Oleh Hajriyanto Y. Thohari
“WHAT’s in a name? That which we call a rose, by any other name would smell as sweet”, kata pujangga besar William Shakespeare (1564-1616). Apalah artinya sebuah nama? Bunga mawar mau diberi nama apa saja baunya tetaplah akan semerbak harum mawangi. Tapi ngomong-ngomong, kalau sama tanpa nama bagaimana kita akan memanggil orang? “Hai, kamu!”, “Hai, Si Manis!”, “Hai, Si Gendut!, “Hai, Si Tukang Ngomel…!”, dan seterusnya! Apa iya akan begitu? Betapa sulitnya, bahkan betapa tidak mungkinnya.
Apalagi di era medsos sekarang ini: oleh karena anonym dianggap tidak etis, maka banyak orang pakai nama palsu yang juga tidak kurang jahatnya. Maka dari itu kalau toh dianggap tidak penting nama itu setidaknya diperlukan. Bagi banyak orang ternyata malah lebih dari itu: nama juga mengandung kenangan, harapan, simbol, identitas, bahkan doa, terutama dari orang tua yang telah melahirkannnya. Di sinilah pentingnya ilmu, yang untuk mudahnya, sebut saja Antropologi Nama.
Nama Retno Sulistyowati diharapkan menjadi orang yang wajahnya cantik dan indah laksana bunga; nama Pranoto Yudho mengandung doa agar anaknya nanti menjadi panglima perang; nama Subono diinginkan agar kelak memiliki harta (bono) yang banyak dan baik (su); dan seterusnya. Jadi nama itu ternyata, setidaknya bagi sebagian orang, besar atau kecil, banyak atau sedikit, adalah perlu dan penting, meskipun mungkin tidak sangat penting.
Keindahan sebuah nama tampaknya juga sangat penting dan dipentingkan dalam kebudayaan dan masyarakat Indonesia. Dan karena itu banyak sekali orang Indonesia, terutama akhir-akhir ini, yang namanya bukan hanya panjang, melainkan juga berlanggam estetis. Saya mempunyai teman yang memberikan nama anaknya Ratna Mutu Manikam Nilamsari. Kita tahu apa artinya, tetapi tidak tahu pasti apa maksud yang terkandung di dalamnya. Mungkin saja ayahnya pedagang emas di Glodok.
Nama Presiden Indonesia pertama dan kedua singkat saja: Sukarno (nama kecilnya: Koesno) dan Suharto. Sementara mulai Presiden yang ketiga dan seterusnya namanya mulai panjang: Bacharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Al-Dakhil Wahid, Diyah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan setelah itu memendek lagi: Joko Widodo, malah disingkat Jokowi. Panjang-panjang dan indah-indah bukan? Itulah kebudayaan masyarakat Indonesia dalam memberikan nama: berlanggam estetis, panjang, berarti banyak kata dan sedikit romantik, melankolis dan sentimental.
Nama dalam kebudayaan Arab
Berbeda halnya dengan bangsa Arab, tidak dulu tidak sekarang, orang Arab biasanya memberikan nama kepada anak-anaknya dengan satu nama saja yang terdiri dari satu kata. Misalnya, Laila, Ameera, Lena, Aisyah, Nadia, Sara, Sana, atau bahkan Nur (untuk nama-nama perempuan), atau juga Mohammad, Nayef, Hasan, Husein, Ali, Hadi, Salman, Umar, dan seterusnya (untuk nama-nama laki-laki). Tidak ada dua, apalagi tiga atau empat nama kata.
Mengapa dalam kehidupan sehari-hari kita menjumpai nama-nama orang Arab terdiri dari dua atau tiga nama? Nama kedua adalah nama ayahnya, dan nama yang ketiga, kalau ada, adalah nama keluarga. Ada banyak juga yang namanya lebih panjang lagi: sampai empat atau lima atau enam. Itu biasanya adalah nama diri, nama ayah, nama kakek, nama buyut dan seterusnya (sebagai nasab atau silsilah) dan kemudian nama kampung atau negara tempat kelahirannya, misalnya al-Baghdady (asli Baghdad), al-Dimasky (berasal dari Damaskus), al-Bukhary (dari Bukhara), al-Isfahany (dari Isfahan, Iran), al-Qurtuby (Kordoba), dan seterusnya.
