Galau Ditinggal Suami Merantau

Galau Ditinggal Suami Merantau

Ilustrasi Dok Freepik

Assalamu’alaikum wr wb.

Bu Emmy yth, saya (32 tahun) ibu dari 2 orang putri. Saya mempunyai masalah dengan keberangkatan suami ke pulau paling timur 5 tahun yang lalu. Semula, semua berjalan lancar, saya tidak begitu merasa ditinggalkan oleh suami. Setelah 2 tahun saya mulai kesepian, apalagi anak-anak sering menanyakan kapan papanya pulang.

Soal materi, kami berkecukupan. Hubungan saya dan suami baik, komunikasi juga lancar. Suami selalu telepon, menanyakan kabar. Tetapi, mengapa terasa hampa dan kesepian? Terutama di waktu malam, di saat anak-anak sudah tidur. Itulah saat terberat. Belum lagi sindiran tetangga kenapa suami tak pernah pulang, “Punya istri lagi, kali?” bikin pusing, anak-anak jadi sasaran kemarahan.

Pernah saya protes pada suami untuk pulang barang sebentar, jawabannya selalu, ”Sabar, saya kerja dulu kumpulin uang banyak untuk masa depan keluarga kita.” Kalau begitu, saya tak berani tanya lagi, walau hati berontak. Bukankah kebersamaan dan kehangatan keluarga itu penting? Kalau boleh memilih, lebih baik bersama suami. Pernah, orangtua saya meminta untuk bercerai, tapi, saya tidak mau gegabah. Saya juga masih mencintainya. Saya hanya mau suami sadar dan pulang bersama kami dan berkumpul selamanya. Apa yang harus saya lakukan, Bu? Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu’alaikum wr wb.

T, somewhere

Wa’alaikumsalam wr wb.

Ibu T yth, menunggu adalah pekerjaan yang paling tidak menyenangkan. Apalagi diperparah dengan tidak ada kepastian sampai kapan kita harus menunggu. Maka, bisa dipahami galaunya perasaan Anda. Tapi, menangis tidak akan memecahkan masalah. Lakukanlah hal-hal yang bermanfaat, agar anak-anak bukan hanya belajar sisi positif dari ayahnya yang gigih mencari uang. Tapi juga bisa melihat bahwa ibunya mampu berdiri tegak menjaga anak-anak tetap merasa aman dan nyaman walau hanya bersama ibunya. Karena ibu tegar, tidak cengeng dan paham mengapa perpisahan ini harus terjadi.

Mengenai gosip? Abaikan saja, selama ibu yakin bahwa suami melakukan perbuatan baik dan benar. Bila benar komunikasi dengan suami baik dan lancar, cobalah dalam kesempatan bicara dengannya jangan hanya bicara tentang kangen dan kapan pulang. Tapi, galilah lebih jauh apa yang dia rencanakan untuk hidupnya, perkawinannya dan anak-anaknya. Sepadankah pengorbanannya untuk berada jauh dari keluarganya? Bila telah ada rencana, ibu bisa berkomentar dan menyatakan dukungan atau tidak ketidaksetujuan, bukan? Untuk menjadikan ikatan perkawinan kokoh, paling baik, bila tujuan dan harapan adalah hasil mimpi berdua, bukan hanya keinginan suami saja.

Bila kita tahu tujuan perkawinan kita, maka tujuan ini dapat membuat kita tahu apa yang harus kita lakukan dan mana yang harus ditinggalkan agar tujuan bisa tercapai. Selain itu, karena tujuan perkawinan jelas dan sudah disepakati, hidup akan lebih sederhana untuk dijalani. Masing-masing juga jadi tahu standar untuk mengevaluasi perilakunya. Apakah menyulitkan untuk sampai tujuan dan harus ditinggalkan atau dipertahankan.

Ajak pula suami menggali jawaban atas pertanyaan “Apa yang akan kita capai dalam perkawinan?” jawaban untuk kesejahteraan masa depan, ini belum jelas dan rinci. Sejauh mana masa depan yang dimaksud? 5 tahun, 10 tahun?

Ukuran sejahtera juga harus jelas, dalam memformulasikan ini, akan terlihat bagaimana anak-anak akan dibesarkan, berapa cadangan yang bakal disimpan untuk sekolah mereka. Kita harus tahu ukuran dan mempunyai ancer-ancer standar kuantitatif dalam perjalanan mencapai tujuan perkawinan. Dengan memakai standar yang terukur akan timbul gairah yang memotivasi suami dan istri juga anak-anak untuk terus mencoba mencapai tujuan dalam hidupnya. Maka, tanya ke suami berapa banyak uang yang disimpan dan akan dipakai untuk apa saja?

Untuk membangun harmoni hubungan jarak jauh, pada setiap komunikasi/telepon, mulailah dengan berita baik bukan keluhan. Lalu, untuk masalah kegalauan dan kekhawatiran pada suami sampaikan dengan kalimatkalimat positif bukan menuduh atau menyalahkan. Misal, ibu bisa berkata: “Kalau lelah bisa tidur dengan nyenyak ya, Mas? Aku ini susah tidur, karena kangen sama Mas. Coba ada Mas di sini?” Nah, dengan teknik bicara yang baik, insya Allah suami akan lebih terbuka menceritakan rencananya pada ibu, kapan akan pulang. Selalu dekatkan diri pada Allah dan doakan suami. Semoga Allah menggerakkan hati suami untuk berkumpul bersama keluarga tahun ini. Amiin.

Kami membuka rubrik tanya jawab masalah keluarga. Pembaca bisa mengutarakan persoalan dengan mengajukan pertanyaan. Pengasuh rubrik ini, Emmy Wahyuni, Spsi. seorang pakar psikologi, dengan senang hati akan menjawabnya

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 17 Tahun 2016

Exit mobile version