Indonesia pasca reformasi dan amandemen UUD 1945 menjadi negara yang terdepan dalam demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam demokrasi negeri ini sangat maju setelah Amerika Serikat dan India. Dalam penegakan hak asasi manusia (HAM) memang masih terdapat sejumlah hal yang dianggap belum sukses, tetapi berkembang pesat.
Demikian majunya demokrasi dan HAM di Indonesia, maka tumbuh pandangan negeri ini benar-benar menjelma menjadi negara liberal sebagaimana layaknya negaranegara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Malah ada yang merasa kurang bebas atau liberal, sehingga makin kencang sejumlah tuntutan hak-hak warga untuk memperoleh ruang leluasa di Republik ini. Seperti isu tentang kondisi intoleransi agama, yang menuntut agar negara atau pemerintah lebih menjamin kebebasan beragama dan menindak tegas terhadap mereka yang intoleran.
Isu lain masih rutin diangkat ke ruang publik. Pada setiap bulan September tiba selalu ada tuntutan pelurusan sejarah G30/S/PKI/1965 dan pengusutan HAM berat atas pembantaian terhadap pengikut PKI waktu itu, yang dianggap korban tindakan rezim Orde Baru dan umat Islam. Padahal persoalannya tidak sesederhana itu, bahkan PKI dan para aktivisnya termasuk aktor tragedi kelam itu, serta sebelumnya terlibat dalam pemberontakan di Indonesia.
Isu mutakhir tentang tuntutan legalisasi Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Di DPR ada tarik-ulur soal LGBT sebagai ranah pidana, yang membuat Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat membuka cerita di balik layar tentang sejumlah partai politik yang pro-LGBT. Terjadi kontroversi seputar hak hidup kaum LGBT dan perilakunya. Kenyataan kelompok LGBT hidup di negeri ini dan menuntut hak, mereka merasa dan banyak dianggap bukan penyimpangan.
Padahal dengan basis nilai ajaran agama dan tentu saja Pancasila dan kebudayaan Indonesia keberadaan LGBT bertentangan dan tidak boleh dilegalkan oleh negara. Aspirasi umat beragama tegas, jangan jadikan LGBT dan hal-hal yang bertentangan dengan agama, Pancasila, dan nilai-nilai luhur kebudayaan Indonesia diperbolehkan dan dilegalkan secara hukum di negeri ini meskipun atasnama demokrasi dan HAM. Demokrasi dan HAM jangan melampaui agama, Pancasila, dan nilai luhur kebudayaan Indonesia.
Para elite, pejabat, tokoh, dan warga bangsa mestinya paham betul hakikat Indonesia sebagai negara dan bangsa yang tidak sama sebangun dengan negara-negara lain dalam mengadopsi demokrasi dan HAM meskipun atasnama ratifikasi keputusan PBB dan paham universalisme. Mestinya di negeri ini bukan hanya LGBT, bahkan ateisme yang menganut paham anti Tuhan maupun agnotisme atau paham anti agama yang hidup subur di bangsa-bangsa lain, tentu tidak boleh memperoleh hak legal konstitusional.
Indonesia secara konstitusional memiliki Pancasila sebagai dasar negara, bersamaan dengan itu mengakui dan melindungi secara resmi agama yang dipeluk oleh warga negara sebagai pedoman kehidupan termasuk dalam berbangsa dan bernegara. Keduanya dalam tataran yang berbeda secara yuridis, historis, dan sosiologis telah menyatu dalam perikehidupan bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara, sedangkan Agama sebagai ajaran Tuhan yang menjadi pedoman hidup fundamental para pemeluknya di tubuh bangsa ini.
Jadi, jangan jadikan demokrasi dan HAM serba liberal menguasai perikehidupan bangsa dan negara Indonesia. Apalagi yang bertentangan dengan Agama, Pancasila, dan nilai-nilai utama bangsa. Pandangan ini jangan dianggap sebagai dogmatis, ekslusif, dan konservatif dalam berdemokrasi dan penegakan HAM di Republik ini. (hns)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 4 Tahun 2018