Oleh: Ulya Fikriati
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لَنْ يُنْجِيَ أحَدًا مِنْكُم عَمَلُهُ. قَلُوا وَلاَ أنْتَ يَا رَسُوْلَ الله؟ قَالَ: وَلاَ أنَا، إلاّ أنْ يَتَغَمَّدَنِى الله بِرَحْمَتِه. سَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا، واغْدُوْا ورُوْحُوْا، وَشَيْءٌ مِنَ الدَّلْجَةِ وَالقَصْد القَصْدُ تَبْلُغُوْا. (أخرجه البخارى)
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Amalan salah seorang di antara kalian tidak akan bisa menyelamatkannya (dari api neraka)”. Mereka (para sahabat) bertanya: “Tidak juga engkau (amal kebaikanmu) wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:“Tidak juga aku, kecuali dengan limpahan rahmat Allah. Selalu berbuat benarlah kalian, (jika tidak bisa) maka berusahalah untuk mendekatinya, mulailah perjalanan kalian pada awal atau akhir siang dan sedikit dari malam, serta ikutilah jalan (tengah yang lurus), agar kalian sampai pada tujuan (surga)”. (HR. Bukhari)
Dalam hadits di atas, Rasulullah SAW bersabda bahwa amalan seorang hamba tidak akan mampu mengantarkannya pada surga, seberapa pun banyak amalan tersebut. Sebab, semua ibadah sejatinya adalah wujud syukur seorang hamba atas nikmat yang diberikan Allah padanya.
Kita tentu tidak bisa menyangkal bahwa sangat banyak nikmat yang diberikan Allah, sebagaimana firman Allah:
وَإنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ الله لاَ تُحْصُوْهَا (النحل: 18)
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah niscaya kamu tidak akan mampu menentukan jumlahnya (QS. Al-Nahl: 18).
Lantaran semua amal ibadah adalah nikmat dari Allah, sampai-sampai dituliskan dalam sebuah riwayat: Abu ‘Amru berkata bahwa Nabi Musa a.s. bertanya kepada Allah: “Wahai Tuhan, jika aku shalat, ia adalah perintah-Mu, kalau aku bersedekah itu juga karena ia perintah-Mu, begitu juga ketika aku menyampaikan risalah-Mu, lalu bagaimana aku bersyukur kepada-Mu?” Allah menjawab: “Sekarang ini kau telah bersyukur kepada-Ku”.
Dari ungkapan Nabi Musa a.s. di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa semua ibadah kita lakukan karena sebuah kewajiban atau kesunahan yang ditetapkan Allah atas kita. Bukan atas kehendak kita sendiri. Beliau menyontohkan ibadah shalat: jika ada seseorang yang selalu khusu’ mendirikan shalat, bukankah Allah memang memerintahkan hambanya untuk selalu shalat dengan khusu’. Begitu pula dengan sedekah, berbuat baik, dan lain sebagainya. Hingga tidak pantas seorang hamba menyombongkan amal ibadahnya di depan Allah, karena memang itu adalah kewajibannya. Kalau bukan lantaran nikmat Allah (perintah dan larangan-Nya), niscaya kita tidak akan pernah berbuat kebaikan.
Selain nikmat perintah tersebut, Allah juga telah menganugerahkan kesempatan dan sarana bagi manusia. Karena nikmat sehat, kita bisa mendirikan shalat. Karena nikmat harta, kita bisa bersedekah. Dan lantaran nikmat pikiran jernih, kita bisa memutar otak bagaimana agar ibadah kita sempurna. Dengan demikian, sangat logis jika semua amal ibadah dan kebaikan kita tidak akan bisa menjamin tempat di surga. Namun, hal ini tidak bearti amal ibadah dan kebaikan tidak perlu kita lakukan. Karena bagaimana pun semua itu tetap akan membantu kita untuk menentukan kelas surga mana yang akan kita tempati kelak. Sebagaimana tafsiran Ibnu Bathal atas ayat: “Itulah surga yang diwariskan kepadamu, lantaran apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Al-A’raf: 43).
Setelah menjelaskan bahwa amal kebaikan tidak bisa menjamin masuk surga, Rasulullah memerintahkan umatnya untuk selalu konsisten dalam beramal baik. Jika tidak bisa, hendaklah ia berusaha untuk mendekatinya dengan sering berbuat kebaikan.
