Rajin Bersyukur, Hidup Makmur

M Husnaini

Kenikmatan hidup ini sungguh terletak pada kemampuan kita menemukan karunia Allah yang ada pada diri kita. Misalnya, kalau sedang bokek, kita teringat bahwa kita masih diberikan badan sehat. Demikian pula ketika karier kita kurang moncer, setidaknya kita tetap bangga sebab punya rumah tangga yang tenteram dan anak-anak yang lucu lagi cerdas.

Kalau sikap begitu sudah kita miliki, hati senantiasa tenang. Apa dan bagaimana dinamika hidup yang kita lakoni, tidak akan pernah mengundang kesah. Setiap satu kekurangan terasa, segera kita temukan puluhan kelebihan. Ketika secuil kesedihan menimpa, tiba-tiba ratusan kegembiraan kita jumpa. Jadilah hidup ini benar-benar berparas bunga.

Yang sengsara adalah kalau kita terus fokus pada kekurangan dan kelemahan kita. Lebih celaka lagi kalau sampai kekurangan diri ini kita bandingkan dengan kelebihan orang lain. Kelemahan pribadi malah kita tandingkan dengan keunggulan milik selain diri. Jika sudah demikian, muncullah sejuta ratapan. Hidup menjadi susah, merana, sehingga jauh dari bahagia.

Banyak orang dapat membeli ranjang berkelas, tetapi tidak mampu membeli tidur pulas. Banyak orang bisa membeli obat mujarab, tetapi tidak sanggup membeli badan sehat. Banyak orang kuasa membeli rumah megah, tetapi tidak berdaya membeli keluarga sakinah. Banyak orang berhasil membeli karier terpandang, tetapi tidak kuat membeli hidup tenang.

Saya ingin ajak Anda mengunjungi Eko Walid. Pria yang tinggal di Surabaya itu terserang penyakit langka, myasthenia gravis (MG). Tahun 2005 adalah awal mula Eko berkenalan dengan MG. Badan bugar mendadak drop. Pandangan matanya terbayang.

Untung, Eko bertemu seorang dokter saraf yang kebetulan akrab dengan MG. Tidak semua dokter saraf mengerti MG. Ada yang malah menduga penyakit stroke. Eko kemudian disuruh minum obat Mestinon. Selain dalam jumlah banyak dan mahal, obat itu harus dikonsumsi seumur hidup. Lama-lama, Eko bosan dan tidak mau minum Mestinon. Eko melanjutkan kehidupannya. Stres dan jarang istirahat menjadi kebiasaan sehari-hari.

Tidak lama, virus MG di tubuhnya mengamuk. Kali ini bukan hanya gangguan mata, namun juga bicara. Mata kirinya praktis tidak dapat melihat. Mulut susah mengunyah dan menelan. Bahkan, cairan yang masuk ke mulut selalu keluar lewat hidung. Kemampuan motorik Eko juga terganggu. Dua lengannya terasa berat. Leher tidak mampu menyangga kepala. Eko susah menahan buang angin. Bahkan, otot pernapasan terganggu.

Di tengah kondisi sakit itu, Eko teringat dokter yang dulu memberinya obat Mestinon. Dia kembali mendatangi dokter itu. Pengobatan yang diberikan tetap sama. Bedanya, dosis Mestinon yang harus diminum kali ini lebih besar. Lagi-lagi, terbayang minum obat seumur hidup, Eko meminta pilihan. Dokter menyarankan plasmapheresis, yakni dengan menyuling plasma darah keluar dari kumpulan partikelnya untuk diolah lebih lanjut dan memasukkan kembali plasma darah tersebut pada akhir terapi. Harganya Rp 12 juta per paket. Selama tahun 2008, Eko menjalani plasmapheresis sebanyak tiga kali dengan interval lima hingga tujuh hari.

Syukurlah, Eko kembali sehat. Tetapi, berjalan empat bulan, MG Eko kambuh. Kali ini jauh lebih berat ketimbang sebelumnya. Rupanya plasmapheresis yang mahal itu tidak tuntas. Dari saran seorang teman, Eko menjalani terapi akupuntur. Tidak ada hasil, Eko kembali ke dokter. Kini dia disarankan menjalani intravenous immunoglobulin (IVIG). Terapi itu dihargai sesuai berat badan pasien. Makin berat, makin mahal. Harga per botol Rp 3 juta. Harus dilakukan empat kali sehari.

Kesembuhan setelah IVIG hanya berlangsung tujuh bulan. Selebihnya, kumat lagi. Jalan terakhir adalah timektomi, yakni operasi bedah torak untuk mengangkat kelenjar timus. Ini terjadi tahun 2010. Bagaimana dengan Mestinon yang sedianya harus Eko minum seumur hidup? Sembilan bulan pascaoperasi, rupanya tubuh Eko menolak dimasuki obat tersebut.

Eko sekarang memang beraktivitas seperti biasa. Tetapi, dia tidak berani menyebut dirinya sembuh kendati belum pernah kambuh lagi. Hikmah yang bisa dipetik adalah kita wajib menghargai nikmat sekecil apa pun dari Tuhan. Meludah saja, bagi penderita MG, sangat sukar dilakukan. “Mensyukuri nikmat adalah kenikmatan hidup sesungguhnya,” tutur Eko. Bagaimana dengan kita?

M Husnaini, Warga Muhammadiyah Takerharjo Solokuro Lamongan, Penulis Buku Hidup Bahagia dengan Energi Positif

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 20 Tahun 2015

Exit mobile version