Ada Apa dengan Kebenaran?

Ada Apa dengan Kebenaran?

Ilustrasi Dok Integral Life

Tak lama setelah gempa bumi di Lombok, beredar luas sebuah meme berisi kalimat (seolah-olah dari Kiai Dahlan) yang menyatakan bahwa bencana alam terjadi oleh sebab tunggal: pucuk pimpinan bangsa yang rusak. Pesan ini gencar direproduksi secara berulang setiap terjadi bencana. Sebarannya menjadi tak terkendali. Terlebih oleh mereka yang sejak awal tidak suka dengan penguasa, maka meme ini menjadi semacam peluru.

Terlepas dari motif di baliknya, proses penyebaran meme dan berita semisal ini telah menjadi lahan bisnis menggiurkan. Terdapat situs yang menyediakan jasa untuk membuat berita palsu dan ujaran kebencian. Situs semisal ini mendapatkan keuntungan melalui layanan iklan Google AdSense. Bisnis haram ini juga dilakukan melalui akun media sosial yang dikelola oleh sebuah tim buzzer.

Buzzer menjadi profesi baru di era digital dengan iming bayaran tinggi. Pelakunya adalah mereka yang berpendidikan dan paham isu yang dimainkan. Menurut pengamat politik Zaenal A Budiyono, dalam memengaruhi opini dan emosi massa, para buzzer menggunakan cara positive campaign, negative campaign, hingga black propaganda (semisal menyebarkan fitnah, hoaks, dan informasi privasi). Penggiringan opini ini dilakukan sesuai dengan permintaan para aktor politik.

Ruang publik pun menjadi kumuh oleh berbagai perdebatan tidak bermutu. Antara informasi yang benar dan salah, menjadi kabur

Terlebih ketika kebohongan terus diulang, suatu saat akan dianggap sebagai kebenaran. Sementara itu, internet menjadi alat yang memperbesar bibit pertentangan. Dengan kemampuan algoritmanya, masyarakat dunia maya akan dikurung dalam sebuah bilik gema (echo chamber) sesuai dengan kesamaan tertentu.

Dalam situasi ini, kebenaran dibicarakan ulang. Manusia sebagai subjek rasional telah diberi seperangkat kemampuan untuk mengenali kebenaran. Berpikir menjadi salah satu bukti eksistensi manusia, yang membedakannya dengan makhluk yang lain. Karena berakal dan punya kemampuan bernalar, manusia diidentikkan sebagai homo sapiens.

Ternyata, menurut sejarawan Yuval Noah Harari, homo sapiens merupakan spesies pasca kebenaran. “Kekuatannya bergantung pada mencipta dan percaya fiksi.” Dengan bakatnya untuk percaya pada hal-hal yang tidak masuk akal, manusia mengalami dilema. Potensi ini dimanfaatkan oleh yang berkepentingan untuk mengendalikan massa supaya berpihak pada kepentingannya. Maka digunakanlah mitos, dongeng, dan propaganda.

Pada kondisi normal, supaya bisa memengaruhi opini publik, pihak berkepentingan akan menutup rapat informasi kebenaran. Semisal membredel media. Pada masa pasca kebenaran, justru sebaliknya. Cara untuk mengaburkan suatu informasi yang sebenarnya adalah dengan menggelontorkan informasi sebanyak-banyaknya sampai publik bingung dan sulit membedakan antara yang benar dan yang fiksi.

Ilustrasi

Dalam masyarakat pasca kebenaran, fakta-fakta objektif dikalahkan oleh faktor kecenderungan emosional dan keyakinan pribadi. Sebuah informasi tidak lagi ditelisik tentang fakta, data, dan konteks yang sebenarnyabenarnya. Nilai kebenaran terhadap informasi ditentukan oleh rasa-merasa.

Kita sering terhanyut oleh berlimpah ruahnya informasi. Terbawa arus berbagai informasi yang datang bertubi-tubi. Apabila suatu informasi disampaikan oleh orang yang dekat secara emosional atau sesuai dengan kriteria pribadi, maka akan langsung dianggap benar. Sebaliknya, jika informasi itu datangnya dari orang yang tidak sesuai dengan keyakinan pribadi dan tidak disukai, maka informasi pun akan dianggap tidak punya nilai kebenaran.

