Oleh: Azhar Rasyid
Salah satu aspek terpenting dalam sejarah peradaban Islam adalah penerjemahan. Penerjemahan merupakan usaha mengalihbahasakan suatu teks berbahasa asing ke dalam bahasa target, baik secara harfiah maupun kontekstual. Di luar soal alih bahasa, penerjemahan sesungguhnya merupakan bagian penting dalam proses transfer pengetahuan, terutama dari kawasan yang pengetahuan dan peradabannya lebih maju, maupun dalam penyebaran agama ke berbagai bangsa. Orang Arab telah melakukan penerjemahan sejak masa sebelum Islam. Namun, di masa Islamlah, dengan digerakkan baik oleh dorongan keagamaan maupun motivasi sosiokultural, penerjemahan mencapai skala yang masif. Penyebaran Islam mengintensifkan interaksi antarbangsa yang berbeda bahasa. Para penerjemah Muslim berperan penting dalam menerjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, yang pada gilirannya menjadi jembatan bagi terbukanya ilmu pengetahuan bagi bangsa-bangsa Eropa.
Para ahli bahasa menyebut bahwa salah satu masa penting dalam sejarah penerjemahan adalah kelahiran Islam di masa Nabi Muhammad. Ini disebabkan karena Islam bukanlah “agama Arab”, melainkan agama untuk seluruh umat manusia. Oleh sebab itu, penyebarluasan agama Islam ke luar Arab sangat bergantung pada penerjemahan seruan memeluk Islam serta ajaran Islam itu sendiri ke berbagai bahasa non-Arab. Saat mengirim surat ke para raja di luar Arab, Nabi Muhammad menggunakan jasa penerjemah. Surat-surat ini antara lain dikirim ke penguasa Suriah, Roma, Persia, Ethiopia dan Mesir. Di sisi lain, interaksi semacam ini juga memperkaya bahasa Arab dan doktrin Islam dengan ide-ide yang berasal dari bahasa asing (Rababah, 2015).
Penerjemahan ke bahasa asing kian banyak di masa setelah Nabi wafat, terutama sejak masa Khulafaur Rasyidin. Kaum Muslim meyakini bahwa mencari ilmu pengetahuan adalah perintah agama. Pengetahuan itu sendiri bisa berasal dari bangsa atau peradaban lain. Sementara itu, di masa Khalifah Usman bin Affan, penyebarluasan Islam mencapai Persia dan Afghanistan. Penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa-bahasa asing ini adalah sebuah langkah yang diambil untuk memudahkan pemahaman tentang Islam. Di masa kekuasaan Dinasti Umayyah (661-750 M) dan Abbasiyah (750-1258 M), penerjemahan semakin banyak dilakukan, dan tidak lagi dari bahasa Arab ke bahasa non-Arab, tapi sebaliknya, terutama untuk buku-buku ilmu pengetahuan.
Ada tiga aspek penting dalam dunia penerjemahan di masa Islam ini. Pertama, jenis produk linguistik yang diterjemahkan, dalam hal ini berbentuk teks. Di awal kelahiran dan perkembangan Islam, yang banyak dilakukan kaum Muslim adalah penerjemahan dari bahasa Arab ke bahasa non-Arab. Begitu kekuasan politik Islam tersebar hingga ke Spanyol, Afrika Utara dan Mediterania, penerjemahan buku dilakukan untuk menyerap pengetahuan dari peradaban besar di masa lalu, yakni Yunani Kuno. Tema buku yang diterjemahkan berbagai ragamnya, mulai dari filsafat, kedokteran, hingga kimia.
Kedua, penerjemah. Orang-orang yang menguasai bahasa asing mempunyai tempat istimewa dalam sejarah Islam karena berperan sebagai jembatan antarbangsa. Penerjemah paling awal dalam sejarah Islam adalah Zaid bin Tsabit. Ia kerap membantu Nabi dalam mendakwahkan Islam kepada orang non-Arab. Ia adalah sekretaris Nabi yang cerdas karena ia bisa membaca dan menulis, kemampuan yang jarang dipunyai orang Arab di zamannya. Ialah yang menuliskan wahyu yang diterima oleh Nabi. Yang tak kalah hebatnya, ia menguasai beberapa bahasa asing, termasuk Suryani dan Ibrani. Di masa selanjutnya, misalnya di masa Umayyah, penerjemah digaji dengan baik untuk menerjemahkan berbagai karya dari bahasa Yunani, Persia dan Mesir. Bahkan, salah satu pangeran Dinasti Umayyah, Khalid bin Yazid, yang dikenal sangat menghargai ilmu pengetahuan, adalah seorang penerjemah.
