Suara Muhammadiyah – Tidak terpikir sedikitpun di benak IPhone Savanh, yang kini akrab dipanggil Ismail, bahwa dirinya akan pergi meninggalkan desa yang telah dihuninya bertahun-tahun untuk belajar ke negara yang belum ia tahu rimbanya. Di Pondok Pesantren Said bin Zaid, yang berlokasi di Batam, Indonesia, Ismail bersama istrinya akan mendalami Islam. Namun jangan dibandingkan dengan negara tempatnya berasal, di Laos, sebagai negara minoritas Muslim, dirinya dan beberapa keluarga lainnya yang tinggal di desa yang jauh dari perkotaan kesulitan untuk menemukan orang yang mampu membimbing mereka untuk mempelajari Islam.
Tepatnya di Desa Ban Ngiu Muang Houn Provinsi Oudomxai, 600 kilometer dari Vientiane (ibukota Laos), Ismail sendiri belum lama tergerak hatinya untuk mengikrarkan syahadat dan memeluk Islam. Salah satu koordinator Muhammadiyah ASEAN Imbalo Iman Sakti menceritakan bahwa sebelumnya, Ismail didorong untuk belajar di Ibukota, Vientiane. Dari sana ia menyaksikan bagaimana dakwah Islam dari layar kaca yang dipancarkan dari stasiun televisi di Bangkok, Thailand. Segera setelah pulangnya dari Vientiane, Ismail meminta untuk disyahadatkan begitu pula dengan keluarga terdekatnya.
“4 bulan yang lalu ada 8 keluarga yang sudah bersyahadat di desa itu,” terang Imbalo yang sempat bertemu dengan Ismail Ramadhan yang lalu.
Bahkan, dua sahabat Ismail yang berasal dari desa yang berbeda turut memutuskan untuk memeluk Islam. Mereka adalah Bounpheng yang kini memilih dipanggil dengan nama Musa dan Hasan yang sebelumnya bernama Yeam. Berawal dari ketertarikannya terhadap Islam, kini mereka akan mendalami ajaran Islam di pesantren yang sama dengan Ismail. Meskipun bukanlah berasal dari keluarga yang berada, itu tidak menjadi kendala bagi keduanya merantau menimba Ilmu agama di Indonesia. Meskipun sejumlah pembiayaan telah ditanggung oleh Ponpes Said bin Zaid yang dikelola oleh Asian Muslim Charity Foundation (AMCF) seperti biaya makan, penginapan, uang sekolah dan buku. Syukurnya, bantuan dari saudara Muslim yang menetap di Singapura turut meringankan beban mereka.
“Mereka bukan orang berada, ibu Yulia dan ibu Ely yang tergabung dalam keluarga ekspatriat di Singapura tergugah hatinya membuatkan paspor kedua pemuda ini. Sedangkan Ismail dan istrinya masih membutuhkan biaya Visa dan transportasi dari Laos ke Batam,” imbuh Imbalo.
Tak berbeda dengan Musa dan dan Hasan, belakangan ini Ismail juga menghadapi kondisi ekonomi yang sulit. Di desanya yang terletak di wilayah pegunungan tersebut cukup sulit untuk mencari mata pencaharian yang lain dari bercocok tanam. Kebijakan pemerintah Laos yang telah menentukan hasil bumi apa yang boleh ditanam di satu daerah dan daerah yang lain, turut menjadi kendala baginya untuk mencukupi kebutuhan hidup.
“Harga jagung jatuh, dan mereka terlilit rentenir. Petani di Laos berbeda dengan lainnya. Yang harus ditanam telah ditentukan oleh pemerintah. Mereka hanya boleh menanam jagung, sedangkan di kampung lain boleh menanam padi,” katanya.
Keresahan lain pun muncul di benak Ismail karena dirinya akan meninggalkan desa dan saudara Muslimnya untuk belajar di Indonesia. Selama ini, menurut Imbalo, hanya Ismail yang telah cukup mampu untuk melakukan ibadah shalat sekaligus menjadi imam bagi Muslim lain di kampungnya.
“Bahkan, laki-laki yang telah mengucap syahadat pun belum dikhitan. Ada belasan orang kini termasuk anak,” tukas Imbalo.
Imbalo pun bercerita bahwa di kala kunjungannya bersama rekannya dari Sabah penduduk Muslim setempat mengeluhkan bahwa mereka kebingungan untuk menjalankan praktik-praktik yang sesuai dengan tuntunan Islam. “Mereka bertanya. ‘Kami sudah puluhan orang muslim sekarang disini. Seandainya ada yang meninggal bagaimana caranya. Tak seorang pun tahu’.”
Minimnya sumber pengetahuan Islam di daerah tempat Ismail bersama sejumlah saudara Muslim lainnya menyambung hidup, membuat Imbalo bersama sejumlah saudara Muslim lainnya berencana mendatangkan da’i juga tenaga kesehatan ke kampung tersebut. Ia bersama rekannya juga tim dokter dari Kuala Lumpur insyaAllah akan mendatangi kampung Ismail pada 27 September 2017.
“Kami juga berencana hendak mendatangkan da’i ke kampung itu selama Ismail dan isterinya belajar Islam di Batam. Kami bersyukur, Allah menurunkan hidayah kepada keluarga di sana yang tak pernah terbayang sebelumnya,” tandas Imbalo. (Th)
Sumber: Majalah SM Edisi 17 Tahun 2017