SIDOARJO, Suara Muhammadiyah – “Dar al-Ahdi Wa as-Syahadah: Model Ideal Hubungan Agama dan Negara” merupakan tema yang diangkat dalam Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA). Acara yang bertempat di Auditorium KH. Ahmad Dahlan tersebut dibuka langsung oleh Prof Dr Haedar Nashir, MSi Ketua Umum PP Muhammadiyah serta dihadiri lebih dari 1000 peserta.
Haedar Nashir mengungkapkan bahwa Dar al-Ahdi Wa as-Syahadah merupakan model yang sangat ideal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep ini lahir pada periode lalu dan disahkan pada Muktamar Muhammadiyah di Makassar tahun 2015. “Pada waktu itu saya ditugaskan sebagai ketua SC, bagian merumuskan dan menghimpun seluruh pemikiran serta mengolahnya dengan sedemikian rupa,” kenangnya.
“Dar al-Ahdi Wa as-Syahadah” ialah konsep resmi dari Muhammadiyah dan merupakan satu-satunya dokumen miliki organisasi Islam yang mengatur tentang posisi Islam dan negara. “Ada organisasi lain yang memiliki pandangan sama dengan Muhammadiyah mengenai NKRI. Mereka mengatakan bahwa NKRI sudah final, namun setahu kami belum ada dokumen resminya,” ujar Haedar, Selasa (3/3).
Muhammadiyah telah lebih dulu merumuskan konsep ini sebagai representasi dari sikap dan pandangan Muhammadiyah tentang negara. Waktu itu terjadi perdebatan luar biasa di PP Muhammadiyah. Ada yang tidak bersepakat menggunakan kata dar al-ahdi karena memiliki konotasi yang dikaitkan dengan dar al-harb, dar al-islam, dar as-salam dan lain sebagainya. “Waktu itu pak Din, saya, dan anggota PP yang lain bersikukuh bahwa kita bisa menggunakan istilah dar al-ahdi dengan kontruksi kita sendiri dengan memberi pemikiran serta tafsir tersendiri terhadap istilah ini, dan itu sah secara keilmuan,” ungkapnya.
Pada hakikatnya pandangan Muhammadiyah dan umat Islam tentang NKRI sudah selesai. Ketika Ki Bagus Hadikusumo Ketua PP Muhammadiyah saat itu dan tokoh Islam yang lain telah bersepakat menjadikan Indonesia sebagai negeri yang lahir dari kesepakatan bersama. “Kita umat Islam tidak boleh keluar dari kesepakatan tersebut,” pesannya.
Dalam perkembangannya setelah Indonesia merdeka khususnya pasca reformasi. Bangsa Indonesia mengalami dinamika politik yang luar biasa. Oleh karena itu lahirlah gerakan Darul Islam dan Tantara Nasional Islam Indonesia (DITII) di Jawa Barat dengan tokohnya bernama Kartosuwiryo, di Aceh, di Sulawesi Selatan ada Kahar Muzakar, dan juga di Banjarmasin.
Gerakan DITII ini sebenarnya merupakan gerakan yang kompleks. Bukan semata-mata hanya mendirikan negara Islam tanpa sebab. Hal ini terjadi karena proses kekecewaan politik terhadap pemerintahan di Jakarta. Mereka yang kecewa akhirnya memperoleh jalan untuk gerakan politik melalui DITII, kemudian menjadi prahara nasional dan mulai dapat dipadamkan pada tahun 1965. “Ini merupakan suatu peristiwa yang dikemudian hari memiliki pengaruh terhadap sebagian umat Islam yang masih merasa kecewa. Hasil reproduksi dari gerakan DITII maka lahirlah gerakan komando jihad dan lain sebagainya,” jelasnya.
Setelah reformasi, Muhammadiyah berpandangan tidak akan ada lagi gerakan tersebut, namun ternyata di tubuh umat Islam lahir gerakan serupa walaupun memiliki arus yang kecil. Gerakan ini bertujuan mendirikan kekhalifahan Islam yang bersifat internasional dengan dalih bahwa Indonesia mengalami kekacauan sistem dan dililit banyak permasalahan, tidak sejalan dengan aspirasi Islam dan umat Islam sehingga perlu ada alternatif. Mereka melihat alternatif satu-satunya adalah negara Islam dalam bentuk khilafah Islamiyah dan bersifat Internasional. “Atas dasar idiologi paham ini tumbuh subur pada sebagian umat Islam walaupun telah dilarang dan dianggap ancaman oleh negara,” paparnya.
Bersamaan dengan gerakan tersebut muncul juga gerakan transnasional yang menganut paham islamisme, yang memandang Islam sebagai idiologi politik. “Berdasarkan pengamatan terhadap gerakan tersebut, maka Muhammadiyah merumuskan konsep ‘Dar al-Ahdi Wa as-Syahadah’ untuk menyegel dan mengunci pemikiran yang diaktualisasikan dalam gerakan dan usaha-usaha mendirikan negara di luar konsep dasar negara yang telah kita sepakati bersama,” tutupnya.
Dr Hidayatullah, MSi Rektor UMSIDA dalam sambutannya menyampaikan atas nama pimpinan UMSIDA mengucapkan terimakasih kepada PP Muhammadiyah yang telah memberikan kepercayaan kepada UMSIDA untuk menjadi tuan rumah dalam acara Seminar Pra Muktamar ke-48. Dengan terselenggaranya Seminar Pra-Muktamar diharapkan dapat memberikan pencerahan, sehingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mampu menghadirkan pencerahan kepada sesama.(Diko/Riz)