagian uangnya di tabungan. Dari uang itu, ia berharap surau dapat digunakan dengan nyaman. Akhirnya, keingingan Romy terwujud. Bersama-sama dengan warga desa, Romy bergotong-royong memperbaiki surau.
Sayang, perjalanan spiritual Romy harus berakhir. Bersama Ramdan, Ia berpulang digulung ombak saat melaut. Spirit filantropi (berbagi) Romy masih tetap ada. Beberapa tahun kemudian, surau itu menjadi besar dan bagus. Surau itu diberi nama al-Ghazali. Demikian pesan filantropi menyertai fitme film ini. Sejatinya setiap orang yang berjiwa sehat akan mengalami masa-masa seperti dialami Romy, kendati berada dalam ruang dan waktu yang berbeda. Hanya dengan jiwa yang kuat dan ikhlas serta degnan segala keterbatasan hikmah pasti akan datang.