Cerpen Diko Ahmad Riza Primadi
“Wujud cinta adalah ketika orang yang kamu cintai tidak merasakan kepedihan yang kau rasakan.”
“Hujan lagi, hujan lagi,” gerutuku dalam hati. Dalam sehari, hujan tak lagi dapat dihitung jumlahnya. Jutaan tetes air menghantam aspal yang belum sempat mengeringkan diri. Setiap perasaan tersapu mendung rindu kepada siapapun orang yang pernah ditemui. Jalanan berangsur lenggang, banyak orang memilih menepi. Berusaha menghindar dari proses kondensasi uap air di atmosfer yang kemudian membentuk butiran-butiran air cukup berat, dan lalu melesat cepat menghujam ke daratan. Tidak jarang juga yang menerobos hujan demi lekas sampai ke tempat tujuan.
Hujan merupakan sebuah fenomena alam yang sangat unik dan menarik. Bagiku, hujan adalah mesin waktu dari Tuhan. Nyatanya, manusia selalu berjalan dalam ruang waktu untuk mengenang masa lalu dan membayangkan masa depan, khususnya ketika sedang hujan. Manusia selalu mengupayakan kehidupan yang indah di atas garis waktu yang telah ditentukan, dari waktu sekarang menuju masa depan, per satuan waktu sampai kematiannya. Beberapa teori yang terkenal seperti relativitas khusus dan umum menyatakan bahwa geometri yang tepat dari ruang-waktu atau beberapa jenis gerak dalam ruang memungkinkan kita berjalan ke masa lampau dan masa depan. Namun hujan memiliki metode yang sangat sederhana untuk membawa manusia kembali ke masa lalu atau menuju ke masa depan.
Saat butiran air mulai berjatuhan. Segera ku arahkan sepeda yang ku naiki ke subuah ruko sepi samping jalan KH Ahmad Dahlan, Kota Yogyakarta. Ku sandarkan sepeda begitu saja di salah satu tiang besi penyangga atap pelataran ruko. Berteduh adalah satu-satunya pilihan untuk menyelamatkan laptop yang ku bawa, dia adalah satu-satunya teman yang menyimpan memori dan data masa lalu yang berharga.
Sembari menunggu hujan reda, ku pandangi jalanan yang penuh dengan genangan. Tidak lama kemudian ada sesuatu yang bergetar dari bagian celana. ku rogoh saku celana sebelah kanan dan ku tarik sebuah ponsel yang berisi pesan WA. Ternyata pesan dari ibu yang menanyakan kabar kesehatan dan keseharian ku di perantauan. Dari kalimat yang beliau tulis, terlihat jelas rasa cemas dan takut. Setelah ku jawab pesan ibu dengan kata baik-baik saja, ibu mengirimku sebuah pesan yang cukup panjang. Aku yakin pesan tersebut merupakan pesan terusan yang entah ibu dapat dari mana dan siapa. Isi pesan tersebut adalah;
“Ini ada usulan dari ibu Nila Muluk (Mantan Menteri Kesehatan RI era Presiden Jokowi periode pertama). Assalamualaikum. Jika keluar untuk berbelanja, saya menganjurkan kepada kita semua untuk membawa plastik bening ukuran 1 kg. Pastikan semua uang kembalian jangan dipegang, tapi masukan ke kantong plastik dan tutup rapat. Setelah ada kesempatan jemur plastik tersebut beserta uang tadi di matahari, paling tidak 30 menit, insyaa Allah sudah cukup aman. Mari kita mulai putuskan mata rantai penularan virus corona dari diri kita sendiri”.
Tidak hanya sampai di situ, pesan masih berlanjut, “Jangan lupa habis pegang uang langsung cuci tangan, karna kebanyakan orang yang tertular itu sebenernya bukan dari interaksi fisik, melainkan dari peredaran uang yang telah terkontaminasi virus. Di Italia 70% orang tertular virus disebabkan dari uang, padahal mereka sudah safety pakai masker dan lain-lain, tetapi mereka tidak sadar ternyata telah tertular. Jadi rajin-rajinlahlah cuci tangan pakai sabun, dan selalu bawa hand sanitizer dimana pun. Semoga kita selalu diberikan kesehatan, dan dilindungi dimanapun kita berada”.
Di akhir pesan berantai tersebut tertulis, “Jangan lupa bagikan ke grup kalian masing-masing dan semoga bermanfaat”. Pasca merebaknya virus corona di Indonesia, aku sering mendapatkan pesan yang isinya hampir serupa dengan pesan yang ibu kirimkan.
Setelah membaca pesan tersebut sampai selesai, aku hanya menjawab pesan ibu dengan kalimat sangat singkat “baik bu” dan sekaligus aku hiasi jempol kuning. Terlepas dari benar atau salah pesan yang ibu kirim, ini merupakan bentuk kekhawatiran ibu kepada ku.
Di tengah suasana sore yang teduh dan dingin, serta rintik hujan yang masih setia menemani. Otak terpacu berpikir keras. Wabah virus pandemi yang terjadi hampir di seluruh negara di dunia telah membuat tatanan ekonomi, sosial, dan kesehatan porak poranda. Banyak sekali spekulasi yang berkembang, ditambah pemberitaan di media yang sangat gencar dan masif. Sehingga membuat masyarakat kian takut sehingga bersikap paranoya.
Selang beberapa menit berpikir, aku mengaktifkan ponsel kembali, membuka aplikasi WA dan lalu membuka percakapan dengan ibu lewat pesan tertulis. Dengan cepat kedua ibu jari tangan ku menuliskan kalimat, “Ibu, jangan cemas dan takut. Anakmu di sana baik-baik saja. Alhamdulillah setiap hari anakmu ini makan makanan enak. Sering juga dapat gratisan dari kantor. Di sana anakmu tambah gemuk bu hehehe”. Aku menutup percakapan sore itu dengan stiker Mohammad Salah yang kedua tangannya mengulurkan jempol.
Perasaanku mendadak tenang. Namun aku kembali termenung dan berandai-andai. Dalam hati berkata, “Sekiranya aku bisa pergi untuk melihat masa depan, maka yang akan aku lihat pertama kali adalah ibu-ku. Apakah ibu-ku sudah bahagia atau malah sebaliknya? Bukankah kebahagian itu ketika kau dapat membuat ibu-mu bahagia kawan?!”
Diko Ahmad Riza Primadi, Peminat Sastra dari Blitar