Oleh: Muhammad Ferdi
Tidak berlebihan jika saya menyebut ranting merupakan kawah candradimukanya Muhammadiyah. Tempat mematri, menambal, menyulam dan menyepuh para kader-kadernya agar sakti mandraguna. Meluruskan yang bengkok dan menajamkan yang tumpul.
Siapa yang meragukan? Ranting memang demikian. Dengan mesin ketik seadanya dan dimodali semangat ngeyel satu dua gelintir orang pengurusnya, ranting justru mampu mencetak kader-kader militan.
Biasanya ketua ranting adalah orang kampung. Ia diangkat menjadi ketua karena yang lain tak ada yang bersuara. Diangkat secara aklamasi bukan karena kemampuan politik yang mumpuni. Mungkin tidak semua, tapi kupastikan di rantingmu juga. Bisa di maklumi menjadi pengurus di ranting muhammadiyah sepi, ada apa-apa harus merogoh kantong sendiri.
Pengurus ranting di kampung sangat tidak pragmatis. tidak perlu anggaran untuk melek saben wengi, atau wira-wiri mengurus kegiatan di rantinya. Yang dipikirkan tidak lain hanyalah bagaimana agar ketika mereka telah memasuki usia senja persyarikatanya terus hidup. Mungkin bagi para elit Muhammadiyah di kota-kota hal seperti ini dianggap biasa saja, tapi jangan salahkan jika tidak ada orang-orang kampung yang terus bergerak dengan keterbatasanya, bisa jadi, sekolah yang berjumlah ribuan, rumah sakit yang hari ini dibangga-banggakan itu segera tumbang. Bukan gedungnya yang runtuh tapi ruh kemuhammadiyahannya bisa jadi hilang.
Pengurus ranting biasanya dipandang sebelah mata, tampilanya dekil, retorikanya gagap. Tapi ketekunanya saat nguri-nguri perkaderan jangan di kecilkan.
Hasilnya? Entah disengaja atau tidak, mereka selalu berhasil menetaskan sebagian kader-kader militannya. Ada dua sampai lima orang selalu menjadi pelita di tengah rantingnya, tidak sebanyak jebolan universitas tapi kontribusinya lebih nyata. Cak-cek tidak banyak teori langsung beraksi.
Ketika di kota bangga dengan megahnya kampus dan besarnya rumah sakit, kami di ranting pinggiran desa justru puas dengan lima orang pemuda berdebat di selasar masjid memikirkan persyarikatan, lalu tadarusan, urunan beli gorengan dan dikroyok rame-rame. Bukan karena kita tak visioner, tapi di ranting memang tak semudah itu.
Kita tidak pernah protes jika tidak disebut sebagai yang “terhormat” ketika berada di forum atau dapat tempat dan pelayanan VIP. Pengurus ranting di akar rumput memang tidak boleh mudah baperan, bahkan jika apa-apa yang diupayakan tak pernah ditampakkan. Mungkin akan berbeda ketika anda adalah seorang rektor. Bukan karena pengurus ranting tak sehebat pak rektor, hanya saja lokasinya yang kalah wibawa.
Ranting harus terus diopeni, bibit tidak pernah di tanam di atas genting, dia harus ditancapkan ke tanah dan dirawat.
Kita boleh menggagas ribuan universitas, ribuan rumah sakit dan banyak amal usaha lainya. Tapi jangan lupa kita butuh kader muhammadiyah otentik yang punya rasa sakit hati ketika pengajian sepi, yang terus resah dan bingung ketika proses perkaderan berhenti. Yang terus semangat menghidupkan masjid -masjid dan mushola, yang terus bertanya karena besarnya AUM tidak berbanding lurus dengan jumlah kadernya, yang terus resah kenapa banyak orang-orang di AUM yang lupa rantingnya. Serta yang tidak pernah berhenti bergerilya dimana saja berada.
Muhammad Ferdi, Bidang Perkaderan Pimpinan Ranting Pemuda Muhammadiyah Watukebo Jember