Oleh: M. Rofiq Muzakkir
Muhammadiyah perlu terus berupaya untuk menyatukan tiga sistem pengetahuan Islam, yaitu bayani (tekstual), burhani (empiris), dan irfani (intuitif)
Suara Muhammadiyah – Sikap masyarakat Indonesia dalam melihat pandemi COVID-19 ini ditentukan oleh banyak faktor. Agama hanya salah satu dari sekian faktor tersebut. Saya lebih suka melihat isu ini dari sudut pandang empiris terlebih dulu, sebelum melihatnya langsung sebagai implikasi dari nalar teologis. Ada beberapa faktor yang menyebabkan sebagian masyarakat (secara kuantitatif bisa jadi mereka sangat minoritas) mengambil sikap denial (menyangkal) terkait bahaya virus ini. Pertama, ini adalah trickle down dari sikap pemerintah yang selama dua bulan awal setelah meledaknya virus ini masih menegasikan adanya potensi penyebaran virus ini.
Kedua, ini adalah peristiwa yang relatif unprecedented dan tidak ada dalam memori kolektif masyarakat kita. Beda halnya dengan bencana alam seperti gempa, gunung meletus, banjir, dan lain-lain yang terjadi hampir setiap tahun secara reguler. Karena ini fenomena baru, masyarakat belum memiliki pengetahuan menyeluruh tentang virus ini.
Jika ingin masuk ke dalam dimensi teologis, maka ada beberapa sub-faktor yang menyebabkan sikap masyarakat belum proporsional terhadap pandemi ini. Pertama, epistemologi agama yang tidak komprehensif. Beragama hanya didasarkan kepada pemahaman sepihak terhadap zahir sebagian nas. Tujuan Syariah yang telah disepakati oleh para ulama, yang paling utama adalah menjaga nyawa manusia (hifzun nafs), tidak dipahami secara utuh oleh sebagian masyarakat kita.
Kedua, faktor fragmentasi otoritas keagamaan. Sebenarnya hampir semua lembaga fatwa otoritatif dunia telah mengeluarkan fatwa untuk tidak banyak keluar rumah, termasuk untuk pelaksanaan ibadah. Tapi corak sosiologis masyarakat modern adalah perasaan tidak harus terikat dengan otoritas manapun. Mereka merasa cukup punya independensi untuk menentukan sikap yang berbeda dengan otoritas keulamaan manapun.
Secara epistemologis, Muhammadiyah perlu terus berupaya untuk menyatukan tiga sistem pengetahuan Islam, yaitu bayani (tekstual), burhani (empiris), dan irfani (intuitif). Ini sebenarnya juga bukan hal yang baru. Hanya secara praktis barangkali perlu ditingkatkan. Misalnya dengan mendorong agar diskursus para muballigh Muhammadiyah agar lebih kaya. Tema seperti pentingnya higienitas dan kesehatan lingkungan, menjaga alam dan ekosistem, misalnya perlu menjadi bagian dari topik-topik yang disebut di pengajian.
Terkait krisis COVID-19, para muballigh Muhammadiyah juga bisa menggunakan pendekatan sejarah untuk menjelaskan teologi Islam dalam menyikapi wabah. Dunia kesarjanaan Islam klasik sebenarnya sangat kaya akan buku-buku tentang wabah.
Dalam pengantar editor kitab Baẓlu al-Māun fi Fadl al-Ṭāun karya Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852/1449), misalnya disebutkan ada 33 kitab klasik tentang wabah. Sebagian diantara kitab tersebut menggunakan pendekatan integratif. Di samping meriwayatkan hadis-hadis tentang wabah dan peristiwa historik dalam sejarah Islam terkait wabah, juga dijelaskan aspek kedokterannya. Untuk menyebut beberapa kitab misalnya: al-Ṭib al-Masnūn fi Daf’i al-Tā’un karya Ibnu Abi Hajlah al-Tilmisani (w. 776 H/1375 M), Waṣf al-Dā’ fī Kasyfi Āfāti al-Wabā karya Muhammad al-Antaki al-Hanafi (w. 858 H).
Sebagai informasi, karya Ibnu Hajar ini sendiri juga kaya akan informasi tentang sudut pandang teologi Islam mengenai persolan wabah. Misalnya dijelaskan mengenai makna syahid bagi orang yang meninggal karena wabah, termasuk anjuran physical distancing.
Kepasrahan (sikap tawakkal) dan ikthiar bukanlah dua sikap yang bertentangan dalam Islam. Tetapi justru saling melengkapi satu sama lain di mana masing-masing tidak bisa berdiri sendiri. Tidak ada ikhtiyar tanpa tawakkal, dan begitu pula sebaliknya. Teologi Islam sebenarnya menyimbangkan antara God’s omnipotence (kemahakuasaan Allah) dan human agency (kemampuan manusia untuk bertindak).
Ini dapat dipahami dari banyak nas. Diantaranya seperti dalam hadis Nabi: a’qilh an-naqah wa tawakkal ‘ala Allah (tambatkan ontamu baru kemudian bertawakkal kepada Allah). Dalam konteks menanggulangi Covid-19, kita tidak boleh bersikap fatalistik dengan tidak mengambil tindakan preventif apapun. Sikap yang proposional adalah prevensi terlebih dahulu, baru berserah diri pada Allah.
Rofiq Muzakkir, Sekretaris PCIM Amerika Serikat, Mahasiswa PhD di Arizona State University