Muhammad Yuanda Zara
“Verkoop van Moehammadijah Zegels. Groot Succes” (Penjualan Perangko Muhammadiyah sukses besar”). Demikianlah koran finansial berbahasa Belanda, Soerabaijasch Handelsblad, mengumumkan pada 24 September 1941. Berita ini merujuk pada aksi penjualan perangko amal oleh Muhammadiyah. Baru dua hari diluncurkan, Muhammadiyah berhasil mengumpulkan 1.500 gulden dari penjualan perangko itu.
Dalam historiografi Muhammadiyah, perangko amal ini beberapa kali diulas sepintas sebagai salah satu cara Muhammadiyah untuk mendapatkan dana (bandingkan dengan Fauzia, 2013). Namun, belum banyak dibahas mengenai bagaimana sebenarnya perangko itu dijual serta seperti apa respons publik terhadap perangko itu.
Pada mulanya, pemerintah Hindia-belanda mengeluarkan perangko amal yang keuntungan penjualannya diserahkan kepada organisasi misi Kristen. Menanggapi hal ini, sejumlah organisasi Islam, termasuk Muhammadiyah, meminta kepada pemerintah agar diperbolehkan mengeluarkan perangko amal pula.
Di bawah Mas Mansur, Muhammadiyah mengorganisir Komite Perangko Amal guna mengumpulkan dana untuk kegiatan amal usahanya. Komite berupaya melobi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Bogor. Sang gubernur tidak hanya setuju tapi juga memberikan sokongannya. Muhammadiyah diperbolehkan menerbitkan perangko amal pada 1941. Kepada Komite, diserahkan bantuan sebanyak 500 gulden oleh gubernur jenderal melalui pelindung Komite, ilwuman terkenal Hoesein Djajadiningrat, untuk “tujuan yang bermanfaat.”
Perangko amal pun terbit, dan dipromosikan lewat lagu-lagu populer yang bahkan dinyanyikan oleh anak-anak kampung. Perangko itu terdiri dari lima jenis, masing-masingnya bernilai 2, 3½ , 7½ , 10 dan 15 sen dan dijual dengan harga 3, 5, 10, 12½ dan 20 sen. Sebagian gambarnya memperlihatkan upaya tenaga kesehatan bumiputra dalam merawat orang sakit. Penjualan dimulai dari 22 Setember 1941 hingga akhir Oktober tahun yang sama. Perangko itu sendiri berlaku sejak 22 September sampai akhir Juli 1942.
Para anggota Komite sangat aktif mempromosikan perangko itu di daerahnya masing-masing. Di Malang, penjualannya dipusatkan di Jl. Regentstraat 11 (kini Jl H Agus Salim), dan ditangani oleh Ketua Komite kota itu, Radjab Ganie, dan sekretarisnya, Ach. Moesaffa Basjyr. Sementara itu, di Semarang, penjualan perangko amal dikelola oleh konsul dari pimpinan pusat Muhammadiyah asal Semarang, Dulchornaén.
Sebagaimana disebut di muka, dalam beberapa hari saja terbukti bahwa keputusan Muhammadiyah menjual perangko amal sukses besar. Dan, itu belum lagi mencapai puncaknya. Diharapkan bahwa penjualan akan kian meningkat pada Lebaran 1941 itu saat, menurut seorang wartawan Belanda, “kartu-kartu ucapan selamat [Hari Raya] dikirim ke berbagai tujuan”.
Pers berbahasa Belanda menyambut baik gerakan weldadigheidszegel (‘perangko amal’) ini. Salah satu koran dengan oplah terbesar di Hindia-belanda, De Indische Courant (Surabaya), menempatkan berita promosi perangko amal Muhammadiyah di halaman pertama, di tengah-tengah berita politik dan militer nasional dan internasional. Koran itu juga memuji setinggi langit nilai artistik dari perangko amal itu. Jurnalisnya pada edisi 17 September 1941 menulis:
“Perangko-perangko itu tampak menarik dan memperlihatkan fase-fase berbeda dari perawatan yang dilakukan oleh para perawat dan mantri Indonesia. Namun, ada satu pengecualian, yakni perangko 15 sen, di mana seorang Jawa memegang erat huruf V, simbol kemenangan. Sebuah tindakan simpatik dari Muhammadiyah!”
