Judul : Sejarah Seabad Suara Muhammadiyah Jilid II (1964-2015)
Penyusun : Tim Pusdalitbang SM (Koordinator Muhammad Yuanda Zara)
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Cetakan : 1, November 2019
Tebal, ukuran : xxxii + 196 hlm, 14 x 21 cm
ISBN : 978-602-6268-72-3
Tahun 1965 merupakan tonggak sejarah. Pada 15 Juli 1965, terbit Suara Muhammadiyah edisi 1 tahun 37, yang diperkenalkan oleh tim redaksinya sebagai Suara Muhammadiyah “dengan gaja dan wadjah baru.” Ukuran majalah menjadi lebih besar dan halamannya menjadi lebih tebal. Karena bertambah jumlah halaman, tulisan menjadi semakin mendalam dan beragam. Oplahnya juga diperbanyak. Kemunculan edisi kali ini sekaligus menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-36, pada bulan Juli, di Bandung, Jawa Barat, (hlm 1-3).
Penulis yang mengisi rubrik majalah Suara Muhammadiyah tidak hanya para redaktur maupun para tokoh internal Muhammadiyah. Para pemuka agamawan ataupun ilmuwan juga diminta menulis dan menyebarluaskan gagasannya melalui majalah ini. Suara Muhammadiyah dengan gaya dan wajah baru ini mendapat respons positif dari para pembaca. Pelanggan lama bertambah senang dan pelanggan baru terus berdatangan.
Di saat yang sama, ada perubahan pola keredaksian. Bagi redaksi, sambutan hangat dari pembaca dianggap sebagai pemacu untuk menyajikan yang terbaik ke hadapan pembaca. “Di sisi lain, redaksi memahami bahwa langganan yang datang dan uang yang mereka bayarkan meminta tanggung jawab besar dari redaksi untuk memastikan agar kualitas isi majalah ini bisa menjawab kebutuhan literasi pembaca,” (hlm 7).
Pada edisi terbaru, sejak 1965, mulai diadakan apresiasi sastra. Diberikan tempat bagi cerita pendek dan puisi. Lembaran-lembaran rubrik berisi keindahan estetik dan imajinatif ini menjadi ruang bagi para seniman dan sastrawan muda Indonesia untuk meniti fase kepenulisannya di level nasional. Sajak pertama yang muncul adalah karya penyair baru yang di kemudian hari dikenal sebagai budayawan dan sutradara terkenal, Arifin C. Noer. Judulnya “Surat dari Ibu yang Telah Wafat.” Masih ada nama lain yang kelak menjadi tokoh budayawan: Sapardi Djoko Damono, Rachmat Djoko Pradopo, hingga Taufiq Ismail.
Suara Muhammadiyah dengan wajah baru juga mengapresiasi buku-buku yang dianggap membawa gagasan berkemajuan. Hal ini menandakan perhatian redaksi pada upaya penguatan literasi dan komitmen meluaskan wawasan keilmuan para pembaca. Pengenalan buku dan rekomendasi buku dari redaksi ini menjadi penting ketika akses informasi saat itu masih terbilang sulit.
Di edisi wajah baru, redaksi juga menyajikan laporan Muhammadiyah akar rumput. Para dai di pelosok misalnya mengalami kesulitan menyebarkan paham agama yang mencerahkan dan menghadapi masyarakat yang masih hidup dalam tradisi takhayul dan mitos-mitos. Misi membangun peradaban ini diusung oleh Suara Muhammadiyah.
Sikap redaksi terhadap lahirnya Orde Baru hingga Pemilu yang digelar setelahnya juga menarik disimak dalam buku ini. Termasuk tentang misi memajukan ilmu dan teknologi hingga kritik sosial. Suara Muhammadiyah kini sudah menapaki abad kedua dengan beragam tantangan yang lebih berat, terutama kehadiran era disrupsi. (ribas)