Menyikapi Fatwa MUI Perihal Wabah Corona
Oleh: Faiz Amanatullah
Kabar duka kembali mewarnai perjalanan awal tahun 2020. Awal tahun yang sempat diindakasi akan terjadinya pentas panggung dunia ketiga yang melibatkan konflik antara Amerika dan Iran, tiba-tiba saja senyap dari media. Tepat pada 2 Maret 2020 kembali lagi dunia ditimpa kabar duka yang kali ini terjadi di Indonesia dengan diumumkannya oleh Presiden Joko Widodo dua orang WNI yang positif terjangkit virus Corona. Sebelumnya corona memang dikabarkan sebagai wabah virus yang memiliki intensitas tinggi terhadap resiko kematian dengan tewasnya sekitar 3.000 warga China akibat wabah tersebut.
Menurut Achmad Yurianto, sebagai jubir Kemenkes dalam menangani virus corona, beliau menilai bahwa seluruh elemen masyarakat harus kerjasama dan kerja keras selama 3 bulan untuk berada dalam medan perjuangan tersebut. 3 bulan hanyalah waktu untuk menanggulangi penyebaran virus corona. Belum termasuk pada tahap pemulihan dan sterilisasi wilayah, begitu menurutnya dalam wawancara dengan Deddy Corbuzier di Podcastnya.
3 bulan bukanlah waktu yang singkat jika kita bandingkan dengan kesibukan kita selama aktif sekolah, perkuliahan bahkan waktu pekerjaan yang kian menumpuk. Jika proses penanggulangan berjalan selama 3 bulan, belum lagi ditambah dengan proses pemulihan yang sekiranya mungkin akan memakan waktu yang sama. Sudah pasti segala rutinitas akan terganggu. Dimulai dari aspek ekonomi, pendidikan hingga psikologis. Ketiga variabel tersebut sangat bisa dirasakan dengan melonjaknya harga barang kesehatan, belajar alternatif melalui sistem online hingga stress yang berujung pada penimbunan masker dan hand sanitizer.
Tidak lama setelah kabar virus Corona masuk ke Indonesia, penulis melihat ada sesuatu yang berbeda pada Ibadah ummat Islam. Ibadah yang dilakukan oleh ummat Islam yang kecendrungan dilakukan secara berjama’ah, sekarang justru redaksi adzan pun diganti dengan menyeru ummat Islam agar Ibadah di rumah masing-masing. Bahkan tidak jarang kita jumpai masjid-masjid yang sudah mulai menggulungkan karpet ataupun tikar sebagai upaya preventif merebaknya virus corona yang dinilai bisa hinggap dan menyebar melalui benda.
Lembaga yang mewadahi berkumpulnya para Ulama dan Cendikiawan Muslim pun mengambil tindakan cepat dengan mengeluarkan “Fatwa Majelis Ulama Indonesia” dengan Nomor: 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Tentu ini adalah tindakan yang cekatan dari MUI di tengah kebingungan ummat dalam mengambil keputusan terkait dengan pelaksanaan Ibadah ummat Islam yang melibatkan banyak orang berkumpul.
Dalam konteks ini semua ulama, dokter serta tim ahli sepakat bahwa bergaul dengan orang-orang banyak, apalagi dengan orang yang sudah terjangkit wabah Covid-19 akan membahayakan jiwa manusia, maka sangat perlu untuk mengambil langkah untuk menghindarkan pergaulan dengan mereka sedapat mungkin.
Agama Islam dalam pelaksanannya terdapat ibadah sholat Jum’at yang terdapat banyak orang berkumpul, sehingga ulama-ulama memberikan fatwa untuk tidak menganjurkan orang yang khawatir terkena dampak buruk dari virus Covid 19 agar tidak melaksanakan sholat berjama’ah di masjid. Memang agama Islam memberikan kemudahan. Segala sesuatu yang dapat mengakibatkan kesulitan, terhindarkan oleh agama ini atau diupayakan untuk mengindarinya.
Bijak dalam Berpendapat
Bersamaan dengan munculnya fatwa MUI tentang pelaksanaan ibadah di tengah adanya wabah Covid 19, reaksi dari netizen atau masyarakat dunia maya pun bermunculan. Penulis menyebutnya dengan orang yang memiliki paham Neo Jabariyah, sebagaimana yang diungkapkan oleh pimpinan Majelis Tabligh PP Muhammadiyah –Ustadz Fathurrahman Kamal-. Orang Neo Jabariyah ini mengatakan bahwa “kita seharunya tidak usah takut dengan virus corona, tetapi kita harus takut kepada Allah”.
