Oleh: Muhamad Rofiq Muzakkir
“…Perbedaan negara dan golongan seringkali menyebabkan perbedaan dalam penentuan kalender terutama dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Berdasarkan kenyataan itulah, Muhammadiyah memandang perlu untuk adanya upaya penyatuan kalender hijriyah yang berlaku secara internasional, sehingga dapat memberikan kepastian dan dapat dijadikan sebagai kalender transaksi. Penyatuan kalender tersebut meniscayakan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.” (Rekomendasi Muktamar Muhammadiyah ke-47)
Masalah Mendesak
Setiap tahun kita selalu melihat fenomena ketidakpastian di tengah umat Islam di seluruh dunia tentang permulaan puasa dan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Banyak ilmuwan yang meyakini bahwa problematika ini sesungguhnya terjadi karena mayoritas umat Islam masih bersikukuh menggunakan rukyah faktual daripada menggunakan hisab atau perhitungan astronomi (Qassum, 2010: 1, Abdul Raziq, 2006: 1, Syamsul Anwar, 2008: 60).
Pada periode di mana manusia sudah menginjakkan kakinya ke bulan dan kita dapat melakukan penghitungan posisi bulan dan matahari secara cermat untuk ratusan tahun ke depan, suatu ironi tersendiri menyaksikan sekelompok orang, karena suatu basis interpretasi keagamaan yang konvensional, berlomba-lomba menengadahkan pandangan ke arah langit untuk mencari-cari bulan. Sungguh amat disesalkan, kemajuan agama Islam akhirnya terhalangi oleh suatu interpretasi literal yang tidak mempertimbangkan aspek kompatibilitas ajaran agama dengan kemajuan zaman.
Sesungguhnya pembacaan yang cermat terhadap spirit ajaran Islam (maqashid syariah) membuat kita sampai pada satu keyakinan bahwa apa yang menjadi penekanan dari syariat Islam dalam menentukan waktu puasa dan hari raya adalah kepastian tentang kapan bulan baru itu masuk, bukan dengan bagaimana ia ditentukan. Seiring dengan berkembangnya waktu, kita pun mulai tersadarkan bahwa agama Islam, selain menekankan tentang kepastian memasuki bulan baru, juga mendorong manusia untuk melakukan penataan sistem waktu.
Sekarang ketika dunia telah berubah menjadi satu desa global (global village) dan umat manusia telah bermetamorfosa menjadi satu entitas, sistem waktu umat Islam tidak dapat lagi bersifat acak, terpecah belah antara satu negara dan negara lainnya. Sehingga keberadaan suatu sistem yang mengatur waktu secara rapi dan teroganisasi di tingkat global merupakan satu kemutlakan bagi umat Islam. Sistem tersebut tidak lain adalah kalender yang berlaku secara global dan bersifat unifikatif (menyatukan) atau disebut Kalender Hijriyah Global.
Di tengah masyarakat Islam pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya kalender Islam yang bersifat internasional memang masih sangat memprihatinkan (Syamsul Anwar, 2014: 244). Namun, perlahan-lahan tapi pasti di berbagai belahan dunia Islam mulai bermunculan para ulama dan ilmuwan (astronom) yang menyuarakan pentingnya keberadaan Kalender Islam tersebut. Menurut mereka inilah sebenarnya yang menjadi solusi fundamental untuk permasalahan kekacauan pengorganisasian waktu di dunia Islam.
Jika sebagian ilmuwan lain masih mempermasalahkan perbedaan penentuan puasa dan hari raya di tingkat nasional, para ulama dan astronom tersebut justru melihat bahwa fenomena perbedaan puasa dan hari raya sesungguhnya adalah problematika global yang terjadi di tengah umat Islam
Oleh karena masalah ini adalah suatu kenyataan yang mendunia (musykilah ‘alamiyah), maka solusi untuk problem tersebut tidak boleh bersifat parsial dan temporal (juziy wa muaqatt), melainkan harus bersifat komprehensif dan fundamental (kulli wa jadzriy). Dengan kata lain bahwa usaha untuk membuat penyatuan tidaklah dapat bersifat nasional, melainkan harus bersifat global. Inilah gagasan besar yang diajukan oleh Muhammadiyah untuk dunia Islam dan secara resmi menjadi rekomendasi muktamar ke47 yang lalu.
Pengertian dan Syarat Kalender Hijriyah Global
Kalender Hijriyah Global adalah kalender Islam yang meniscayakan satu tanggal dari bulan hijriyah jatuh pada satu hari di seluruh dunia Islam. 1 Dzulhijjah 1436 H besok ini misalnya, semestinya jatuh pada hari yang sama dan tanggal masehi yang sama pula. Kalender Hijriyah Global juga menjadi sistem yang dapat digunakan sebagai standar penjadwalan dan manajemen waktu, baik untuk aktivitas keagamaan (puasa, hari raya, zakat, haji) maupun aktivitas sipil, seperti pencatatan kelahiran dan pernikahan, perdagangan, pendidikan, serta administrasi publik.