سَـدِّدُوْا وَقـَارِبُوْا
Dalam bahasa Arab, saddidû berarti berusahalah untuk selalu berbuat benar. Imam al-Karmaniy menambahkan bahwa al-tasdîd (kata benda dari saddidû) adalah berkata dan berlaku benar serta selalu memilih kebenaran dari keduanya. Sedangkan qâribû adalah berusahalah untuk mendekatinya. Dalam hadits ini, qâribû diletakkan setelah kata saddidû. Hal ini menjelaskan bahwa Islam memerintahkan umatnya untuk selalu mengusahakan yang terbaik pada kesempatan pertama, namun jika tidak mampu, cukup melakukan apa yang mendekati nilai terbaik.
Hikmah dari perintah qâribû ini adalah agar kita terbebas dari kebosanan. Sebab, pekerjaan besar yang dilakukan sekaligus akan meninggalkan kesan berat dan membosankan. Berbeda jika ia dilakukan bertahap, sedikit demi sedikit namun berkelanjutan. Oleh sebab itu, Islam lebih menekankan pada keistiqamahan amal kebaikan dan bukan pada booming kebajikan. Hingga tidak salah jika Islam menjadikan konsistensi dan disiplin sebagai terapi untuk mendidik generasi madani.
Selanjutnya, Nabi menganalogikan dunia dengan jalan yang akan dilewati setiap manusia sebelum sampai pada tujuan akhir. Maka hendaklah setiap Muslim memulai perjalanannya pada waktu pagi atau sore (awal dan akhir siang), yaitu waktu di mana ia dalam keadaan prima, dan bukan sebaliknya. Dipilih waktu pagi, karena sebaik-baik keadaan fisik seseorang adalah ketika ia bangun tidur. Badannya segar dan pikirannya tenang. Demikian pula sore hari, setiap orang akan termotivasi dengan waktu yang tersisa untuk mengusahakan yang terbaik. Sedangkan sedikit dari malam hari, mengandung makna: jika kita tidak puas dengan apa yang telah diusahakan dan peroleh pada siang hari, maka kita boleh menambahnya pada waktu malam meski dengan sedikit ibadah. Dalam QS. Al-Isra’: 79, Allah berfirman: “Dan pada sebagian malam hari, dirikanlah tahajjud sebagai ibadah tambahan bagimu, semoga Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji”.
Hadits di awal tulisan ini ditutup dengan perintah untuk berjalan pada jalan tengah yang lurus: “Serta ikutilah jalan (tengah yang lurus), agar kalian sampai pada tujuan (surga)”. Dikatakan jalan tengah karena tidak berlebih-lebihan, sedangkan jalan lurus sebab tidak berbelok pada kemunkaran. Hal ini sinkron dengan sifat umat Islam sebagai umat yang senantiasa berada pada posisi tengah (adil dan proporsional).
Allah tidak hanya memerintahkan mengupayakan akhirat. Allah juga memerintahkan mengusahakan kehidupan dunia. Bukan berarti mengejar akhirat adalah dengan meninggalkan semua yang ada di dunia. Tetapi sebaliknya, dengan menjadikan dunia sebagai sarana dan perantara mencapai akhirat. Karena seorang Muslim hakiki adalah yang mampu menyeimbangkan antara dunia dan akhiratnya.
Demikianlah, semua ajaran Islam diturunkan demi kebaikan manusia, bukan aturan tanpa manfaat, dan bukan pula perintah tanpa hikmah. Misalnya, ketika kita melakukan satu perintah agama secara komprehensif, maka tanpa sadar kita telah menanamkan dalam diri kita satu kebaikan. Semakin banyak ibadah yang dilakukan dengan benar, maka makin menunjukkan apresiasi kita akan segala nikmat Allah. Karena, sekali lagi, bukan kebaikan yang menjamin kita bisa menikmati surga, tapi rahmat Allahlah yang akan mengantarkan kita untuk sampai ke sana.
Ulya Fikriyati, Dosen Institut Ilmu Keislaman An-Nuqayyah Gulukguluk, Sumenep, Madura
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 4 Tahun 2017