Assalamu’alaikum wr wb
Bu Emmy yth, saya (35 tahun) ibu dari 2 orang putra yang sehat dan menyenangkan. Saya berasal dari keluarga yang mampu, karena bapak dan kakak sudah tiada mama tinggal serumah dengan kami. Saya bekerja sebagai PNS. Suami dari keluarga yang sederhana dan punya 6 adik. Hanya suami yang berpendidikan S2 dari Amerika Serikat dan mempunyai pekerjaan yang bagus di instansi BUMN.
Suami sangat sensitif kalau saya menggunakan fasilitas dari dana mama, tapi ia sangat perhitungan dengan saya dan anak-anaknya. Kalau bisa kebutuhan rumah tangga termasuk biaya pendidikan dibiayai oleh saya dan mama. Sementara sebagian besar penghasilannya untuk mendukung keluarga besarnya. Memang. Sejak sebelum menikah, suami sudah mengutarakan, bahwa ia akan membantu pendidikan adik-adiknya. Dan saya menyetujuinya. Jadi, kalau kini suami membantu kuliah 3 adiknya dan 1 yang masih SMU, saya tidak boleh protes kan, Bu?
Tahun demi tahun, rumah tangga saya selalu ribut karena mertua, kakak dan adiknya yang menurut saya terlalu ikut campur masalah keuangan keluarga saya. Terus terang konflik berkepanjangan ini membuat saya lelah. Dan makin hari makin malas melayaninya. Rasanya sumpek bila berdekatan dengan suami. Saya jadi ingat. Dulu saya menikah dengan suami bukan karena cinta, tapi karena ia alim dan pintar. Kini, saya ingin bercerai, tapi dinasihati untuk tidak bercerai karena anak-anak. Apa yang harus saya lakukan? Mohon saran dari Ibu. Jazakumullah atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum wr wb
Wrn, somewhere
—
Wa’alaikumsalam wr wb
Wrn yth., tentulah Ibu lelah, karena waktu yang bergulir yang Ibu jalani bersama suami, tidak membuat Ibu bersama suami makin bersama. Pada akhirnya, Anda berdua bukan makin kompak, tapi makin merasa asing. Ibu memperjuangkan nafkah untuk hidup Ibu dan anakanak, sementara suami kurang Ibu ajak untuk bertanggung jawab atas nafkah keluarga. Ketergantungan keluarga besarnya akhirnya Ibu diamkan bukan karena oke, tapi karena malas ribut dengan suami gara-gara mereka. Di sisi lain suami tidak memberi batasan pada keluarganya. Maka wajar bila Ibu jadi tidak respek pada suami.
Salah satu kunci sukses perkawinan adalah lebih sering mengatakan “kita”. Seperti keluarga Ibu, yang beranggapan keluargamu tak pernah membuatku merasa jadi bagian mereka, uangku bukan uangmu. Kalau begitu apa yang mempersatukan Anda berdua? Ibu juga mengatakan mengawali perkawinan tanpa cinta, lalu apa yang diharapkan untuk bisa sinergi? Bila kemudian Ibu melompat pada keputusan untuk bercerai, tanpa menganalisa mengapa respek menurun, cinta jadi padam dan konflik berlangsung terus, menurut saya itu egois. Misalnya, ibu merasa membuat keputusan yang salah waktu kawin, tapi nyatanya telah ada 2 anak lho. Harus ada pertanggungjawaban moral yang cukup bermakna pada ketidakhadiran ayah dalam hidup mereka.
Saya jadi ingin tahu sudahkah Ibu berada dalam tataran emosi yang sama dengan suami? Misalnya, kebanggaan bahwa anak-anak tumbuh sehat. Pernahkah Ibu berbagi rasa bangga ini pada suami? Meyakinkan dia bahwa anak-anaknya sepandai ayahnya? Saran saya, cobalah duduk bersama suami, ceritakan dengan jujur perkembangan perasaan Anda selama pernikahan. Tekadkan untuk mengajaknya memperbaiki ekspresi cinta, saling percaya dan saling membutuhkan sehingga akan menguatkan cinta. Belajar untuk respek pada suami walau keluarganya tidak sekaya Anda. Mulailah dari hal-hal kecil, seperti menyediakan teh dan sarapan di pagi hari. Jangan katakan tak ada waktu, ya? Maka, biasakan diri untuk berkata jujur dan terbuka dengan suami.
Mulailah dengan memperbaiki komunikasi dengan suami, perlihatkan kepedulian Ibu pada keluarganya. Lebih banyak bahas tentang perkembangan dan tentang masa depan anak. Bila komunikasi terbangun, saya yakin Ibu akan merasakan bahwa punya belahan jiwa yang bisa kita ajak berbagi akan menentramkan dan memberi kita banyak gairah untuk mengasuh anak lebih baik, membina karir dengan serius dan meluangkan waktu untuk berdua termasuk berhubungan intim. Setelah apa yang sudah Ibu upayakan, Ibu tidak melihat dan merasakan ada sesuatu yang tumbuh dan berkembang dalam interaksi, bolehlah ibu berpikir tentang perpisahan.
Jangan lupa, banyak istighfar dan mendekat pada Allah, semoga rahmat Allah senantiasa ada pada keluarga Ibu. Amiin.
Kami membuka rubrik tanya jawab masalah keluarga. Pembaca bisa mengutarakan persoalan dengan mengajukan pertanyaan. Pengasuh rubrik ini, Emmy Wahyuni, SPsi. seorang pakar psikologi, dengan senang hati akan menjawabnya
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 17 Tahun 2015