Imbalo Iman Sakti
Dengan hanya 0.01% dari total penduduknya yang sebagian besar beragama Buddha, Laos, dikategorikan sebagai salah satu negara kecil di daratan Asia Tenggara yang dengan jumlah Muslim terkecil di kawasan tersebut. Laos dengan ibukotanya Viantiane atau terkadang ditulis dengan Viang Chan terletak di pinggir Sungai Mekong. Sungai ini menjadi perbatasan antara Laos dengan Thailand tepat nya provinsi Udhon Tani. Sungai ini juga membentang sampai ke Utara menjadi perbatasan Laos dengan Myanmar dan China, ke Selatan dengan Negara Kamboja, sementara ke Timur Laos berbatasan dengan Vietnam. Jadilah negara ini tak mempunyai akses langsung dengan Laut.
Diperkirakan Islam dibawa masuk ke Laos dari Tiongkok oleh saudagar asal Yunnan. Komunitas pedagang Muslim asal Tiongkok yang dikenal sebagai Chin Haw ini kemudian berkembang ke dalam kelompok-kelompok kecil Muslim di Laos. Di Vientiane terdapat 2 buah masjid. Satu bernama Masjid Jami’ atau sering juga disebut masjid Pakistan yang merupakan masjid tertua di Laos. Masjid ini terletak hanya beberapa puluh meter dari pusat kota dan dirikan oleh Komunitas Muslim Tamil yang berasal dari India.
Masjid Al Azhar atau yang banyak disebut orang sebagai Masjid Kamboja terletak sekitar 4 kilometer dari pusat kota. Masjid itu memang didirikan oleh komunitas pendatang Muslim Kamboja yang berhijrah ke Laos. Didirikan tahun 1968 oleh Haji Yahya dan kawan-kawan nya. Ia pun menjadi Imam pertama di masjid itu.
Masjid yang kurang lebih berukuran 300 meter persegi tersebut diperkirakan menjadi tempat bagi kurang dari 300 Muslim dari puluhan keluarga untuk melaksanakan kegiatan serta aktivitas keagamaan. Dilengkapi dengan beberapa ruangan, Masjid ini memiliki ruang serbaguna, ruang kelas, dapur dan kantor. Ruang kelas yang mampu menampung setidaknya 50 anak tersebut digunakan oleh mereka untuk mempelajari Islam juga Al-Qur’an.
Tidak terbayang, tiga tahun sebelum kunjungan kami di tahun 2010, Masjid Kamboja ini hanya berupa bangunan kecil yang tak terurus, halamannya tergenang air, karena tapak bangunan masjid itu dulunya berupa sawah. Di kala kunjungan kami, Masjid Kamboja telah menjadi tumpuan Shalat Jum’at bagi warga Muslim yang berada di Kedutaan Besar Indonesia maupun Malaysia. Meskipun, belum sebesar Masjid Internasional di Phnom Phen Kamboja sana.
Saat ini Laos kurang lebih terdiri dari 18 provinsi. Sebagian besar dari Muslim Laos tinggal di Vientiane, sisanya tersebar di 3 daerah lainnya seperti Luang Prabang salah satu kota terbesar setelah Viang Chan yang berjarak sekitar 500 kilometer arah ke utara. Selain itu ada Pakse dan Savannakhet.
Berjalan ke arah Selatan sekitar 600 kilometer dari Vientiane, terdapat sebuah provinsi bernama Savannakhet. Tak tahu apa sebab kota ini dinamakan Savannakhet. Dialek setempat menyebutnya dengan ‘Sabana Kit’. Dan memang hutan perdu di sana terlihat seperti padang Sabana.
Mengunjungi Muslim Savannakhet
Meskipun kurang lebih sudah 7 tahun yang lalu sejak kunjungan terakhir kami ke Laos, sepenggal kisah yang kami temukan di Savannakhet ini nampaknya sulit untuk terlepas dari benak. Dari perjalanan ke Savannakhet dalam rangka mengunjungi saudara Muslim yang baru memeluk Islam inilah cerita itu bermula.
Saat itu, ada tiga keluarga menetap di sana. Sayangnya, tak ada seorang pun yang dapat mengajari mereka tentang Islam. Hanya seorang yang masih dapat melafadzkan syahadat dengan benar.