Kebutuhan manusia kepada informasi bukan lagi untuk mencari pengetahuan atau kebenaran. Namun, untuk membenarkan dan atau menyangkal apa yang sudah ada di dalam diri. Informasi dibutuhkan untuk menguatkan yang sudah diketahui atau yang memang sejak awal ingin diketahui. Selain juga untuk menambah kenyamanan dan kebanggaan diri.

Sigmund Freud memiliki teori tentang self-defense mechanism. Yaitu kebutuhan alamiah untuk merasa benar dan sekaligus kehendak untuk tidak merasa salah. Di era pasca kebenaran ini, supaya merasa benar, manusia hanya perlu mempercayai dan menyukai apa yang memang disukai. Sebaliknya, supaya tidak disalahkan, manusia hanya perlu membenci apa yang memang tidak disukai dan mengusik kenyamanan.

Saat ini, informasi datang dari berbagai penjuru. Terutama dari sebuah benda yang disebut telepon pintar. Benda ini memang pintar. Bahkan, kepintarannya kadang mengalahkan si tuannya. Di hadapan benda pintar ini, manusia menjadi pandir. Benda itu tidak bisa berfungsi tanpa manusia yang menekan tombol operasionalnya. Sebaliknya, ada orang yang tidak bisa melakukan sesuatu tanpa kehadiran benda itu.

Manusia terlalu jauh mengawini gawainya. Bukan lagi sebagai alat, manusia bahkan hidup bersama dan tergantung penuh padanya. Manusia sebagai homo ludens dan homo sapiens ikut bermain dan berpikir bersama dengan telepon pintar. Sampai-sampai, kata F Budi Hardiman, sulit membedakan antara yang kita pikirkan dengan yang dipikirkan oleh telepon pintar. Selanjutnya, manusia menjadi malas berpikir. Dan menyerahkan urusan sepenuhnya pada telepon pintar.

Dengan dilengkapi kecerdasan buatan (artificial intelligence), benda pintar sudah bisa memproduksi informasi secara mandiri

Noam Lemelshtrich Latar menulis buku Robot Jurnalism: can human jurnalism survive? (2018), menggambarkan tentang kemampuan dari mesin yang telah digunakan banyak perusahaan media. Diprediksikan, pada 2030, robot akan mengisi 90 persen isi media berita.

Sisi lain, selain berbiaya murah dan praktis, robot lebih bisa dipercaya untuk membuat berita sesuai dengan data yang disuguhkan. Sementara wartawan masih diragukan. Desember 2018, majalah terkemuka Jerman, Der Speigel memecat seorang jurnalis peraih German Reporter Award 2018, bernama Claas Relotius. Di balik karir gemilangnya, ternyata wartawan ini sering menulis berita karangannya sendiri, dengan memasukkan kutipan wawancara serta data yang tidak sebenarnya.

Ketika komputer dan robot sudah sangat pintar, maka manusia harusnya mampu melampaui itu. Terutama dalam memilah dan mengenali kebenaran. Langkah awal dimulai dengan semakin meluaskan gelembung informasi di luar bilik gema kita selama ini. Kembali kepada ajaran agama, kebenaran diperoleh melalui pendekatan bayani, burhani, dan irfani.

Kita ingat kisah berita bohong yang disebarluaskan kaum munafik tentang istri Nabi, Aisyah. Ketika itu, Nabi dan para sahabat dalam perjalanan kembali dari sebuah peperangan. Karena suatu keperluan, Aisyah keluar dari sekedupnya. Ketika kembali, sekedup dan pasukan sudah tiada. Datanglah Shafwan yang bertugas sebagai pasukan barisan belakang. Aisyah pun dituntun di atas unta. Memasuki kota Madinah, Abdullah bin Ubay menghembuskan desas-desus bahwa Aisyah telah berzina dengan Shafwan. Berita ini menjadi liar, sampai sebulan kemudian diklarifikasi dengan turunnya Qs. An-Nur ayat 11-18.

Filsuf Yunani, Parmenides menggunakan istilah Aletheia untuk melambangkan kebenaran. Aletheia merupakan dewi kebenaran, kejujuran, dan ketulusan: yang digambarkan membawa cermin bercahaya di tangan kanan dan buku di tangan kiri. Seolah ingin mengingatkan bahwa kebenaran yang mencerahkan harus dibarengi dengan sikap jujur dan tulus. Menerima kebenaran harus dengan hati dan pikiran jernih, karena kebenaran kadang membuat kita tidak nyaman. (ribas)

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 2 Tahun 2019

Exit mobile version