Mitos Gerhana

gerhana

Gerhana adalah peristiwa alam ciptaan Allah. Gerhana matahari maupun bulan merupakan kejadian astronomi yang dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Berkat ilmu falaq yang canggih sebagaimana dikembangkan Muhammadiyah dapat diketahui beberapa tahun sebelumnya kalau akan terjadi gerhana. Jutaan manusia di muka bumi ini bahkan dapat menikmati gerhana matahari total 9 Maret 2016 di sejumlah daerah Indonesia.

Namun bagi sebagian masyarakat yang masih berpikir dalam tradisi lama, gerhana banyak diselimuti mitos. Suatu kepercayaan yang direka-reka seolah benar. Sebagian orang Jawa atau Nusantara memiliki kepercayaan, kalau gerhana itu terjadi karena ulah Bathara Kala yang marah dan menelan bulan atau matahari. Agar sang raksasa segera melepas cengkeramanannya diperlukan kegaduhan di bumi dengan memukul kentongan beramai-ramai.

Raksasa jahat itu bahkan suka memakan bayi di bawah umur. Karenanya ketika gerhana terjadi, bayi-bayi harus disembunyikan agar tidak dimakan makhluk mengerikan itu. Sungguh aneh, Perangko GMT (Gerhana Matahari Total) Indonesia tahun 2016 malah bergambar raksasa sedang menelan benda langit itu, sehingga kesan mitos masih diproduksi di negeri ini. Boleh jadi mau menjual budaya khas Indonesia, tetapi tetap saja mengandung aroma mitologis.

Rakyat Jepang dan Cina juga memiliki mitos serupa. Gerhana terjadi karena naga raksasa marah hingga menelan benda langit itu dan racun para dewa disebarkan di langit hingga gelap di siang hari. Kepercayaan-kepercayaan tahayul itu tentu seiring dengan perkembangan alam pikir masyarakat yang masih terbatas dan belum memiliki ilmu pengetahuan yang luas.

Ketika gerhana matahari terjadi di masa Nabi juga sempat muncul mitos dengan yang mengaitkan peristiwa itu dengan meninggalnya putra Rasul bernama Ibrahim. Nabi kemudian meluruskan opini yang salah itu, sehingga keluar sabdanya: “la yankhasifani li-mawti ahadin wa la li-hayatihi wa lakinnahuma ayatani min ayati Allah”, gerhana itu tidak ada hubungannya dengan kematian atau hidupnya seseorang tetapi keduanya merupakan tanda kemahakuasaan Allah (HR An-Nasa’i dari ‘Aisyah).

Islam mengajarkan dua dimensi tentang peristiwa alam yang memakjubkan itu. Dimensi metafisik yang menyangkut kekuasaan Allah, sekaligus dimensi ilmu pengetahuan tentang keteraturan sistem ciptaan-Nya di alam semesta. Bahwa malam, siang, bulan, bumi, dan matahari adalah tanda kekuasaan Allah dan semua berada dalam manzilahnya, satu sama lain tidak akan saling mendahului, serta beredar pada garis edarnya (Qs Yasin: 37-40).

Karenanya mitos harus ditinggalkan. Hal-hal yang mengandung rahasia alam sejauh dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan maka teruslah dikembangkan untuk dipahami secara keilmuan. Peristiwa yang masih belum terjangkau terus dikaji dengan ilmuilmu baru yang lebih canggih. Selebihnya kalau masih tidak terjangkau maka menjadi rahasia kekuasaan Allah. Wilayah iman dan yang tak terjangkau oleh akal dan ilmu tidak harus berbelok menjadi mitologis. Manusia tidak perlu mereka-reka peristiwa alam dengan mitos, sebagai lambang pengetahuan dan kepercayaan yang terbatas dan berlawanan dengan prinsip tauhid.

Banyak mitos berkembang dalam masyarakat yang masih beralam-pikir supranatural itu. Keajaiban alam sebagai penanda kekuasaan Allah di semesta raya dipahami dengan “pengetahuan” yang diwariskan secara turuntemurun dari nenek moyang mereka. Seperti kepercayaan penguasa laut bernama Nyi Loro Kidul, yang suka menelan korban lewat gelombang laut yang dahsyat. Di pantai laut selatan sebagian orang melarang datang dengan berbaju warna biru, yang tidak disukai sang penunggu laut itu.

Maka, umat Islam dituntut untuk meluruskan iman dan tauhidnya kepada Allah dalam membaca tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta raya ini. Selain itu niscaya mengembangkan ilmu pengetahuan yang tinggi agar tidak terjebak dalam mitos ala berpikir nenek moyang di masa lampau. A. Nuha

Sumber: Majalah SM Edisi 7 Tahun 2016

Exit mobile version