Mencari Persamaan Bukan Perbedaan Melahirkan Keharuan dan Kebanggaan

Mencari Persamaan Bukan Perbedaan Melahirkan Keharuan dan Kebanggaan

BANTUL, Suara Muhammadiyah – “Saat mengenangmu, seperti ku meminum air telaga yang tak lagi memberikan rasa haus.” Mungkin kalimat inilah yang pas untuk menggambarkan film ‘Jejak Langkah 2 Ulama’. Film hasil kerjasama Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) PP Muhammadiyah dengan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang mengangkat kisah tentang dua Ulama Besar Pendiri Organisasi Muhammmadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Film yang disutradarai oleh Sigit Ariansyah tersebut mengusung pesan, “Memahami Perbedaan, Menjunjung Persamaan”.

Soft Launching yang bertempat di Amphitarium Kampus Utama UAD tersebut dihadiri oleh Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, KH. Agus Mughni Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Sukriyanto AR Ketua LSBO PP Muhammadiyah, dan Prof. Dr. Lincolin Arsyad Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah (25/2).

Haedar Nashir mengaku terharu saat menyaksikan ‘Jejak Langkah 2 Ulama’, ada keterlibatan emosi dan suasana hati ketika menyaksikan film tersebut. Ia menyampaikan bahwa perjuangan kedua tokah ini lahir dari panggilan jiwa yang terdalam. Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari kedua tokoh besar, KH. Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari. “Film ini menjadi sangat bermakna bagi Keluarga Besar Muhamadiyah dan Nahdlatul Ulama karena menginformasikan secara detail bahwa kedua tokoh tersebut memiliki relasi dan kedekatan yang sangat kuat,” ujarnya.

Hal ini penting karena nasib Islam dan Bangsa Indonesia dalam konteks keumatan sangat bergantung pada peran dua Ormas besar, yaitu Muhammadiyah dan NU. Jika para pengikut, kader, pimpinan, masing-masing paham akan seluruh denyut perjuangan dan relasi antara keduanya, sangat memungkinkan umat Islam mempunyai energi kolektif baru. “Kita harus tahu bagaimana memaknai perbedaan dan kemudian kita menyatukan persamaan, tentu ini akan menjadi kekuatan besar bagi umat Islam maupun bangsa Indonesia,” tutur Haedar.

Seringkali kita dihadapkan kepada jejak-jejak masa lalu yang diwarnai oleh konflik karena perbedaan tentang masalah khilafiyah. Terkadang hal ini menjadi kendala antara Muhammadiyah dan NU untuk bertemu di satu titik, khususnya bagi generasi tua. Maka film ini menjadi wasilah bagi kedua Ormas Islam untuk saling menyeberang. “Tokoh dan warga Muhammadiyah belajar menjadi NU, serta tokoh dan warga NU belajar untuk menjadi Muhammadiyah,” ungkapnya dan disambut tepuk tangan dari audien.

Haedar berharap film ‘Jejak Langkah 2 Ulama’ dapat tersebar luas terutama kepada generasi muda (milenial) yang saat ini mulai buta akan sejarah. Menjadi tugas rumah bersama bagi keluarga besar Muhammadiyah dan NU untuk menyebarkan film yang penuh dengan nilai dan kebersamaan ini. “Selamat untuk film ini, dan nanti kita gelorakan terus agar film ini menjadi kebanggaan bagi banyak kalangan, lebih-lebih bagi kalangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama,” tutupnya.

Agus Mughni dalam sambutannya menyampaikan merasa sangat terharu menyaksikan film yang menceritakan dua ulama besar tersebut. Ia menjelaskan, setidaknya dalam film ini kita melihat kenyataan bahwa KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari merupakan sosok yang sangat mencintai ilmu, terutama ilmu agama. Digambarkan pula bahwa kedua ulama besar tersebut memiliki guru yang sama dan masing-masing pernah belajar ke Makkah. “Satu guru, satu ilmu, dan semuanya diniatkan semata-mata untuk menyebarkan nilai-nilai agama Islam, beramar ma’ruf nahi mungkar,” ujarnya.

Dalam segi usia, KH. Ahmad Dahlan lebih tua tiga tahun dibandingkan dengan KH. Hasyim Asy’ari. Beliau KH. Hasyim Asy’ari lahir pada tahun 1871 dan KH. Ahmad Dahlan lahir pada tahun 1868. Di tahun 1899 KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng dan pada tahun 1926 mendirikan Nahdlatul Ulama di usia 55 tahun. Antara KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan tentu memiliki perbedaan dalam kerangka keilmuan. “Tetapi perbedaan ini tidak menjadikan beliau berdua bermusuhan, tetap menjadi saudara, sahabat, kawan, inilah yang patut kita contoh,” ungkapnya.

Hal lain yang patut untuk dicontoh adalah tentang ketawazuannya kepada guru. Rasa hormat dan patuh kepada guru serta orang tua harus mulai kita tanamkan kepada anak-anak dan peserta didik kita. “Anak yang menghormati guru dan orang tuanya, ilmunya akan berbuah keberkahan,” pesannya.

Sukriyanto menyampaikan bahwa ia bersama Gus Solah (almarhum) merasa khawatir dengan perkembangan ajaran Islam yang tidak lagi sesuai dengan apa yang telah dibawakan oleh Nabi Muhammad saw. “Maka kami berdua bersepakat untuk mencari titik temu, mencari persamaan-persamaan demi kemajuan umat dan bangsa,” ujarnya.(diko/riz)

Exit mobile version