Ketiga, diseminasi karya terjemahan dan dampaknya pada masyarakat. Penerjemahan atas ajaran Islam dan Al-Qur’an membuat bangsa-bangsa non-Arab lebih mudah menerima universalitas Islam. Maka, tak heran bila Islam dalam hitungan beberapa abad bisa tersebar mulai dari Spanyol, Cina hingga Asia Tenggara. Bagi bangsa Arab-Muslim, penerjemahan bukubuku tentang ilmu alam dan filsafat ke dalam bahasa mereka telah membuka cakrawala pengetahuan yang penting dari peradaban besar di masa lalu, terutama Yunani dan Bizantium, bagi kemajuan mereka.
Buku-buku hasil terjemahan para sarjana Arab-Muslim ini tidak hanya memberi dampak positif bagi kaum Muslim, tapi juga bangsa-bangsa Eropa. Sigrid Hunke, sarjana kajian agama Jerman, pernah menulis bahwa karena jasa bangsa Arablah orang Eropa bisa mengenal warisan dari masa kuno. Kebangkitan rasionalitas Jerman, lanjutnya, salah satunya juga disebabkan oleh ‘proyek penerjemahan bangsa Arab atas literatur-literatur Yunani, lalu komentar atas terjemahanterjemahan itu, serta kitab-kitab yang ditulis bangsa Arab’ (Ibrahim, 2014).
Memang, kadang ada juga efek tak terduga dari penerjemahan. Salah satu khalifah Abbasiyah, Al-Makmun, yang bermazhab Mu’tazilah, tampaknya terlalu banyak membaca filsafat Yunani. Ia lalu membuat penafsiran baru tentang Al-Qur’an, yakni bahwa kitab suci ini adalah makhluk. Akibatnya, ia mendapat tentangan dari para ulama, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal.
Di luar ketiga aspek di atas, ada elemen eksternal yang berperan vital dalam transfer pengetahuan dan dakwah Islam melalui penerjemahan, yakni dukungan penguasa. Mereka menyediakan dana besar dan fasilitas luar biasa untuk para penerjemah. Ini tampak dalam masa Khalifah Usman bin Affan dan dinasti-dinasti setelahnya. Menurut sejumlah sumber, penerjemahan Al Qur’an ke bahasa asing didukung oleh Khalifah karena sang khalifah tahu arti penting bahasa asing sebagai tali penghubung antarbangsa. Ia dikenal sebagai seorang pedagang yang bisnisnya mencakup kawasan jauh seperti Irak, Suriah, dan Ethiopia. Dan di masa itu penguasaan bahasa asing adalah hal lazim di lingkungan para saudagar yang melakukan jual-beli antarwilayah. Dukungan penguasa seperti ini eksis juga di masa-masa selanjutnya, misalnya di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Puncaknya adalah di masa Dinasti Abbasiyah, saat buku-buku filsafat Yunani dialihbahasakan ke bahasa Arab. Salah satu khalifah Abbasiyah, Al-Manshur, bahkan sampai mengutus para ilmuwan untuk mencari buku bermutu di wilayah Romawi.
Meski era kekhalifahan telah usai, proses penerjemahan terus berlangsung. Di dekade-dekade akhir abad ke-20, AlQur’an diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Barat oleh para sarjana Barat sendiri. Menurut Ziad Elmarsafy, ‘Barat berusaha mencari cara terbaik untuk membawa keajaiban Al-Qur’an kepada para pembaca Barat’ (Elmarsafy dalam MacLean, 2011). Dewasa ini, proses penerjemahan terjadi timbal balik dari bahasa-bahasa di kawasan Muslim ke bahasabahasa Anglo-Sakson dan sebaliknya. Hasilnya dengan mudah ditemukan di toko buku dan bahkan secara online. Semestinya melimpahnya karya-karya terjemahan ini mendorong semakin majunya ilmu pengetahuan di tengah kaum Muslim, sesuai dengan wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad (‘Bacalah!’), yang bisa juga kita artikan sebagai perintah membaca karya-karya terjemahan yang bermanfaat.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 16 Tahun 2017