Era Post Truth, pasca kebenaran tengah menjadi kenyataan sosial kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk umat Islam. Beberapa ciri era pasca kebenaran adalah maraknya penyebaran berita hoaks. Kran kebebasan era digital jadi bumerang sebab praktek kebebasan justru tak bertepi, menghilangkan hak orang lain, dengan maraknya produsen pembuat berita bohong (hoaks). Akibatnya masyarakat mudah terpancing emosinya, mudah menerima bahkan membenarkan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya, dan sebaliknya justru mudah menolak bahkan cenderung menyalahkan serta mengumpat jika tidak sesuai dengan isi hati dan jalan pikirannya.
Fatalnya, emosi yang meluap-luap itu adalah hasil dari penerimaan atau penolakan seseorang terhadap informasi yang diperolehnya tanpa terlebih dahulu memverifikasi dan mempertanyakan kebenaran informasi tersebut.
Abdul Munir Mulkhan, Guru Besar UIN Suka Yogyakarta, membenarkan, bahwa pada Era Post Truth ini kecenderungan orang lebih banyak melihat fakta berdasarkan pandangan subyektif atau disesuaikan dengan keyakinannya pribadi. Maka yang terjadi selanjutnya, fakta-fakta yang ditemukan berikutnya oleh orang tersebut kemudian dimanipulasi dengan cara dicocok-cocokan sesuai dengan pandangan subyektifnya.
Fenomena ini, Irfan Amalee, Wakil Ketua Majelis Informasi dan Pustaka (MPI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengungkapkan, bukan sekadar fenomena umat Islam dan masyarakat Indonesia saja. Lebih dari itu menurutnya, ini wabah yang mendunia yang disebut dengan Infobesitas (kebanyakan informasi). “Seperti obesitas (kelebihan berat badan), penyebabnya karena terlalu banyak asupan makanan yang tidak sehat yang akibatnya tidak bisa dicerna oleh metabolisme tubuh. Kita melahap terus informasi tanpa memilah,” terangnya.
Atau dalam bahasa lain Irfan mengibaratkannya dengan sebutan banjir informasi. “Banjir bukan hanya bawa air, tapi juga lumpur bahkan sampah informasi,” imbuh Irfan.
Banjir informasi sebagaimana yang dijelaskan di atas adalah dampak dari kecanggihan IT dan kemudahan mengakses internet. Pradana Boy ZTF, Kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang, dalam artikelnya pernah menuliskan, bahwa kemudahan mengakses internet, cukup dengan meng-klik, semua konten yang diinginkan dan disukai seseorang akan muncul. Jadi seseorang tidak perlu lagi repot-repot mencari data dari buku sebagai induk ilmu pengetahuan atau berguru kepada para pakar yang keilmuannya benar-benar memadai.
Era Post Truth ini, menurut Boy, di mana buku menjadi tidak berarti dan para pakar tak dihargai lagi, tak lain ia menyebutnya dengan era matinya kepakaran. Padahal baginya, buku memiliki peran penting dalam perjalanan sebuah peradaban. Karenanya agenda gerakan kembali kepada buku sebagaimana yang disuarakan Muhammadiyah dengan sebutan Jihad Literasi penting digalakkan. Setidaknya sebagai imun untuk menghindari Infobesitas.
Melihat kenyataan yang terjadi, Irfan mengaku sedih sebab wabah Infobesitas ini justru menginfeksi umat Islam. “saya menyayangkan karena sebetulnya umat Islam punya tradisi filter informasi. Banyak ayat dan hadits yang mewanti-wanti tentang bahaya informasi. Bahkan kita punya pelajaran berharga tentang haditsul ifki (kisah dusta),” sesalnya.
Lebih dari itu, menurut Irfan, Islam bisa disebut sebagai satu-satunya agama yang sangat ketat mengenai masalah sanad (sumber informasi). Semua informasi dan sumber ajaran agama Islam selalu menyertakan sanadnya. “Sangat menyedihkan dan ironi sekali,” keluhnya lagi.
Karenanya, Munir mengatakan, dibutuhkan kejernihan hati agar terhindar efek negatif di era banjir informasi ini. “Kebenaran hanya bisa diperoleh dengan kejernihan hati, jujur pada diri sendiri, kemandirian, dan daya kritis,” tandasnya. Daya kritis ini, sambungnya, harus terus menerus dipelihara lewat dialog-dialog yang hasilnya harus diukur berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Sedang berkaitan dengan kebenaran, Irfan berpendapat kebenaran itu hanya dari Allah. Artinya selama di dunia manusia hanya bisa berusaha untuk terus mencari tanpa harus mengklaim kebenaran. Lebih baik, kata Irfan, jadi rajuulun yadrii annahu laa yadrii (orang yang sadar bahwa dirinya tak tahu) dari pada jadi rajuulun laa yadrii annahu laa yadrii (orang yang tak tahu bahwa dirinya tak tahu) yang akhirnya menjadi orang sok tahu.
Untuk menjaga kewarasan umat, kepada Muhammadiyah, Irfan berpesan, juga harus lebih gencar mensosialisasikan akhlak medsosiah, panduan bersosial media yang dikeluarkan oleh MPI. Termasuk lewat AUM pendidikan anak-anak harus mulai diajarkan tetang digital literacy dan digital citizenship sabagai warga abad 21. “Itulah Islam berkemajuan,” tutup Irfan. (gsh)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 2 Tahun 2019