Setiba di sebuah rumah toko (ruko) persis bersebelahan sebuah hotel yang cukup besar di Savannakhet, seorang perempuan muda yang berusia sekitar 30-an menerima kami. Di depan rumah yang juga berfungsi sebagai tempat berniaga ini, sebelah kanan kirinya terdapat altar sembahyang bagi pemeluk Buddha lengkap dengan sesajian dan dupa yang masih menyala. Dengan senyum ramah kami dipersilahkan masuk ke dalam rumahnya. Tak lama setelah itu seorang perempuan tua kisaran usia 60-an dengan langkah kecilnya turun dari sepeda motor dan masuk menghampiri kami.
Senyumnya mengembang namun air matanya terlihat berlinang. Rupanya dia sangat terharu sekali atas kedatangan kami. Belasan tahun setelah suaminya meninggal dunia nyaris tak seorang pun Muslim yang datang ke rumahnya.
Chek Lie, perempuan berusia senja yang tetap mengaku Islam ini berasal dari Saigon Vietnam. Ia menikah dengan pemuda asal Kamboja bernama Ali. Menetap di Savannakhet, Chek Lie dikarunia dua orang anak.
Di rumah Chek Lie itu kami menunaikan shalat Maghrib. Di dalam rumah yang cukup besar itu pun terdapat altar tempat sembahyang yang jauh lebih besar dari altar yang di luar. Melihat kami akan shalat, bergegas Chek Lie menutupi altar itu dengan kain. Masih lekat di benak saya ketika azan berkumandang di rumah itu, Chek Lie dengan seketika menengadah seraya berdoa. Tubuh nya bersimpuh di atas lantai sembari menangis.
Tak ada mukena, tak ada Al-Qur’an ataupun sajadah. Tak ada seorang pun yang mengenal Islam yang mampu membimbing mereka. Di kala itu, suami yang membawanya kepada Islam pun telah tiada.
Dari segi materi, Chek Lie terlihat tidak kekurangan. Harta peninggalan suaminya masih mampu menopangnya. Petang itu Chek Lie ikut shalat berjamaah di belakang kami. Walaupun terlihat bingung, Chek Lie mengikuti jamaah shalat dengan selembar kerudung putih dan baju serta rok yang dipakainya sebagai pengganti mukena. Mungkin ini merupakan kali pertama Chek Lie menunaikan shalat selama belasan tahun sepeninggal suaminya.
Malam itu selepas makan malam di rumah Chek Lie, Chek Lie mengucapkan ulang dua kalimat syahadat dengan bimbingan ustazd Yusuf. Syahadat ini pun diikuti putri Chek Lie dan kedua cucu nya yang sudah berumur 9 dan 10 tahun.
Meskipun di tahun 2016 terdengar kabar bahwa Chek Lie telah berpulang, di kala kunjungan itu, sempat kutanya apa harapan Chek Lie di hari tuanya. Chek Lie mengharap ada da’i yang datang ke sana, mengajarkan mereka tentang Islam. Chek Lie pun bermimpi ada sebuah Mushalla yang bediri tegak di bumi Savannakhet. Sempat terlontar dari bibir Chek Lie tentang kegigihannya dalam mempertahankan Islam sebagai agama yang diyakininya. “Sampai akhir hayat aku tetap Islam,” kata Chek Lie yang diterjemahkan oleh Ustadz Yusuf asal Pattani yang menjadi juru bicara dan imam shalat kami pada saat itu.
Itu adalah sepenggal cerita yang dibawa setelah berkunjung ke salah satu provinsi di Laos. Di Vientiane sendiri, keberadaan masyarakat Muslim lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan mereka yang tersebar di daerah lainnya. Meskipun tergolong lambat, menurut data yang didapatkan dari salah satu kantor berita Negeri Jiran Al-Hijrah, di tahun 2016 kurang lebih telah bertambah 30 orang yang memeluk Islam sejak tahun 2011. Dua masjid yang ada di Vientiane pun menjadi pusat kegiatan keagamaan umat Islam yang ada di ibukota negara tersebut.
Minoritas Muslim Laos pun menetap di sejumlah daerah dengan damai, meskipun, bisa dikatakan mereka masih hidup dengan pengetahuan tentang Islam yang seadanya. Saudara Muslim dari negara-negara tetangga pun tak jarang mengunjungi mereka dan memberikan support berupa sumbangan materiil ataupun dalam hal peningkatan pemahaman keagamaan.
Imbalo Iman Sakti, Pegiat Dakwah Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM Edisi 17 Tahun 2017