IMM Menatap Masa Depan

IMM Menatap Masa Depan

Oleh: M. Rusli Karim

Setelah IMM sukses menyelenggarakan Muktamar terbesar (VI) di Ujung Pandang 7 -12 Juli 1989 kita patut bertanya: mampukah IMM menjawab tantangan yang makin besar yang akan dihadapi oleh dunia kemahasiswaan dan kepemudaan di masa mendatang? Apakah IMM telah memiliki hardware dan software dalam kuantitas dan kualitas yang memadai, guna memasuki dunia persaingan yang semakin keras di masa depan ? Peran apakah yang harus lebih ditonjolkan setelah IMM memasuki usia seperempat abad?

Pertanyaan sementara ini terasa relevan untuk diajukan setelah IMM berhasil mendayung bahtera organisasi selama satu periode 1986 – 1989.

Terlepas dari pro – kontra dalam menilai masa kepengurusan tiga dengan “selamat”, setelah IMM memasuki masa suram berkepanjangan selama sekitar 1978 – 1985.

Dengan kata lain, dasar – dasar penertiban organisasi, pembinaan anggota dan pemulihan citra seharusnya telah dapat ditanamkan dengan baik. Jika asumsi ini benar, maka periode akhir decade kesembilan dan awal decade akhir abad ke–20 ini dapat dikatakan merupakan suatu babakan baru bagi IMM untuk lebih mempertegas eksistensinya dalam menjalankan trifungsinya di bidang kemahasiswaan, keagamaan, dan kemasyarakatan, dengan semangat baru pula yang senafas dengan derap dan dinamika lembaga kemahasiswaan dan kepemudaan di masa depan sebagai wujud nyata dari keikutsertaan IMM untuk mencetak kader persyarikatan dan kader ummat.

Sejarah kelahiran IMM menunjukkan bahwa ia lahir dari situasi di mana para mahasiswa putra – putri yang kebetulan memiliki aspirasi “kemuhammadiyahan“ dalam status mereka sebagai mahasiswa memiliki kepekaan dan tanggung jawab untuk berhimpun di dalam suatu wadah yang beraspirasikan keagamaan.

Kegiatan pertama berupa pengajian rutin mingguan di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta. Pengajian ini kemudian “ membengkak “, mendapat sambutan hangat dari para mahasiswa. Dari sini kemudian lahirlah IMM.

Berkaca kepada riwayat lahirnya IMM ini dapat ditarik pelajaran berharga bahwa pada mulanya IMM lebih mengutamakan aktivitas intelektual yang lebih berorientasi kepada masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Hal ini bisa juga dilihat dalam kegiatan yang dilakukan oleh para founding–fathers atau katakanlah assabiqun –  al awwalun memang banyak berorientasi pada pencetusan konsep  konsep ditiga bidang seperti disebutkan di atas. Disamping lebih menonjolkan jati diri sebagai organisasi kader.

Dengan berpijak pada jejak – jejak historisnya itu, saya kira IMM akan memiliki prospek yang menjanjikan di masa depan manakala para pengurus dan anggotanya — sejak dari eselon tertinggi sampai ke bawah — mampu mengantisipasi trend perkembangan masa depan dunia kemahasiswaan dan kepemudaan melalui serangkaian aktivitas yang lebih berorientasi pada pemikiran. Dari sini akan muncul konsep  konsep tentang peran yang dapat dimainkan mahasiswa dan pemuda dalam masyarakat industri yang penuh persaingan, individualistik, dan materialistik.

Aktivitas ini seirama dengan corak pengembangan perguruan tinggi yang sangat bertumpu pada peningkatan mutu akademik. Di samping itu, aktivitas IMM juga harus berbeda dengan IPM, NA dan Pemuda Muhammadiyah.

Jika tesis diatas disepakati, maka kegiatan yang harus mendapat prioritas utama adalah:

  1. Membentuk kelompok – kelompok pengkajian yang memiliki kepekaan yang tinggi serta haus akan ilmu dan aktivitas asah otak melalui diskusi – diskusi kritis serius, dengan cara mengundang para pakar ataupun studi kelompok sesama anggota.
  2. Menciptakan suasana dan peluang yang dapat menarik minat intelektual mahasiswa dan pemuda. Dari sini dapat disusun program pembentukan komunitas ilmiah.
  3. Pembinaan mental anggota yang memiliki militansi dan kepekaan positif menyongsong setiap perkembangan baru di berbagai segi kehidupan.
  4. Aktualisasi peran – peran keagamaan, dan kemasyarakatan yang berciri khas intelektual, dalam arti tidak berorientasi pada kuantitas melainkan kualitas.

Tampaknya memulai fungsionalisasi organisasi pada tiga bidang gerak IMM tersebut juga banyak ditemukan oleh kemampuan pimpinan dalam berinteraksi dengan dunia luar. Hal ini mengharuskan IMM untuk lebih membuka diri dan mengurangi sikap–sikap introvert dan isolative. Dengan demikian diperlukan pula kemampuan adaptasi yang luar biasa guna menghindari berbagai benturan yang mungkin akan ditemui. Di sini Muhammadiyah, sebagai induk semang IMM, harus berani memberikan keleluasaan bagi IMM agar dapat mandiri, dewasa dan tegar dalam menatap masa depan. Tidak dikungkung, dicekoki, apalagi dipaksa menuruti secara pasif keinginan orang tua. Inilah barangkali peran yang diharapkan oleh ummat Islam yang dapat dijalankan oleh IMM di masa depan.

Pengembangan IMM harus segera dimulai di daerah – daerah yang potensial, terutama yang ada Perguruan Tinggi Muhammadiyah sebagai mitra IMM dalam mengemban misinya bagi Pembina kemahasiswaan. Melihat komposisi pengurus baru IMM tingkat pusat saya yakin IMM dapat tampil lebih baik dan lebih bermakna.

Artikel ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah No 16 Tahun 1989

Exit mobile version