Refleksi Isra’ Mi’raj di tengah Krisis Kepemimpinan Bangsa
Oleh: Faiz Amanatullah
Dewasa ini tidak hanya muslim yang sedang mengalami krisis peradaban yang ditandai dengan berbagai macam konflik dan degradasi moral yang semakin banyak diberitakan di berbagai media massa, tentu hal ini juga sebagai bukti nyata bahwa pendidikan nasional belum mampu untuk membangun manusia Indonesia yang beradab, adil dan makmur.
Namun disisi lain juga tidak hanya Islam saja yang sedang mengalami krisis peradaban. Tetapi kaum barat yang peradabannya identik kita kenal dengan pengetahuan (sains) dan penerapannya (teknologi). Secara inheren, sains dan penerapannya telah menjelaskan bahwa dirinya sedang mengalami krisis yang lebih parah, yaitu ditandai dengan teknologi yang sudah tidak ramah pada lingkungan, sehingga menyebabkan munculnya polusi dan musim yang tidak menentu, bahkan baru-baru ini munculnya wabah yang mematikan hampir seluruh rutinitas masyarakat. Muaranya ekosistem saat ini dalam kondisi yang sangat labil, karena semua itu akibat dari ulah campur tangan manusia yang memiliki kepentingan material dan melupakan sisi kemanusiaan.
Seoang ulama dan cendikiawan International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) atau Institut Antarabangsa Pemikiran dan Tamadun Islam) yang bernama Naquib Al-Attas mengatakan: “telah dan sedang terjadi semacam dominasi pemahaman kita tentang realitas oleh Barat yang sekular, karena itu pemahaman kita tentang realitas yang bersandar pada atau berangkat dari teori barat sekular merupakan wujud nyata dari penjajahan intelektual” (Saefuddin, 2010).
Ungkapan seorang Naquib Al-Attas yang juga sebagai penggagas Islamisasi sains, menunjukan bahwa kita sebagai Islam harus merdeka dari segi pemikiran,ucapan dan sikap subjektivitas barat yang menjelma sebagai sains dan teknologi yang dehumanistik. Sebagai contoh, menjadikan manusia sebagai objek ekomoni para kaum elite dan melakukan eksploitasi alam. Begitu juga keadaan sekarang terdapat pemimpin yang menggunakan kekayaan alam serta menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Namun penulis disini tidak bermaksud untuk menyalahkan adanya wabah Covid-19 disebabkan oleh segelintir orang, karena penulis juga tidak bisa mengambil sikap untuk menilai darimana dan ulah siapa wabah ini muncul, dikhawatirkan menjadi fitnah yang berdampak besar
Maka dari itu, berbagai macam upaya telah dilakukan segelintir pengemban dakwah untuk menyatukan hati agar merasakan kembali manisnya Iman sebagai pijakan hidup. Karena imanlah yang mampu menggerakkan hati untuk melihat kondisi seperti ini. Karena iman adalah persoalan hati, sedangkan sikap dan perbuatan hanyalah hasil interpretasi.
Ada sebuah hikmah yang mayoritas ummat Islam tidak menyadari itu. Padahal setiap tahunnya kita selalu memperingatinya, bahkan sudah dijadikan sebagai hari libur nasional ketika hari itu tiba, yaitu peristiwa isra’ mi’raj. Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa nabi Muhammad SAW. bukanlah seorang yang mistikus, tetapi nabi Muhammad adalah orang yang humanistik.
Karena kalau kita pikir, bahwa nabi Muhammad tidak akan mungkin lagi turun kebumi, karena beliau sudah bertemu dengan dzat Allah dan merasakan manisnya surga. Tapi sekali lagi saya tegaskan, karena panggilan hatilah dan jiwa humanisnya Muhammad turun kembali ke bumi untuk menyampaikan ajaran transendental (ketuhanan/ilahiyah) kepada ummat manusia. Dalam proses pendidikan kepada Ummatnya, Nabi Muhammad mengajarkan menggunakan media sholat yang mengandung makna tentang persatuan dan kepemimpinan.
Menurut dialog sejarah yang pernah saya pelajari selama belajar tentang agama Islam. Hal utama yang disampaikan dari peristiwa isra’ mi’raj adalah tentang shalat. Sebagaimana yang sering kita lakukan ketika shalat berjama’ah mengandung makna persatuan dan kepemimpinan.