Perangko Amal dan Dunia Perangko
Menariknya, dan yang sejauh pengamatan saya belum dibahas di karya manapun tentang Muhammadiyah, berita tentang perangko amal Muhammadiyah bukan hanya menjadi konsumsi warga Muhammadiyah, atau bahkan Hindia-Belanda semata, melainkan juga menarik minat warga dunia. Melalui perangko ini, kurang dari tiga dekade sesudah pendiriannya, nama Muhammadiyah sudah dikenal hingga ke salah satu penjuru bumi. Bukan Arab Saudi ataupun Mesir, melainkan Suriname, jajahan Belanda di benua Amerika.
Pada Agustus 1941, Klub Perangko Curaçao (Curaçaose Postzegel Vereniging), mengadakan sebuah rapat umum. Beberapa di antara agenda mereka ialah lelang dan saling tukar perangko. Ada beberapa jenis perangko yang menjadi fokus perhatian kala itu, yakni perangko asal Belanda, perangko Palang Merah Suriname, dan perangko “dari Hindiabelanda”. Yang disebut terakhir ialah “een serie weldadigheidszegel” (‘satu seri perangko amal’) dari Muhammadiyah. Harga per serinya 0,50½ gulden.
Koran terbitan Ibu kota Suriname, Amigoe di Curaçao, menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan yang bertujuan “mendirikan dan memelihara rumah yatim piatu, rumah orang miskin, rumah sakit, dan sekolah bagi kaum pribumi”.
Bila ada orang Suriname yang jadi membeli perangko amal Muhammadiyah itu dan masih menyimpannya hingga kini, bisa kita katakan bahwa jangkauan perangko amal Muhammadiyah bukan cuma transkota, melainkan transnasional.
Terlalu kecil bila disebut bahwa perangko amal hanyalah bagian sejarah Muhammadiyah saja. Ini menunjukkan bagaimana orang Suriname (umumnya keturunan India, Cina, dan Jawa) memberikan perhatian pada perangko amal Muhammadiyah. Di Suriname, dengan demikian, perangko amal Muhammadiyah menjadi pintu masuk dikenalkannya latar belakang, perkembangan, dan misi organisasi Muhammadiyah di sana.
Refleksi Lewat Perangko
Fakta bahwa aksi perangko amal Muhammadiyah didiskusikan dalam pers Belanda di Hindia-Belanda hingga Suriname menunjukkan bahwa gerakan itu menuai hasil positif di dalam dan luar negeri, meski setiap orang punya tujuan yang berbeda dalam membeli perangko itu.
Di sisi lain, perangko amal adalah salah satu bentuk bagaimana Muhammadiyah menyesuaikan diri dengan revolusi komunikasi yang tengah melanda dunia. Seorang filatelis Belanda, O.J. Raap (2015), pernah menyebut bahwa di awal abad XX, mengirim kartu pos (dengan perangko pastinya) di Hindia-Belanda sama populernya dengan mengirim SMS dan WhatsApp di zaman sekarang. Artinya, gerakan perangko amal Muhammadiyah menunjukkan energi adaptasi Muhammadiyah dengan memodernisasi caranya berdakwah sesuai dengan perkembangan teknologi komunikasi, serta memperluas jangkauan imejnya hingga melintasi batas-batas bangsa dan negara hanya dengan selembar kertas kecil bernama perangko.
Perlu kiranya bagi Muhammadiyah, atau pengamat Muhammadiyah, untuk melestarikan ingatan tentang perangko amal ini dengan cara “kekinian”. Misalnya menerbitkan buku berkertas luks yang merangkum reproduksi berbagai perangko atau benda pos lainnya yang pernah diterbitkan Muhammadiyah. Di sana diberikan penjelasan singkat, tak hanya tentang kapan benda pos tersebut diterbitkan, melainkan juga dalam konteks jangkauan, pengaruh, dan konsekuensinya bagi gerakan Muhammadiyah, Indonesia dan dunia.
Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan, PhD di Universiteit van Amsterdam
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 18 Tahun 2016