Pada tingkatan ilmuwan Muslim dunia masih terus didiskusikan seperti apa bentuk dan model Kalender Hijriyah Global tersebut. Sejauh ini sudah ada beberapa opsi sistem kalender yang mengemuka, di antaranya Kalender Lybia, Kalender Ummul Qura (Saudi Arabia), Kalender Husain Diallo (ilmuwan dari Afrika Barat), dan Kalender Abdur Raziq (ilmuwan dari Maroko).
Menurut Abdur Raziq (2004), satu sistem kalender baru dapat diterima jika telah memenuhi enam syarat, yaitu pertama, syarat kalender, artinya sebuah kalender memiliki konsep mengenai “dari bagian mana dari belahan dunia” dan “kapan” hari dimulai. Dalam kalender masehi, hari dimulai pada pukul 00:00 dari Garis Tanggal Internasional yang terletak di Bujur 180 derajat, yaitu di Laut Pasifik.
Kedua, syarat bulan kamariah, yaitu jumlah harinya tidak boleh kurang dari 29 hari dan tidak boleh lebih dari 30 hari.
Ketiga, syarat kelahiran hilal, artinya kalender global tersebut tidak boleh menjadikan sekelompok orang Muslim di manapun tempatnya di muka bumi masuk ke dalam suatu bulan baru sebelum terjadinya konjungsi.
Keempat, syarat imkanur rukyah, maksudnya satu kalender tidak boleh menjadikan sekelompok orang di mana pun mereka berada di muka bumi memulai bulan baru padahal belum terjadi imkanur rukyah di satu tempat pun di muka bumi.
Kelima, syarat tidak menunda, maksudnya kalender Islam tidak boleh menjadikan sekelompok orang Muslim di suatu tempat di muka bumi belum memasuki bulan baru sementara hilal telah terpampang secara jelas di ufuk mereka.
Keenam, syarat unifikatif, artinya kalender Islam harus merupakan kalender pemersatu, atau dapat menyatukan hari raya dan hari besar umat Islam di seluruh dunia.
Arti Penting Kalender Hijriyah Global
Keberadaan Kalender Hijriyah Global bersifat sangat mendesak. Hal tersebut mengingat peradaban Islam sudah berusia hampir 15 abad dan populasi Muslim dunia sudah lebih dari 1 miliyar yang tersebar di berbagai belahan dunia. Nilai penting Kalender Hijriyah Global dapat dijelaskan dalam beberapa hal berikut ini. Pertama, mengatasi masalah kekacauan waktu di dunia Islam.
Karena tiadanya kalender Islam yang menjadi acuan dunia Islam, maka momen Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah selalu jatuh pada hari yang berbeda di negara-negara muslim.
Sebagai contoh adalah kasus Ramadhan 1436 H atau Ramadhan tahun ini. Sebagaimana dilaporkan oleh situs moonsighting yang dikelola oleh Khalid Shaukat, ilmuwan falak dari Amerika Serikat, ada sebagian kecil umat Islam di dunia yang memulai puasa Ramadhan pada hari Rabu, 17 Juni 2015. Sebagian besar berpuasa pada hari Kamis, 18 Juni 2015, dan sebagian kecil yang lain baru berpuasa pada hari Jum’at, pada tanggal 19 Juni 2015. Adalah suatu ironi tersendiri satu peristiwa dalam syariat Islam dirayakan dalam tiga waktu yang berbedabeda oleh umat Muslim. Lebih ironi lagi mengingat kitab suci umat Islam Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang sangat menekankan pengorganisasian waktu.
Kedua, menentukan pelaksanaan ibadah Islam sesuai dengan waktu seharusnya, khususnya puasa Arafah dan hari raya Idul Adha. Jika pelaksanaan puasa Ramadhan dan hari raya Idul Fitri dalam agama Islam hanya dikaitkan dengan fenomena keberadaan (wujudnya) hilal, tidak demikian halnya dengan hari Arafah dan hari raya Idul Adha yang keduanya berada di bulan Dzulhijjah. Kedua hari ibadah tersebut selain berpatokan dengan hilal tanggal 1 Dzulhijjah, juga dikaitkan dengan peristiwa wukuf di Arafah. Itulah mengapa puasa yang disunnahkan pada satu hari sebelum hari raya Idul Adha disebut dengan hari Arafah (yaum ‘arafah), yaitu karena puasa tersebut semestinya dilakukan berbarengan dengan peristiwa wukuf di Arafah oleh kaum Muslimin yang melaksanakan ibadah haji.
Karena gaibnya kalender Islam yang berlaku secara global dan menjadi pegangan seluruh umat Islam dalam menentukan waktu ibadah di seluruh dunia itulah, maka puasa Arafah seringkali jatuh pada hari yang berbeda dengan hari wukufnya hujjaj di tanah suci. Dengan kata lain, jatuhnya tanggal 9 Dzulhijjah di negara-negara Islam seringkali tidak sama dengan 9 Dzulhijjah di Makkah. Memang banyak pula yang kemudian berdalih bahwa pelaksanaan puasa Arafah dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah di tempat masing-masing, bukan sesuai dengan pelaksanaan wukuf di Arafah. Namun jika demikian, pertanyaan yang muncul adalah kenapa puasa tersebut dinamakan oleh Nabi dan para sahabatnya sebagai puasa Arafah, bukan puasa 9 Dzulhijjah?
