Muhammadiyah dan Kesultanan Yogyakarta

Sampai hari ini, masih ada yang bertanya-tanya mengapa Pimpimpinan Pusat Muhammadiyah menggelar puncak perayaan Milad ke- 105, di Pagelaran Kraton Yogyakarta. Mengapa pula Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengku Buwana X diberi Muhammadiyah award tahun ini?

Andai kita membuka lembaran sejarah beberapa tahun silam, maka akan dijumpai banyak catatan tentang kedekatan Kesultanan Yogyakarta dengan pergerakan Muhammadiyah. Pada masa awal kelahirannya, setiap kali Muhammadiyah menggelar Kongres di Yogyakarta, selalu memakai kagungan dalem alun-alun utara sebagai medan kongresnya.

Peristiwa kongres yang digelar di alun-alun tersebut terekam cukup kuat di memori kolektif warga Yogyakarta. Setidaknya, peristiwa sempat menjelma dalam tembang dolanan anak waktu itu. Congres-congres Agung/ dipasang nang alun-alun/sak kulon ringin kurung /sapa sing ora ngungun/sapa ora melu mesti bakale getun (Kongres-kongres agung/ diselenggarakan di alun-alun/ sebelah barat ringin kurung/siapa yang tidak kagum/ siapa yang tidak hadir pasti kecewa).

Apabila kita membaca Suara Muhammadiyah era pra kemerdekaan, khususnya dalam laporan pelaksanaan dan daftar penyumbang dana kongres, selalu tercantum nama Sultan Hamengku Buwana dan Adipati Pakualam sebagai penyumbang nomor satu dan dua.

Tidak hanya itu, pada saat Muhammadiyah berdiri dan mendapatkan banyak tentangan dari berbagai kalangan, Sri Sultan HB VII justeru memberikan advis agar pemerintah Hindia Belanda memberikan “rechspersoon” (pengakuan legalitas) kepada Muhammadiyah. Dukungan Sri Sultan HB VII ini tercermin dari restu beliau kepada Penghulu Kraton, KH Muhammad Kamaludiningrat untuk menjadi anggota Muhammadiyah. Bahkan memepunyai nomor induk pertama   dalam daftar anggota (stamboek) Persyarikatan.

Kiai Dahlan juga diberi keleluasaan untuk menggunakan kagungan dalem pendapa Kepenghuluan Kraton untuk berbagai kegiatan Muhammadiyah. Dalam bahasa jawa, Muhammadiyah benar-benar diajangi jembar (didukung sepenuhnya) oleh Sultan HB VII. Antara Muhammadiyah dan kraton terjalin semacam kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Kesatuan Muhammadiyah dengan Kasultanan ini setidaknya tergambar dalam peristiwa jengkar dalem Sultan HB VII dari Kraton ke Pesanggrahan Ambarukma. Pada saat itu iring-iringan pandu HW  menjadi satu-satunya barisan mayarakat sipil yang diperbolehkan mengikuti prosesi arak-arakan bersama dengan perlengkapan upacara Kesultanan. Tanpa banyak yang tahu, kedekatan dan kesaling dukungan ini terus terjalin sehingga sekarang.

Dalam tinjauan kekininan, kedekatan Muhammadiyah dengan kraton ini barangkali terasa aneh. Bagaimana mungkin Institusi tradisional yang telah menemukan kemapanan bentuk dan kuasanya dapat bersinergi dengan institusi baru yang senantiasa menggelorakan semangat pembaruan?

Peristiwa penggalian selokan mataram pada masa pendudukan Jepang, tampaknya bisa menjelaskan fenomena ini. Dalam catatan KRH Haiban Hadjid, keterlibatan warga Muhammadiyah sangat bisa diandalkan ketika penggalian harus merambah kawasan yang dianggap angker dan keramat serta ditakuti oleh warga. (Suara Muhammadiyah nomor 23 tahun 1988).

Memang, sebagai dua institusi  yang melibatkan banyak orang dengan aneka kepentingan dan gaya perilakunya sendiri, hubungan antara Muhamadiyah dan Kasultanan juga tidak selamanya mesra. Riak kecil antar keduanya juga pernah terjadi. Seperti kasus pemotongan setengah subsidi rumah miskin Muhammadiyah dari Kasultanan tahun 1925 misalnya. Namun semua riak itu tampaknya tidak perlu dirisaukan karena tidak pernah menggoyahkan bangunan besar kebersamaan yang telah terjalin lebih dari satu abad ini. [isma]

————-

Tulisan ini pernah dimuat di majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 3 tahun 2018

Exit mobile version