Profil Imam an-Nasa’i: Kritikus Hadits yang Berwibawa
Oleh: Fauzi Ishlah
Abu Abdi al-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr bin Sinan an-Nasa’i. Demikian nama lengkapnya. Imam an-Nasa’i lahir pada 225 H. Ia adalah ahli Hadits terkenal yang berasal dari kota Nasa’, termasuk dalam wilayah Khurasan. Nasa’i adalah nama yang dinisbatkan kepada kota kelahirannya. Selain ahli Hadits, ia juga ahli fikih bermazhab Syafi’i. Ahli ibadah dan berpegang teguh pada Sunnah dan memiliki wibawa besar. Di kota Nasa’, ia tumbuh dan belajar ilmu agama, dari menghafal Al-Qur’an dan disiplin ilmu lainnya. Imam an-Nasa’i adalah murid ulama Hadits terkemuka, Abu Daud Sulaiman bin al-Sijistani, atau dikenal dengan nama Abu Dawud.
Memasuki usia remaja, timbul keinginan an-Nasa’i untuk keluar dari kampung halamannya, untuk belajar dan mencari Hadits. Ia mengembara ke berbagai daerah dari Hijaz, Irak, Syam, Mesir, dan beberapa jazirah Arab. Ia menuntut ilmu dari ulama-ulama yang ia kunjungi. Dari kesungguhannya, ia pun menjadi salah satu ahli dan menguasai ilmu Hadits. Setelah memeroleh pengalaman dalam menuntut ilmu dan mencari Hadits, an-Nasa’i pun menetap di Mesir. Di sana, ia mengajarkan ilmu Hadits kepada masyarakat. Di Mesir inilah ia tinggal hingga menjelang wafat. Setahun sebelum wafat, ia pindah ke Damaskus. Ia wafat pada bulan Syafar tahun 303 H (915) di Ramlah, Palestina.
Sebelumnya, di kota Damaskus, Imam an-Nasa’i menulis kitab al-Khasais Ali bin Abi Thalib (keistimewaan Ali bin Abi Thalib). Kitab ini berisi penjelasan dari Hadits-Hadits yang menjabarkan keistimewaan dan keutamaan Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, penduduk Damaskus banyak menjelek-jelekkan Ali bin Abi Thalib, dan lebih mengagungkan Mu’awiyah. Oleh karena kitab ini, an-Nasa’i dituduh lebih berpihak kepada golongan Ali. Ia pun disiksa oleh golongan Bani Umayah. Kepayahan dan luka-luka akibat aniaya tersebut, Imam an-Nasa’i dibawa di kota Ramlah, Palestina. Menurut beberapa versi lainnya, ia dibawa ke Makkah, meninggal di sana dalam usia 85 tahun, dan dikuburkan di antara Safa dan Marwa.
Imam an-Nasa’i diakui oleh banyak generasi ulama setelahnya, misalnya Imam Dar al-Qutni, sebagai ulama terdepan dalam ilmu Hadits di masanya
Ketika tinggal di di Mesir, Imam an-Nasa’i adalah ulama paling pintar dan paling mengetahui keilmuan Hadits. Menurut al-Zahabi, ia bagaikan terkumpul lautan ilmu, disertai pemahaman dan kepintaran, mempunyai hafalan yang banyak tentang Hadits, dan ulama paling mampu dalam mengoreksi cacat-cacat rawi. Dari kedalaman ilmunya inilah, tak heran bila ia menghasilkan banyak karya bermutu. Antara lain, misalnya, al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra (kitab ringkasan dari al-Sunan al-Kubra), Musnad Malik, Manasik al-Hajj, Kitab al-Jumu’ah, Ighrab Syu’bah Ali Sufyan Ali Syu’bah, Khasais Ali bin Abi Thalib Karama Allah Wajhah, dan Amal al-Yaum wal Lailah.
Kritikus Hadits
Imam an-Nasa’i diakui banyak ulama derajat keilmuannya seperti Bukhari dan para tokoh besar ulama Hadits lainnya. Keahliannya meliputi ilmu Jarh wa ta’dil, ilmu Hadits yang berguna untuk menilai kualitas perawi, ditinjau dari segi keadilan dan kecacatan. Imam an-Nasa’i dikenal sebagai kritikus Hadits yang tiada bandingannya. Banyak ulama menggantungkan penilaian Hadits pada Imam an-Nasa’i. Ketika menilai sebuah Hadits, ia sangat ketat memberikan syarat diterimanya seorang perawi.
Selain ilmu jarh wa ta’dil, ia juga mempunyai keahlian dalam ilmu ‘ilal Hadits. Seperti ilmu jarh wa ta’dil, ‘ilal Hadits adalah ilmu Hadits yang digunakan mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang dapat merusak kualitas Hadits. Seperti, misalnya, Hadits tampaknya marfu’ (bersambung sampai Nabi), tetapi ternyata, setelah diteliti, hanya sampai pada derajat mauquf (riwayat sampai Sahabat). Imam an-Nasa’i mempunyai keahlian dalam bidang ini.
Sunan an-Nasa’i
Dari kitab masyhur Imam al-Nasa’i adalah buah karangannya yang berjudul as-Sunan al-Kubra. Kitab Hadits yang disusun sesuai dengan kitab fikih. Mulai thaharah, shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain. Setelah menyelesaikan as-Sunan al-Kubra, ia menghadiahkannya kepada Amir (pemimpin) Ramlah, sebagai tanda penghormatan. Amir tersebut menanyakan tentang kualitas Hadits dalam kitab ini. Imam al-Nasa’i mengatakan bahwa dalam kitab Hadits ini ada Hadits yang mengandung derajat shahih, hasan, maupun dha’if.
Kemudian Amir meminta kepada Imam al-Nasa’i untuk memisahkan derajat Hadits yang maqbul (sesuai dengan syarat keshahihan Hadits) dengan Hadits yang mardud (tidak sesuai dengan syarat keshahihan Hadits). Lantas, ia pun meringkas dan menyeleksi lagi menjadi as-Sunan as-Sughra yang ia beri judul al-Mujtaba min al-Sunani. Oleh masyarakat luas dikenal dengan Sunan al-Nasa’i. Imam al-Nasa’i sangat ketat dalam menyeleksi kitab Hadits ini. Sedikit sekali Hadits-Hadits dhaif dalam kitab ini.
Namun demikian, ada ulama sangat kritis melihat as-Sunan as-Sughra. Ibnu al-Jauzi mengatakan bahwa masih ada banyak Hadits dhaif, bahkan maudhu (palsu). Akan tetapi, pernyataan Ibnu al-Jauzi ini dibantah Jalaluddin al-Suyuti. Menurutnya, memang masih ada kualitas dhaif, tetapi tidak terdapat Hadits maudhu’, karena Imam al-Nasa’i sangat selektif dalam menilai sebuah Hadits. Jalaluddin al-Suyuti kemudian menulis kitab Syarah (penjelasan) terhadap as-Sunan as-Sugra: Syarah Sunan al-Nasa’i.
Menurut para ulama derajat sunan al-Nasa’i ini secara kualitas masih di bawah Shahih Bukhari dan Muslim, masih terdapat beberapa Hadits dha’if dalam kitab ini. Walaupun masih di bawah standar kualitas Shahihain (Bukhari dan Muslim), para ulama menggolongkan kitab Sunan al-Nasa’i dalam enam kitab Hadits pokok (Kutub al-Sittah) selain Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Thirmizi, dan Sunan Ibnu Majjah.
Fauzi Ishlah, Mahasiswa tingkat akhir jurusan Tafsir-Hadits, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber: Majalah SM No 10 Tahun 2015