Kata budayawan Sujiwo Tejo, “Pergi ke Yogya adalah caraku menertawakan kesibukan orang-orang Jakarta.” Sebagian kita mengiyakan, Yogya adalah kota istimewa. Ketika mendengar namanya, ingatan akan langsung membayangkan minimal tentang Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, kota budaya dan pelajar, ibukota Muhammadiyah, dan Malioboro. Ingatan Yogyakarta tentang Muhammadiyah, Keraton dan pendidikan ternyata bukan sekadar halusinasi.
Sejarawan Abdul Munir Mulkhan mengungkap hubungan simbiosis antara Muhammadiyah dan Keraton sejak era penjajahan Belanda, beririsan pada pendidikan. “Saat itu, seolah Keraton yang berada dalam kontrol Belanda menggunakan Muhammadiyah untuk aksi-aksi sosial bela rakyat. Sementara bagi kiai dan Muhammadiyah, Keraton jadi simbol wibawa juga perlindugan politik,” katanya. Muhammadiyah menjadi semacam ‘tangan tersembunyi’ bagi aksi sosial dan pendidikan yang digunakan keraton untuk pemajuan rakyat dan bangsa.
Sebagai keberlanjutan Mataram, Islam merupakan agama resmi kerajaan, dengan wujud singkretisme Islam dan budaya lokal, sebagaimana diurai Siti Hadiroh, istri Kiai Penghulu [Ketika tulisan ini dipublish, Ahmad Muhsin Kamaludiningrat ‘tidak lagi menjabat’ Kiai Penghulu]. Pendidikan di lingkungan keraton pada mulanya hanya pendidikan agama dan sastra. Abad ke-20 mulai berkembang pendidikan Barat. Lalu direspons Sultan HB VII dengan membuka sekolah dasar pertama di Tamanan dan kemudian dipindahkan ke Keputran (sekarang SD N Keputran). Pendidikan jenjang menengah dan lanjutan disediakan oleh pemerintah penjajah seperti HIS, Mulo, dan AMS (Algemeene Middelbare School).
Para fase ini, tahun 1918 berdiri sekolah guru Hogere School Moehammadijah, cikal bakal Madrasah Mu’allimin Yogyakarta. Sultan HB VII mengizinkan perumahan Kasultanan di Ngampilan dipergunakan sebagai asrama pelajar Mu’allimin. Sultan HB VIII juga ikut hadir dalam sebuah peresmian gedung Madrasah Mu’allimin, yang menjadi simbol perjuangan Kiai Dahlan di tengah berkembang pesatnya pendidikan Belanda. Kiai Dahlan meruntuhkan persepsi bahwa Islam identik dengan kemunduran dan Barat sebagai simbol kemajuan. Dengan menjadikan fokus Muhammadiyah awal pada pilar pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial.
“Ketika kaum non-muslim mendirikan sekolah, Muhammadiyah mendirikan sekolah. Keraton memberikan banyak manfaat kepada Muhammadiyah. Di Jogja ada tanah keraton atau sultan ground yang kemudian digunakan oleh Muhammadiyah untuk membangun sekolah. Dalam hal ini, Keraton sangat longgar dengan Muhammadiyah dan meminjamkannya untuk kepentingan persyarikatan,” tutur Takmir Masjid Gedhe Kauman, Azman Latif. Sekolah Muhammadiyah pertama yaitu SD Muhammadiyah Pawiyatan di Kauman, menempati tanah milik Keraton. “Dulu ada 2 sekolah, satu untuk putri yaitu di SD Pawiyatan, dan yang untuk putra di SD Suronatan,” katanya.
Anggota Parampara Praja DIY, Professor Edy Suandi Hamid menyatakan, dukungan Keraton terhadap pendidikan Muhammadiyah masih berlanjut hingga hari ini. Ditunjukkan misalkan dengan kehadiran Sri Sultan HB X dalam peresmian Unit Pelayanan Jantung Terpadu RS PKU Muhammadiyah Gamping Sleman pada September 2017. Sultan HB X juga pernah menjabat Ketua Kehormatan Dewan Penyantun UMY.
Dukungan Keraton pada pendidikan Muhammadiyah merupakan wujud kesamaan visi antara kedua institusi yang berkonstribusi besar memajukan negeri. Yaitu entitas agama yang diwakili Muhammadiyah dan entitas budaya yang diwakili Keraton. Hal ini dinyatakan oleh Sultan HB X dalam pidato Milad 105 M di Keraton Yogyakarta. “Muhammadiyah dan keraton bisa berakselerasi menciptakan keserasian revolusi mental,” tutur Sultan. (ribas, bahan: th, gsh)
————
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Sajian Utama” majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 3 tahun 2018