Mengapa sebaiknya shalat dilaksanakan secara berjama’ah karena pada shalat berjama’ah dipimpin oleh seorang imam. Maka dalam shalat berjamaah terdapat gambaran tentang praktik kepemimpinan dalam Islam. Ketika seorang Imam melakukan ruku’ sujud, takbiratul ihram dan lainnya, maka seorang makmum wajib mengikuti apa yang dilakukan oleh seorang Imam, dalam hukum shalat juga seorang makmum tidak boleh melakukan sesuatu hal tidak dilakukan oleh imam.
Hal yang harus diperhatikan ketika kita akan menunjuk seseorang menjadi Imam tentunya harus memilih orang yang bagus akhlak dan bacannya. Ibrah dari syarat menunjuk imam adalah ketika kita hidup dalam bernegara, tentunya harus memilih seorang pemimpin yang cakap, pandai, memunyai kredibilitas yang mumpuni serta amanah. Sebab seorang makmum akan mengikuti apa yang dilakukan oleh seorang pemimpinnya, apabila pemimpin buruk maka masyarakat atau makmum nya pun buruk. Begitu juga dalam sholat seorang makmum harus mengikuti pola yang dilakukan oleh makmum. Dalam hukum Islam, apabila seorang pemimpin melakukan kesalahan, maka makmumnya mempunyai hak bahkan kewajiban untuk membenarkannya.
Dalam praktek shalat berjama’ah juga, ketika seorang imam sholat melakukan kesalahan bacaan, maka seorang makmum wajib untuk mengucapkan subhanallah dan seorang imam juga harus segera menyadari dan membenarkan bacaannya. Maka dalam Islam tentu seorang Islam ada hak untuk membenarkan secara baik dan beradab, sementara untuk pemimpinnya harus membuka ruang untuk menerima segala kritikan dan saran.
Satu hal lagi yang menjadi makna paling penting dari hikmah sholat berjamaah yang memuat nilai persatuan dan kesatuan adalah ketika di akhir sholat kita mengucapkan salam ke kanan dan kiri. Salam sendiri mempunyai arti mendamaikan dan menyelamatkan. Artinya sebagai seorang Muslim ketika kapanpun dan dimanapun haruslah memberikan energi positif berupa keselamatan dan kedamaian. Suatu hal yang sangat disayangkan oleh ummat Islam itu sendiri adalah mereka terkadang mengabaikan makna dari mengucapkan salam yang sering dilakukan tanpa disadari.
Ketika kita mengucapkan salam, secara tidak langsung kita sudah mengikat sebuah janji yang sakral bahwa kita janji akan saling mendamaikan dan saling menyelamatkan. Dengan mengucapkan salam juga kita sudah berjanji untuk menegasikan segala bentuk kebencian dan konflik sesama ummat manusia. Sehingga di akhir salam ada kata
وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Artinya: “Mendapatkan rahmat Allah dan keberkahan”
Maka dengan saling berjanji untuk saling menyelamatkan dan memberi kedamaian akan muncul istilah Baldattun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur. Negara yang baik dan mendapatkan ampunan dari Allah SWT.
Esensi Pemimpin yang Baik
Persoalan tentang eksistensi dan esensi manakah yang didahulukan? Tentu akan muncul berbagai opini, karena setiap nurani mempunyai cara tersendiri. Seperti gelas yang mendahulukan esensi berfungsi sebagai alat minum, namun seiring waktu berjalan eksistensi pun muncul dari hati gelas yang kemudian muncul istilah gelas cantik yang dijadikan hiasan semata. Perihal dalam mendambakan seorang pemimpin tertinggi di negara, haruslah kita memilih bukan seorang pemimpin yang dungu. Dan sekarang negara kita sedang membutuhkan seorang pemimpin yang mampu melawan kedunguan.
Dalam UUD 1945, presiden haruslah mempunyai ikhtiar yang kuat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika gagal maka harus digulingkan karena telah melakukan kejahatan yang sangat besar yaitu membuat anak bangsa gagal cerdas. Konstitusi memberikan tugas pada pemimpin negara untuk mencerdaskan bangsa, jadi ini bukan tujuan negara, tapi tugas untuk pemimpinnya. Artinya si pemimpin harus punya kemampuan untuk mengaktifkan akal pikirannya 24 jam sehari. Kalau gagal maka dia sudah melanggar konstitusi.
