Oleh: M Muchlas Abror
Suatu hari, ulama Muhammadiyah bertemu Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk bersilaturahmi. Sultan menerima silaturahmi rombongan ulama Muhammadiyah dengan senang hati. KRH Hadjid menyampaikan usulan perlunya ada masjid di Kaliurang. Selanjutnya, memohon kepada Sultan berkenan memberikan sebidang tanah yang di atasnya akan didirikan masjid. Alhamdulillah, permohonan dikabulkan. Tanah yang disediakan atas perkenan Sultan terletak di Ngipiksari, Kaliurang. Setelah silaturahmi, panitia pembangunan masjid pun dibentuk dan diketuai KRH Hadjid.
Setelah Masjid At-Taqwa selesai dibangun, KRH Hadjid memimpin Pesantren Luhur di kompleks itu. Setelah KRH Hadjid wafat dan atas izin keluarga, di kompleks Masjid At-Taqwa didirikan beberapa gedung (wakaf dari Muhsinin Muhammadiyah) untuk asrama dan tempat belajar Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM). PUTM diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang thalabahnya dari beberapa propinsi. Mudir PUTM sekarang ialah Prof Drs H Sa’ad Abd Wahid.
Difitnah dan ditahan
Muhammadiyah sebagai komponen umat dan bangsa, melalui peran para tokohnya, aktif turut berjuang hingga tercapainya Kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Muhammadiyah juga merasa berkewajiban untuk mempertahankan, membela, dan mengisi Kemerdekaan. Ketika Kemerdekaan RI terancam, karena Belanda ingin menjajah kembali Indonesia, maka Muhammadiyah harus giat berbuat untuk mempertahankannya.
Baru beberapa bulan umur Kemerdekaan, Ibu Kota Negara RI harus hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta. Selama Yogyakarta menjadi Ibu Kota Negara RI di zaman revolusi (1946 – 1949), terjadi dua kali Clash antara tentara Belanda dan Indonesia. Clash I tahun 1947 dan Clash II mulai Desember 1948. Bahkan, pada Clash II, Yogyakarta diserbu dan selama beberapa bulan tentara Belanda menduduki kota ini.
Menghadapi peristiwa tersebut, Muhammadiyah tidak tinggal diam. Atas prakarsa ulama Muhammadiyah dapat diselenggarakan musyawarah dan berhasil membentuk Angkatan Perang Sabil (APS). Lahirnya APS, yang direstui oleh Sultan Hamengku Buwono IX dan Jenderal Sudirman siap mengirimkan pelatih, mendapat sambutan baik terutama dari angkatan muda.
Untuk memimpin APS dipercayakan kepada KRH Hadjid menjadi Ketua dan KH Ahmad Badawi sebagai Wakil Ketua serta Ki Bagus Hadikusumo (Penasehat). Laskar APS, TKR yang kemudian bernama TNI, dan kesatuan kelaskaran lainnya bersatu padu dan berjuang gigih melakukan perang gerilya melawan, mengusir Belanda, dan mempertahankan Kemerdekaan Negara RI.
Sekitar tahun 1952, terjadi pembrontakan DI/TII Kartosuwiryo yang daerah operasinya sampai wilayah Jawa Tengah. Pemberontakan itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan orang-orang mantan APS. Apalagi dengan pribadi-pribadi pimpinannya. Namun, tentu ada yang memfitnah untuk mengaitkan tanpa bukti. Akhirnya yang terkena fitnah menderita. Benar, memang, fitnah lebih kejam dari pembunuhan.
Pada suatu sore tahun 1952, KRH Hadjid di rumah kedatangan dua orang Polisi Militer (PM) dan menangkapnya terus membawanya ke Rumah Tahanan. Ternyata, ia tidak sendirian. Beberapa temannya, semuanya aktivis Muhammadiyah, juga mengalami nasib yang sama. Di antaranya MSB Widyokartono (pengusaha dermawan dan Bendahara PP Muhammadiyah), Kiai Machfuzh, dan Syarbini (pembina HW).
Dalam kamar tahanan yang gelap dan pengap, mereka banyak bertaqarrub kepada Allah, untuk dapat mengambil hikmah di balik musibah. Mereka malah mengadakan “Pesantren Kilat” yang ustadz atau guru tetapnya ialah KRH Hadjid. Setelah menjalani tahanan selama 10 bulan tanpa diadili, akhirnya mereka dikeluarkan/dibebaskan. Nah, itulah, resiko yang harus ditanggung dan konsekuensi yang dialami oleh pejuang Islam.
Sumber: Majalah SM Edisi 14 Tahun 2016
Artikel sebelumnya