Kehormatan keluarga adalah segalanya. Di dalamnya terkandung status dan keterangbenderangan keluarga darimana dia berasal. Dari nasab akan diketahui dari keluarga macam apa seseorang itu berasal. Walhasil konsep bibit-bobot-bebet (kalau boleh meminjam konsep Jawa) dicerminkan dalam nama. Nama ayah, ayahnya ayah, bahkan nama keluarga, terus menempel (embedded) dan dibawa olehnya kemana pun dan kapan pun. Maka nama ayah dan keluara selalu mengiringinya bukan hanya sepanjang hidup, melainkan sepanjang masa dan sejarah.
Dan oleh karena masyarakat Arab itu patrilineal maka silsilah atau nasab diurut dari garis ayah: nama diri (first name), nama ayah (second name), kemudian nama kakek atau nama keluarga (family name). Jadi garis nasab-nya ke atas. Kadang-kadang, terutama dalam hal nama panggilan (laqob), nasab ke bawah juga banyak digunakan, yaitu dengan menyebut nama anaknya dan kemudian ditambah kata Abu di depannya. Misalnya, Presiden Palestina Mahmud Abas sering dipanggil dengan Abu Mahzen. Pasalnya, beliau mempunyai anak pertama bernama Mahzen: Abu Mahzen, ayahnya Mahzen. Tetapi hal ini tidak khas bangsa Arab. Bangsa-bangsa yang lain juga mempunyai kebiasaan semacam ini. Di Jawa tradisi memanggil seperti itu juga dikenal luas, terutama di pedesaan. “Bapake Endang neng endi?”, atau bahkan juga untuk perempuan: “Mboke Surati”.
Oleh karena orang Arab hanya memiliki satu nama dengan satu kata saja maka tentu akan terjadi banyak nama yang sama. Bagaimana cara membedakannya? Untuk membedakannya maka disebutlah nama orang tuanya dari garis nasab ayahnya. Dulu orang Arab menambah kata Bin (ibnu) atau binti (ibnati) setelah namanya baru kemudian nama ayahnya: Hasan bin Ali, Umar bin Khathab, Fatimah binti Muhammad, dan seterusnya. Tetapi sekarang kata “Bin” atau “Binti” sudah mulai banyak ditinggalkan. Maka banyak yang bernama: Laela Khalid (aslinya Laela binti Khalid), Leena Ayoub (Leena binti Ayoub), Sara el-Cheikh (Sara binti al-Cheikh), Nour Jaber (Nour binti Jaber), dan seterusnya. Jika masih juga sama maka disebut nama kakeknya atau nama keluarganya.
Raja-raja Arab Saudi yang terkenal itu juga hanya diberi nama oleh ayahnya dengan satu kata saja: Fahd, Abdullah, Muhammad, Salman, Nayef, dan seterusnya. Di Arab nama yang paling banyak dipakai adalah Mohammad. Sebuah survei menunjukkan bahwa nama Muhammad atau Mohammad menunjukkan angka tertinggi dibandingkan nama-nama lainnya. Maka bukan hanya nama putra mahkota Kerajaan Saudi Arabia saja yang bernama Mohammad, Amir Abu Dhabi juga bernama satu saja: Muhammad. Untuk membedakan antara Muhammad yang satu dengan Muhammad yang lain, atau dalam hal ini nama Muhammad yang Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi dan Muhammad yang Putra Mahkota Abu Dhabi maka disebutkan lah nama ayahnya: Muhammad bin Salman (disingkat MBS) dan Mohammad bin Zayed (disingkat MBZ). Mohammad yang pertama adalah putra Raja Salman bin Abdul Azis, Raja Kerajaan Saudi Arabia, sementara Mohammad yang kedua yang Putra Mahkota Abu Dhabi, putra amir Zayed, disebut lengkap Mohammad bin Zayed.
Sementara orang Indonesia meskipun namanya panjang dan terdiri dari beberapa nama seringkali tidak ada sangkut pautnya dengan nama orang tua. Misalnya nama Susilo Bambang Yudhoyono. Orang Arab dan Barat akan mengira bahwa Susilo itu nama asli, Bambang itu nama ayah dan Yudhoyono nama keluarga (family). Demikian juga halnya dengan nama Ratna Permata Mutu Manikam Nilamsari. Lima nama itu adalah nama dirinya sendiri belaka. Dalam deretan nama itu tidak ada satupun nama orang tua seperti yang disangka oleh orang Barat dan Arab. Orang Indonesia memang suka nama panjang, setidaknya dua kata, misalnya Joko Wiwoho. Orang Arab dan Barat akan mengira nama aslinya Joko, dan Wiwoho adalah nama ayahnya. Padahal tidak demikian, bukan?
