Muhammad Busyro Muqaddas
Al-Qur’an adalah kitab yang mengutamakan amal daripada cita-cita (Dr Muhammad Iqbal). Statemen seperti ini menunjukkan adanya wujud pemahaman yang sangat tepat dan benar terhadap Al-Qur’an, yang tentu saja akan memotifisir seseorang untuk mengutamakan amal sebagai indikator keberimanannya. Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa untuk mengukur kadar dan kualitas amaliahnya, ialah amal yang bernilai ibadah.
Dalam kaitan ini, secara empiris historis dapat dikedepankan adanya “kemenyatuan” antara ketepatan/kebenaran KHA Dahlan di dalam memahami Islam dengan kesadaran diri untuk berbuat/beramal secara maknawi, setelah sebelumnya ada proses “internalisasi” akan ruh Islam. Nampak adanya wujud kesadaran yang membentuk dan menumbuhkan inner dinamik pada Kiai, yang kemudian melahirkan ruh jihad (kesadaran berjuang secara sungguh-sungguh di jalan Allah SwT) dan kesadaran untuk berkontemplasi terhadap lingkungan dan realitas sosialnya. Kesadaran keberimanan dan kedalaman serta ketajaman dalam berkontemplasi inilah yang kemudian berbuah pada hasil antisipasinya ialah berupa “kesadaran vertikal dan kesadaran horisontal”.
Ternyata urgensi dan esensi dari makna kesadaran dan aktivitas komunikasi vertikal Kiyai dengan Al-Khaliq yang berujung kepada kesadaran dan rasa tanggungjawab sosialnya, dan kemudian secara nyata dimulai dan terus menerus digencarkan upaya-upaya penerapan nilai-nilai dan norma-norma Islam secara intelektual. Penyebaran pengajaran Al-Islam kepada masyarakat luas dan pendekatan kepada kalangan Boedi Oetomo dengan menawarkan pengajaran Al-Islam kepada kalangan ini, serta implementasi surat Al-Maun. Semua ini menunjukkan totalitas pemahaman Al-Islam yang berjuang pada totalitas pemahaman terhadap realitas sosialnya.
Ketajaman dan ketepatan pengamatan Kiai ternyata nampak pula pada kesungguhan menganggap lapisan bawah dan awam secara atau dari kacamata Islam dan intelektual. Sehingga, karenanya terhadap lapisan ini beliau melakukan metode dakwah bil hal (tema dakwah bil hal ini belakangan muncul dan mecuat seakan bagai gagasan baru). Hal ini dilakukan dengan upaya yang sungguh-sungguh mencerminkan kadar konsistensi kebersamaan akan ayat-ayat suci sebagaimana nampak dengan adanya sikap keras dan tegas beliau untuk tidak akan beranjak pada pengajaran tafsir Qur’an dari surat-surat yang lain, sebelum murid-muridnya bersedia untuk melaksanakan nilai-nilai substantif surat Al-Maun. Nampak pada waktu itu murid beliau ingin diajarkan tafsir surat-surat yang lain, keinginan mana tidak dikabulkan, dengan argumentasi pada perlunya aplikasi atas kesadaran vertikal terhadap kesadaran horisontal.
Bukankah konsistensi sikap beliau di dalam mengajarkan Al-Maun sekaligus dengan dorongan mengamalkannya itu mencerminkan upaya memadukan peran akhlak sekaligus peran intelektualnya? Maka dalam kaitan mengenai akhlak yang sangat sentral ini, dan pengaruhnya terhadap pembentukan watak insan Muslim yang cerdas sekaligus gemar beramal, menjadi kebutuhan sentral bagi Muhammadiyah untuk selalu dalam posisi tajdid, dengan orientasi Qur’an dan Sunnah shahihah serta penggunaan akal pikiran yang panjang. (IM)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 6 Tahun 2019