Pasca kebenaran atau post truth. Istilah yang populer di tahun 2016 ini digunakan untuk istilah yang berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang obyektif. Antara fakta dan opini semakin sulit dibedakan. Juga antara kabar dan hasutan. Singkat kata, saat kebenaran tidak lagi dijadikan rujukan.
Istilah itu sendiri pada mulanya muncul pada tahun 1992, digunakan oleh Steve Tesich untuk mengulas skandal watergate (1972) dan skandal yang lain. Saat itu para politisi Amerika mulai cenderung mengabaikan kebenaran untuk mencapai tujuannya. Pada perkembangannya, tidak hanya politisi yang melakukan hal ini. Masyarakat umum juga mulai tertular wabah yang sama.
Sekarang, hal itu juga terjadi di Indonesia. Pertimbangan nalar sehat mulai dipinggirkan dan diabaikan. Emosi dan nafsu keberpihakan mengambil alih kesadaran nalar. Persis seperti remaja kurang iman yang sedang dimabuk cinta.
Informasi palsu terus diproduksi untuk menutupi kebenaran yang tidak dikehendakinya. Dalih dan dalil baru terus digali dan dicari-cari untuk memanipulasi dan menentramkan akal sehat yang kadang disadarkan oleh hati nuraninya sendiri.
Dalam budaya dan masyarakat Islam, fenomena syndrom pasca kebenaran ini sebenarnya bukan hal yang sama sekali baru. Sesaat setelah terbunuhnya Khalifah, Usman Bin Affan, umat Islam telah terbelah menjadi beberapa golongan yang kemudian memicu perang Jamal antara pendukung Ali Bin Thalib dan pendukung Aisyah. Puncaknya adalah setelah perang Shiffin. Golongan pendukung Ali, pendukung Muawiyah, dan yang tidak mendukung keduanya itu semakin kuat dalam mensolidkan diri.
Untuk itu, setiap golongan memerlukan rujukan dalil dan dalih untuk membenarkan pilihan politik masing-masing. Mulai saat itulah hadits-hadits palsu mulai diproduksi baik untuk menyolidkan golongannya sendiri maupun untuk menyerang golongan yang lain.
Tradisi ini kemudian terus berkembang dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Termasuk untuk menambah semangat dalam beribadah (fadhailul amal) maupun dengan tujuan menyenangkan penguasa, juga untuk kepentingan yang lebih remeh. Semisal untuk memperlaris barang dagangan. Kasus hadits palsu tentang keistimewaan buah terong dan adu balap burung merpati, contohnya.
Petani terong dan peternak merpati yang diuntungkan adanya hadits palsu ini dengan senang hati meneruskan periwayatan palsu tersebut tanpa merasa perlu memverifikasi sumber dan isinya. Atau yang masih agak waras, akan cenderung memilih mendiamkannya karena kalau dia membantah dan menunjukan kepalsuan hadits itu dia akan dikucilkan.
Pada zaman digital sekarang ini, informasi yang dapat kita tangkap dapat dikatakan semakin membanjir. Ironisnya, dalam kemelimpahan informasi ini, antara fakta, opini, dan khayalan, serta hasutan justeru semakin sulit dibedakan.
Dalam kondisi seperti ini, semua kembali pada diri kita masing-masing. Apakah mau terlarut dalam keberpihakan buta. Ataukah memberi kesempatan nalar waras untuk terus siuman sehingga dapat mendengar kabar itu dengan kedua telinga kita secara seimbang.(isma)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 2 Tahun 2019