Sekilas memang tamapk logis, namun ini adalah bentuk orang yang mempunyai pikiran pasrah dan normatif buta. Padahal para alim yang tergabung dalam MUI sudah merumuskan sedemikian rupa yang mengacu kepada sumber hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga menjadi suatu produk hukum yang mengguakan kaidah atau ushul fiqh. Artinya, yang merumuskan hukum adalah bukan sembarang orang, tetapi dia adalah yang memiliki disiplin ilmu yang baik.
Sebagian lagi orang yang terbilang ekstrem yaitu dengan berani mati serta mencela fatwa larangan untuk Shalat Jum’at yang sudah diedarkan oleh MUI seraya berpendapat bahwa mati ketika melaksanakan sholat atau di masjid adalah salah satu jalan menuju mati syahid.
Orang yang berpendapat serupa mungkin lupa bahwa Allah juga memerintahkan agar kita takut selain kepada Allah, yaitu diperintahkan takut dengan masuknya ke Neraka (lihat QS. Al-Baqarah [2]:24). Urusan mati memang tidak ada yang tahu kapan akan tiba, namun kita diajarkan untuk mencari kesempatan agar bisa mendapatkan syahid di mata Allah. Namun dengan catatan, hal itu tidak ditantang begitu saja secara gegabah.
Bahkan Rasulullah pernah bersabda”Barang siapa yang mendengar azan wajib baginya sholat berjamaah di masjid, kecuali ada uzur”. Para sahabat bertanya : “Apa maksud uzur ?”. Jawab Rasulullah SAW: “Ketakutan atau sakit.” (HR. Abu Daud). Ketakutan disini juga sama dengan konteks ketika kita khawatir berangkat ke Masjid dengan banyaknya orang akan menimbulkan terjangkit virus Covid 19 yang sedang merebak.
Terkadang orang zaman sekarang tidak mengetahui demarkasi antara sesuatu yang dia tahu dan mana yang mereka tidak ketahui, muaranya adalah timbul kabar atau pendapat yang tidak jelas. Media membahas ekonomi, seolah mereka menjadi seorang ekonom. Begitupun banyak orang yang berlagak politisi namun bungkan di ranah birokrasi. Jikalau memang tidak mengetahui ilmu terkait, lebih baik mengikuti kepada ahlinya saja. Jangan membuat fatwa masing-masing.
Relasi Corona dengan Azab
Tidak hanya kritikan dari netizen ditujukan kepada Fatwa MUI. Opini rekasioner pun meluncur ke negara China ketika awal ditimpa musibah wabah Covid 19. China yang sebelumnya dikabarkan melakukan tindakan tidak manusiawi terhadap muslim Uyghur, sehingga disimpulkan bahwa itu adalah tentara Allah yang menjelma menjadi virus akibat ulah China kepada muslim Uyghur tadi.
Teori konspirasi juga bermunculan ketika Masjidil Haram dan Masjid Nabawi kosong seketika seperti tidak ada aktivitas ibadah Umroh. Teori yang cukup menggelitik yaitu dengan menilai bahwa pengosongan Mekkah adalah sebagai upaya penyenangan Saudi kepada majikannya yaitu Donald Trump, tanpa menjelaskan apa kepentingan Trump atas pengosongan tersebut. Padahal Trump sendiri sedang mendapatkan tekanan dari masyarakat Amerika lantaran dianggap tidak serius dalam menangani wabah Covid 19.
Mungkin orang yang berpendapat seperti ini menyamakan antara Masjidil Haram dengan masjid yang berada di pojokan komplek, karena masjid komplek saja masih ramai jama’ahnya. Sudah jelas bahwa pengosongan masjidil Haram dan Masjid Nabawi telah mendapatkan rekomendasi dari ulama yang memiliki otoritas yang jelas.
Kalau semua maksiat akan mengundang azab, penulis mengira bahwa dunia ini sudah musnah sejak dahulu, karena tidak ada manusia yang tidak bermaksiat, bahkan tidak semua orang itu dalam keadaan suci semua. Kalau memang keberadaan orang-orang shalih itu dapat menolak azab, maka azab itu tidak akan turun, karena di setiap negri masih banyak orang yang rajin beribadah.
