Hamim Ilyas: Post Truth Telah Ada di Era Rasulullah

Fenomena Post Truth sering mengganggu hubungan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk membahas tentang hal ini, Suara Muhammadiyah mewawancarai Dr Hamim Ilyas MAg, dosen Mumalah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga yang sekaligus aktivis di bidang keadilan. Berikut isi wawancara tersaji dalam bentuk dialog:

Saat ini berkembang fenomena Post truth, apakah sebenarnya fenomena ini?

Fenomena ini berasal dari kebenaran semu. Kebenaran yang hanya diakui masing-masing kelompok dan menafikan kelompok yang lain. Padahal kebenaran yang sebenarnya adalah kebenaran yang bersifat universal.

Kenapa ini terjadi?

Banyak penyebabnya, tetapi yang paling dominan adalah masalah ekonomi dan politik. Biasanya, karena takut kehilangan kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun kekuasaan ekonomi.

Apakah fenomena ini memang baru terjadi pada saat ini, atau sudah terjadi masa lalu?

Memang tidak hanya terjadi pada saat ini saja. Post truth sudah terjadi di masa lalu, pada era Nabi Muhammad saw dan bahkan mungkin pada masa-masa sebelumnya.

Bisa dicontohkan bagaimana post truth terjadi di era Nabi Muhammad saw?

Saat itu Nabi Muhammad saw menyampaikan kebenaran yang haq, tetapi kaum Quraisy menolaknya. Dengan alasan mereka masih mengukuhi kebenaran apa yang diwariskan nenek moyang mereka.

Hal ini bisa dilihat dalam AlQur’an surat Al-Baqarah ayat 170 dan Al Maidah ayat 104.

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal,nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk.” (Qs Al-Baqarah: 170)

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya).” Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (Qs AlMaidah:104)

Tetapi sebenarnya bukan itu alasan pokoknya.

Lalu apa alasan pokoknya?

Mereka takut kehilangan kekuasaan. Saat itu sebetulnya, ada dua kekuasaan di kota Makkah, kekuasaan agama dan ekonomi di Makkah yang dikuasai Masyarakat Quraisy. Kekuasaan agama ada di tangan Bani Hasyim, sedangkan kekuasaan ekonomi ada di tangan Bani Umayah.

Bani Hasyim dengan Muhammad saw membawa agama monoteisme, sedangkan umumnya masyarakat Arab pada waktu itu menganut paham paganisme. Orang di luar Bani Hasyim, terutama yang telah mapan kekuasaannya takut jika mengikuti agama monoteisme akan hilang kekuasaannya. Akan diusir dari Makkah sebagaimana suku-suku sebelumnya yang telah menguasai Makkah.

Bagaimana dengan post truth yang terjadi di Indonesia saat ini?

Misalnya yang terjadi saat ini, antara dua kelompok pendukung pasangan capres dan cawapres (paslon). Baik untuk paslon 01 maupun paslon 02, mereka mempunyai kebenaran masing-masing dan menafikkan kebenaran paslon yang lain. Apapun data yang mendukung paslonnya, meski salah dianggap sebagai kebenaran. Sebaliknya kalau sebuah data tidak mendukung paslonnya, meski benar bukan dianggap sebagai kebenaran.

Ini berlaku untuk pendukung paslon 01 maupun paslon 02. Mereka sudah membutakan diri terhadap kebenaran yang dilakukan paslon lawannya, Bahkan kadang kala dibumbui dengan kekhawatiran dan ketakutan. Jika yang terpilih paslon yang satu maka Indonesia akan bubar dan jika yang jadi paslon yang lain Indonesia akan dikuasai kaum radikal. Padahal belum tentu hal ini benar-benar terjadi jika paslon-paslon tersebut berkuasa.

Untuk tidak terjadi polarisasi lebih jauh, tentu diperlukan orang-orang yang ada di tengah yang pikirannya masih jernih dan keberpihakannya pada ilmu. Ini biasanya dimiliki oleh ulama dan cendekiawan kampus. Tapi sayangnya ulama sudah ikut larut di dalamnya. Tinggal kini cendekiawan kampus yang menjadi tumpuan dan tidak berpihak pada salah satu calon untuk bisa berbicara secara jernih agar polarisasi tidak semakin melebar.

Apakah hal ini hanya terjadi di Indonesia?

Tidak. Hal ini terjadi hampir di seluruh dunia, bahkan di Negara maju seperti di Amerika. Bahkan polarisasi yang terjadi mengakibatkan sejumlah pihak berpikiran untuk membagi dua Negara Amerika.

Bagaimana langkah menghadapi post truth agar tidak larut di dalamnya?

Paling tidak ada tiga langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi post truth ini. Pertama, mentalisasi. Kedua, Tabayun dan Ketiga, Berlaku sewajarnya jika mencintai atau membenci sesuatu.

Pertama, Mentalisasi, bedakan dengan program revolusi mental yang dilakukan oleh rezim saat ini. Mentalisasi ini menyangkut segi kejiwaan masing-masing pendukung. Pertama mulai menjauh dan menjaga jarak dan melihat secara jernih kebenaran yang ada pada masing-masing kelompok paslon.

Kedua, Tabayun atau chek and re-chek. Ini menyangkut manajemen informasi yang kita terima. Tabayun atau check & re-check: Merupakan proses pengecekan kebenaran suatu berita. Tabayun merupakan ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al Hujurat ayat 6: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Ketiga, Berlaku sewajarnya jika mencintai atau membenci sesuatu. “ahbib habiibaka haunammaa, asa’an yakuuna baghidhaka yaumammaa wa abghidh baghidhaka haunammaa, asa’an yakuuna habiibaka yaumamma”

“Cintailah kekasihmu (secara) sedang-sedang saja, siapa tahu disuatu hari nanti dia akan menjadi musuhmu; dan bencilah orang yang engkau benci (secara) biasa-biasa saja, siapa tahu pada suatu hari nanti dia akan menjadi kecintaanmu” (Riwayat Turmidzi)

Sebagaimana juga ada pada Qs An Nisa; ayat 19. …. Kemudian jika kamu (merasa) benci kepada mereka (disebabkan tingkah lakunya, janganlah kamu terburuburu menceraikannya), kerana boleh jadi kamu bencikan sesuatu, sedang Allah hendak menjadikan pada apa yang kamu benci itu kebaikan yang banyak (untuk kamu). (Lutfi)

Profil Dr. H. Hamim Ilyas, M.Ag. adalah dosen di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah (UMY) Yogyakarta, dan Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 2 Tahun 2019 dengan judul Kebenaran Semu

Exit mobile version