Dari Bukit Uhud

Jabal Uhud. Sebuah bukit bersejarah sekitar 5 km dari Madinah ke arah Makkah. Ia saksi bisu tentang perang di jalan Allah yang semula meraih kemenangan, namun berujung kekalahan. Dalam perang kedua antara umat Islam dan kaum Quraisy pada 15 Syawal tahun ke-3 Hijriyah itu, 70 pejuang Islam mati syahid. Termasuk Hamzah bin Abi Thalib, paman tercinta Nabi.

Perang Uhud sempat meruntuhkan mental kaum Muslimin. Allah kemudian membangkitkan semangat, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an yang artinya: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran [3]:139). Saat itu sebagian pasukan Muslim tergoda ghanimah dan tidak taat amanah!

Uhud memberi pelajaran berharga. Umat Islam, hatta ketika Nabi Muhammad berada di samping mereka, dalam perjuangan menegakkan ajaran Ilahi tidak luput dari cobaan berat. Berjuang di jalan Allah itu harus disiplin taat kepada Rasul-Nya, istiqamah dan bermujahadah, serta tidak boleh tergoda apapun yang membelokkan diri dari misi awal. Mereka harus memiliki dua syarat seperti difirmankan Allah, yang artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (Qs Ali Imran [3]: 142).

Perjuangan menegakkan risalah Islam itu perlu pembuktian kesungguhan dan kesabaran, bukan keindahan kata-kata dan citra. Lebih-lebih bila menjadi lahan ambisi dan hasrat duniawi. Jangan sampai dari luar tampak ingin berjuang di jalan Allah, tetapi kenyataannya lain. Lalu, ketika kesulitan datang menghadang, malah tunggang langgang.

Bukti kesungguhan berjihad di jalan Allah ditunjukkan para sahabat Nabi pasca kekalahan Uhud. Nabi yang masih terluka parah membangkitkan kembali semangat jihad. Dalam suatu riwayat dikisahkan, saat itu Nabi menyeru, “Wahai pasukan Muslimun, siapa di antara kalian yang sanggup mengangkat pedang ini?”. Semua bangkit, seraya menyatakan kesediaan diri untuk berperang lagi.

Nabi bertanya lagi, “Man yahudu minni bi-haqqihi?” “Siapakah yang berani ambil pedang ini dengan penuh kesungguhan?” sabdanya. Lalu, tampil sosok Abu Dujanah yang mengambil pedang itu. Dia menyeruak ke medan perang dan berhasil menerjang musuh, lalu mati syahid.

Banyak ibrah dari Bukit Uhud. Kaum Muslimun kapan dan di manapun harus membuktikan konsistensinya dalam berjuang di jalan Allah, termasuk dalam berdakwah. Berdakwah haruslah diniati sepenuhnya untuk mengemban tugas ibadah dan kekhalifahan di muka bumi. Perjuangan harus ditunaikan dengan ikhlas, pengabdian, bertanggungjawab, berani hadapi rintangan, serta berkorban demi meraih ridha Allah.

Berjuang di jalan dakwah itu ibadah untuk tegaknya Islam, bukan kejar jabatan, materi, dan mobilitas diri. Jika yang dikejar itu posisi dan hal-hal duniawi maka akan jadi beban. Sabda Nabi, yang artinya: “Sesungguhnya di antara kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kedudukan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (HR Bukhari).

Di bukit Uhud yang bersejarah itu, dalam usaha membangkitkan kembali jihad fi sabilillah, Nabi menyeru dengan menggunakan kata “bi-haqqi-hi”. Artinya amanah itu harus benar-benar ditunaikan dengan tanggungjawab nyata, bukan kesanggupan lisan. Sebab dalam praktiknya, tidak sedikit orang bergelora ingin berjuang di dakwah, namun jauh panggang dari api. Ia ambil yang ringan-ringan dan menyenangkan, seraya meninggalkan yang berat-berat dan penuh pendakian! Wallahu ‘alam bi al-Shawwab.

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 15 Tahun 2015

Exit mobile version