Dalam surat Al-Anfal ayat 33, telah dijelaskan sebagaimana yang tertuang dalam Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka. Bahwasannya ketika Nabi Muhammad menyampaikan kebenaran kepada pimpinan kaum Quraisy, mereka sebenarnya membernarkan perkataan Muhammad, hanya saja karena kecongkakan hati mereka dan gengsi karena merasa pimpinan utama dari kaumnya, sampai-sampai mereka menentang dengan ucapan yang terdapat pada QS. Al-Anfal ayat 32 “Tatkala mereka berkata: Ya Tuhan! Jika inilah dia kebenaran itu dari sisi Engkau maka hujankanlah atas kami batu-batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami siksaan yang pedih”. Sebuah riwayat mengatakan bahwa yang berkata seperti ini adalah Abu Jahal.
Namun Allah tidak memenuhi tantangan kasar Abu Jahal. Bukan karena tidak sanggup, Allah berifrman dalam ayat selanjutnya yaitu QS. Al-Anfal ayat 33 “Dan tidaklah Allah menyiksa mereka, selama engkau ada pada mereka. Dan tidaklah Allah menyiksa mereka, padahal mereka memohon ampun”. Dalam tafsirnya, Buya Hamka menjelaskan bahwa Allah tidak menurunkan azabnya bukan karena Allah segan kepada Abu Jahal dan koleganya, melainkan Allah sangat memuliakan Rasul-Nya. Dan Allah pun tidak serta merta mengazab mereka, tetapi menyadarkan terlebih dahulu kepada mereka.
Kemudian pada point selanjutnya masih pada ayat yang sama. Jika dalam negeri tersebut masih terdapat orang yang memohon ampun kepada Allah, maka azab dan siksaan pun belum akan diturunkan. Ketika Nabi Muhammad sudah hijrah ke Madinah, sedangkan masih ada kaum muslim yang berada di Mekkah dalam keadaan tertindas sekalipun tetapi masih berjuang untuk merasakan manisnya iman. Dengan cintanya Allah kepada kaum muslim yang bertahan, azab pun tidak kunjung diturunkan. Namun setelah Rasul dan ummat muslim meninggalkan negeri Mekkah, barulah azab datang berupa adanya peristiwa perang Badar yang dimenangkan secara mutlak oleh Ummat Islam. Begitulah Tafsir dari Buya Hamka perihal azab.
Dari tafsir diatas bisa kita pahami bahwa jangan mengaitkan semua peristiwa di dunia yang fana ini dengan azab. Justru sudah jelas dalam surat Al-Anfal ayat 33 dinyatakan bahwa azab tidak akan turun selama:
(1) Rasulullah SAW masih bersama kita, dan (2) masih ada yang memohon ampun kepada Allah. Rasulullah juga menambahakan dalam haditsnya yang diriwayatkan oleha Imam At-Tirmidzi, bahwa azab tidak akan turun selama masih ada yang melaksanakan amar ma’ruf (menyuruh kebaikan) dan nahi munkar (melarang kemungkaran). Kita sudah sangat berprasangka jauh yang berujung saling mengahakimi atas kejadian yang ada di muka bumi, sehingga lupa untuk saling mengajak kepada kebaikan untuk kesejahteraan bersama yang bersifat jangka panjang.
Orang-orang akan meminta ampun dan menyadari perlunya meminta ampunan. Bagaimana orang akan menyadari keduanya jika tidak ada yang melakukan amar ma’ruf dan nahi munnkar?
Ketika suatu hal atau fenomena dikaitkan dengan agama, maka akan munculnya pertanyaan ”mengapa agama hadir?”. Ulama-ulama sepakat bahwa ada lima minimal, tujuan kehadiran agama, yang pertama memelihara agama itu sendiri, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara harta benda serta memelihara keturunan. Konteks pemeliharaan itu merupakan anjuran, bahkan kewajiban agama agar mengindari dari segala sesuatu yang menghambat dan membahayakan tujuan tersebut, terlarang dalam agama, dalam berbagai tingkat larangan. Begitupun virus Corona yang dapat merusak jiwa dan raga.
Toh khalifah Umar saja ketika akan menyambangi suatu daerah, beliau mengurungkan niatnya karena mendengar kabar di daerah tersebut terdapat wabah. Lalu ada orang yang berkata: “wahai umar, apaakah kamu hendak lari dari takdir Allah?”. Umar menjawab: “yaa betul, saya lari dari takdir Allah menuju takdir yang lain”.
Faiz Amanatullah, Kepala Divisi Keilmuan & Keagamaan BEM FAI UMY