Ketiga, membayar hutang peradaban Islam. Seorang ilmuwan dari Yordania menulis tentang pentingnya peranan kalender bagi sebuah peradaban: “tidak mungkin bagi peradaban manapun yang ingin bangkit, apalagi menjadi digdaya, tanpa menyandarkan dirinya pada satu kalender yang terpercaya. Umat manusia juga tidak akan mampu hidup dalam suatu kehidupan yang dinamis tanpa membangun satu sistem waktu terpadu yang dapat mengorganisasi seluruh aktivitas kehidupan dan pelaksanaan ritual keagamaan, baik yang bersifat kolektif maupun individual.” (Qassum, 2007: 2). Sejarah mencatat bahwa seluruh peradaban, dari yang bercorak agrikultural sampai yang maritim telah mampu menyusun suatu kalender yang terpercaya.
Persoalan Kalender Islam sesungguhnya bukanlah permasalahan peripheral (pinggiran), karena kalender adalah satu simbol akan keteraturan pengorganisasian waktu yang amat ditekankan dalam Al-Qur’an.
Sebagai contoh adalah peradaban Firaunik di Mesir yang membuat kalender matahari (solar), karena sesuai dengan perubahan musim dan kondisi sungai Nil. Peradaban Babilonia (Irak) yang bercorak agrikultural menggunakan kalender dengan basis pergerakan bulan (lunar) yang berubah-ubah secara periodik selama satu bulan. Nilai penting dari keberadaan kalender Islam terpadu di samping mengatasi problem kekacauan waktu yang selama ini terjadi dan merumuskan satu identitas peradaban, juga dalam rangka mengimplementasikan pesan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang pengorganisasian waktu. Jadi selain merupakan tuntutan peradaban (civilizational imperative), keberadaan kalender Islam terpadu juga merupakan tuntutan keagamaan (religious demand).
Langkah Strategis ke Depan
Jalan ke arah Kalender Hijriyah Global masih panjang dan berliku. Tapi betapapun ini perjuangan yang berat, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan harus terus berjuang untuk merealisasikan tanggungjawab peradaban ini. Ada setidaknya tiga langkah strategis yang harus dilakukan oleh Muhammadiyah di masa depan. Pertama, melakukan edukasi di lingkup internal. Warga Muhammadiyah perlu diberi kesadaran bahwa bahkan kriteria wujudul hilal sendiri sebenarnya bukanlah kriteria final. Kelemahan dari kriteria ini adalah orientasinya yang masih sangat nasional dan tidak global. Kriteria wujudul hilal Muhammadiyah yang menggunakan marjak kota Yogyakarta masih menyisakan peluang perbedaan jatuhnya hari Arafah dan hari raya Idul Adha. Namun demikian, dibandingkan kriteriakriteria lainnya yang digunakan di Indonesia, wujudul hilal memang yang paling dekat dengan wawasan Kalender Hijriyah Global.
Kedua, mengintensifkan sosialisasi dan pengembangan jaringan keilmuan dalam skala global. Muhammadiyah harus mampu mempengaruhi dan meyakinkan pentingnya Kalender Hijriyah Global ini tidak saja pada otoritas yang bersifat nasional, seperti Kementrian Agama, MUI, LAPAN, para pemikir, dan praktisi hisab di Indonesia, tetapi juga pada otoritas yang bersifat internasional seperti Akademi Fikih OKI, Universitas al-Azhar Mesir, dsb. Sejauh ini otoritas keagamaan yang bersifat internasional yang telah mengakomodasi kriteria yang bersifat global adalah ISNA (Islamic Society of North America), yang menggunakan kriteria kalender Ummul Qura. Ketiga, membentuk kelompok pemikir yang terdiri dari ahli hisab dan ahli fikih. Potensi SDM Muhammadiyah di bidang fikih dan astronomi sebenarnya sangat besar. Potensi tersebut harus digerakkan dan dimobilisasi untuk mendukung agenda Kalender Hijriyah Global ini. Sejauh ini ide yang sudah mengemuka dari bawah adalah lahirnya ICRN (Islamic Calendar Research Network) yang sedang disusun oleh beberapa tokoh hisab yang berada di luar struktur Muhammadiyah.
Penyatuan Kalender Hijriyah Global yang dicita-citakan oleh Muktamar Muhammadiyah memang tugas yang tidak sederhana. Tapi perjalanan seribu mil harus dimulai dari langkah pertama. Muhammadiyah insya Allah akan dikenang oleh sejarah karena telah mempelopori cita-cita mulia.
Muhamad Rofiq Muzakkir, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 19 Tahun 2015 dengan judul Kalender Hijriyah Global: Agenda ke Depan Islam Berkemajuan