Bayangkan saja, kalau seorang pemimpin negara hanya sekedar menanyakan nama-nama ikan, itu justru akan mendungukan kehidupan bangsa. Justru ketika ingin mengajukan sebuah pertanyaan itu seharusnya yang bisa merangsang pikiran, misalnya “kenapa ikan tidak bisa naik pohon?” otomatis akan meningkatkan kuriositas (rasa ingin tahu) dari peserta didik muncul, sehingga dia akan bertanya pada orang tua atau temannya dan terciptalah diskusi. Maka, kejahatan tertinggi seorang pemimpin kalau mempertahankan kedunguannya sehingga mengakibatkan bangsa ini kehilangan IQ setiap hari.
Sebuah bangsa agar mempunyai tradisi dialektika dan intelektual maka harus dimulai dari pemimpin tertinggi dan pusat kekuasaan, yaitu Istana. Juga seharusnya seorang pemimpin negara harus mengundang sosok yang mempunyai kompetensi dan dapat mendorong budaya progresivitas serta memiliki inisiasi untuk negara kedepannya melalui diskusi dengan presiden. Tapi pihak istana justru mengundang rekan politik yang hanya membahas tentang kekuasaan dan kepentingan sejumlah pihak.
Kita mendambakan sosok orang yang menghasilkan retorika, logika dan metafora. Dalam tradisi presiden-presiden Perancis, mereka setiap minggunya kerap kali mengundang seorang wartawan cerdas, dosen yang bagus, seniman bermutu, dan melakukan diskusi di senja hari. Filsuf pun diundang, jadi presiden ini setiap harinya menghasilkan kecerdasan karena di-back up oleh tradisi berpikir. Mengundang debat, dia tahu perkembangan mutakhir. Tradisi presiden kita mengundang pelawak, partai pendukung. Sehingga sudah tidak heran lagi kekonyolan yang timbul dari dialektika Istana Negara kita.
Maka dari itu pemimpin harus mempunyai kalimat tangguh. Coba pertanyaanya diganti “mengapa ikan tidak bisa naik pohon?” Itu menimbulkan kuriositas pada anak didik. Sehingga pulang sekolah mereka akan mendiskusikan dengan temannya. Orangtuanya akan dilibatkan dengan pertanyaan tadi dan memaksa orangtua untuk mencari literatur agar anak didik itu paham, gurunya akan dia ganggu. Kalau hari ini peserta didik pulang dengan rasa bahagia karena mendapatkan sepeda, bukan karena kenikmatan berpikir.
Hasil keputusan atau langkah kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin, maka itu sudah cukup untuk menggambarkan kepribadian diri seorang pemimpin tersebut. Begitupun dalam terang kehidupan normal, manusia sulit mengenali kebenaran hakiki. Kesejatian tersamar ornamen pernak-pernik penampilan. Saat zaman kelam datang, barulah kita kenali mana yang benar sejati, mana yang palsu manipulasi. Bila kita kurang yakin watak asli seseorang atau suatu bangsa, tunggulah hingga gelap menyergap; disana kita bisa kenali watak sesungguhnya. Apabila dikaitkan dengan kasus dewasa ini, kita melihat pemerintah dan keluarganya ramai-ramai serta diiringi rasa panik untuk memeriksa kesehatan mereka perihal wabah Covid-19. Sedangkan di kalangan masyarakat egaliter atau menengah ke bawah, sedang sibuk untuk memberikan bantuan alat kesehatan memadai bagi yang membutuhkan, terkhusus seorang pedagang yang semakin tercekik ekonominya. Itulah watak pemerintahan dewasa ini, silahkan simpulkan masing-masing.
Begitulah kiranya hikmah dari Isra’ Mi’raj. Bahwa nabi Muhammad SAW adalah sebagai pemimpin sekaligus pendidik yang keunggulannya bisa kita terapkan hingga sekarang.
Faiz Amanatullah, Kepala Divisi Keilmuan & Keagamaan BEM FAI UMY