Majalah Suara Muhammadiyah (SM) memperoleh penghargaan pada Hari Pers Nasional sebagai “Media Dakwah Islam Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia”. Penghargaan tersebut diberikan di hadapan insan pers nasional tanggal 9 Februari 2018 di Kota Padang, yang dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia, Ir H Joko Widodo, bersama para pejabat negara serta kalangan pers dari dalam dan luar negeri.
Alhamdulillah rasa syukur kepada Allah SwT atas karunia-Nya, sekaligus berterimakakasih kepada seluruh insan pers nasional atas penghargaan yang bersejarah itu. Segenap pimpinan dan kru SM sebagaimana spirit etos dan jiwa Muhammadiyah, tentu tidak berpikir untuk mendapat penghargaan tersebut karena yang paling penting berkiprah untuk bangsa tanpa pamrih. Jika pihak luar menghargai SM, tentu warga persyarikatan ikut berbangga.
Penghargaan tersebut merupakan bukti objektif pengakuan pihak luar akan kehadiran SM, yang hadir secara eksistensial mampu mengatasi pasang-surut dirinya dalam pergumulan hidup di tengah perubahan zaman. Ketika sejumlah majalah Islam yang lahir pra dan pasca kemerdekaan berguguran, alhamdulillah SM tetap bertahan. Artinya SM memiliki jiwa mandiri dan petarung, tidak menjadi benalu, sehingga mampu eksis hingga saat ini. Kategori penghargaan sebagai media perjuangan kemerdekaan Indonesia yang diterima SM juga sangat tepat karena lahir dan berkiprah sejak awal perjuangan kemerdekaan, bukan setelah kemerdekaan, apalagi di era reformasi.
Pemerintah dan masyarakat luas mencermati dengan seksama apa yang dilakukan Muhammadiyah sehingga secara objektif memberikan penghargaan. Hal itu menjadi pemicu semangat untuk terus berbuat yang terbaik bagi kemajuan umat dan bangsa. Manakala ada pihak yang menyebut SM sebagai media milik satu golongan yakni Muhammadiyah, mereka lupa jika organisasi Islam modern terbesar ini hadir untuk kemajuan umat dan bangsa, bukan untuk dirinya. Bahwa kiprah dan manfaat SM tiada lain untuk mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa.
Sebagai media Islam yang lahir tahun 1915, SM hadir menyebarluaskan pikiran-pikiran maju yang mencerdaskan umat dan masyarakat Indonesia, yang waktu itu masih terjajah. Spirit awalnya menyatu dengan berdirinya Bahagian Taman Pustaka, yang memelopori tradisi literasi (iqra) sekaligus membawa misi mensyiarkan pikiran-pikiran dan kerja-kerja pembaruan Islam yang dilakukan Peryarikatan Muhammadiyah. Edisi tahun 1922 misalnya, SM memuat tulisan tentang “Islam sebagai agama nalar”, yang mengisyaratkan majalah ini menyebarkan ide-ide atau nalar berkemajuan.
Dalam konteks kebangsaan, SM sejak 1923 secara penuh telah menggunakan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, yang sebelumnya berbahasa Jawa, kemudian campuran Jawa dan Melayu. Tahun 1928 sejarah mencatat Kongres Pemuda, yang salah satunya berikrar untuk berbahasa Indonesia. Dengan memulai tradisi bahasa Indonesia, SM menggelorakan spirit persatuan nasional menuju kemerdekaan. Fakta tersebut menunjukkan tumbuhnya kesadaran keindonesiaan secara orisinal atau genuin, bahwa Muhammadiyah sejak awal di dalam tubuhnya mengalir jiwa perjuangan kemerdekaan dan keindonesiaan.
Pada tahun 2016 SM juga memperoleh penghargaan MURI sebagai majalah tertua yang berkesinambungan. Tidak ada majalah yang mampu bertahan sampai 103 tahun dengan perkembangan yang semakin maju. Penghargaanpenghargaan pihak luar secara objektif itu tentu selain penting untuk menjadi kesyukuran dan modal kepercayaan, sekaligus menjadi pemicu bagi kru SM dan Muhammadiyah untuk terus memperbarui diri agar semakin gigih dan unggul menyiarkan misi Islam berkemajuan menuju kemajuan umat dan bangsa ke tangga peradaban utama! (hns)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 5 Tahun 2018