Identitas kultural
Di Lebanon yang masyarakatnya sangat pluralistik dan sektarianistik, nama juga menjadi identitas. Meski hanya satu nama atau satu kata sudah cukup untuk menunjukkan identitas. Nama Ali, Husein, atau Haedar, hampir bisa dipastikan penganut Syiah. Kita hampir tidak akan menemukan nama Aisyah, Umar, Yazid atau Muawiyah di kalangan terakhir ini. Pasalnya, nama-nama tersebut terakhitr itu adalah nama-nama yang luas di kalangan Sunni, Sementara nama Michel, Rene, Nancy, Reymond, Joseph, Edward, atau Pauline, yang terpengaruh agama Kristen dan Barat pastilah dari kalangan Kristen Maronis.
Tetapi di Lebanon ada banyak nama-nama yang sulit dipastikan mewakili identitas kultural yang mana, misalnya Abdullah, Nasrallah, Khairallah, atau Syamsuddin. Pasalnya, saya pernah hadir dalam upacara pemakaman seorang mantan Kardinal Lebanon (2019) di Bkirki yang bernama Nasrallah Sfeir. Sementara Sekretaris Jenderal Hizbullah Lebanon yang sangat populer di seluruh dunia itu juga bernama Nasrallah.
Di Indonesia, terutama di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan, nama-nama Arab juga belum tentu Islam santri
Contohnya adalah nama Amir Syarifuddin, tokoh yang pernah menjadi Perdana Menteri RI itu ternyata bukan hanya bukan Islam, melainkan malah beragama Kristen. Tetapi di Jawa yang mengenal dikotomi santri-abangan nama-nama Arab pastilah muslim dan sekaligus santri. Di Jawa nama-nama santri biasanya diambil dari bahasa Arab atau Al-Quran. Tentu tidak semuanya begitu. Ada juga kalangan santri yang memakai nama-nama Jawa seperti halnya nama priyayi abangan. Dulu tokoh-tokoh Muhammadiyah di Solo kebanyakan memiliki nama-nama Jawa: Siswo Sudarmo, Hadi Wiryanto, Wiryosandjojo, Djojosugito, dan lain-lainnya.
Sementara nama-nama keluarga priyayi dan abangan bisanya diambil dari nama-nama dari nahasa Sansekerta atau dunia pewayangan: Harjuno, Permadi, Kuntadi, Krisno, Noroyono, Yudhistiro, Bima, Gunawan Wibisono, Bambang Irawan, dan lain sebagainya. Meskipun penggemar wayang, orang Jawa jarang sekali yang memakai nama Hanoman, Sugriwo, Anilo, dan Jembawan. Sebab, itu nama-nama tokoh kera. Tetapi ada beberapa orang yang bernama Subali yang nota bene juga salah seorang tokoh kera yang sakti, saudara kandung Prabu Kapi Sugriwo. Demikian juga halnya orang Jawa meskipun idolanya wayang hampir pasti tidak ada yang anaknya diberi nama Dasamuko, Kumbokarno, Duryudono, Dursasono, apalagi Ciktrasi atau Sengkuni. Tetapi kalau nama kerajaannya ada orang Jawa yang pakai nama Kiskendo, nama kerajaan Prabu Sugriwo yang diperebutkannya dengan kakaknya Subali.
Banyak juga orang Jawa yang punya nama panggilan Petruk, Gareng, Bagong, Semar, Togok atau Mbelung. Padahal itu hanya nama pembantu atau punokawan. Ada juga yang diberi nama Indrajid yang nota bene anaknya si angkara murka Raja Rahwana alias Dasamuka. Indrajid ini pembela dan loyalis ayahnya yang jahat itu. Berbeda sekali dengan Gunawan Wibisono, yang meskipin adik laki-laki Raja Rahwana tetapi dia tidak mau membela keangkaramurkaan kakaknya. Jadi wajar orang menggunakan nama Gunawan Wibisono bagi anaknya meskipun ada juga kritik bukankah Wibisono ini dari perspektif negara Alengka dia itu pengkianat? Berbeda dengan Kakanya Kumbokarno yang bersikap lebih patruotik, right or wrong is my country.
Sementara dari kalangan piyayi kelas menengah biasanya diberi nama-nama yang lebih sederhana, seperti Sukarno, Suharto, Suprapto, Sudarmi, dan sejenisnya. Walhasil, dari nama orang bisa mendapatkan informasi dan mengidentifikasikan banyak hal. Tampaknya perlu kita mengembangkan antropologi nama. Mungkin.
Hajriyanto Y. Thohari, Dubes RI untuk Lebanon