Judul Buku : Revolusi Perilaku Keagamaan di Pedesaan Yogyakarta
Penulis : Hyung-Jun Kim
Tebal Buku : xxxiii + 396 halaman
Cetakan : Juli 2017
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Perilaku keagamaan urban/perkotaan lekat dengan Muhammadiyah.Muhammadiyah seringkali dianggap sebagai organisasi yang menyebarkan dakwahnya di kalangan masyarakat “kelas atas” dan tinggal di kota. Pandangan itu tidak salah jika berkaca kiprah Kiai Dahlan di Kauman Yogyakarta. Namun, organisasi reformis ini tidak hanya berkembang dan tersebar di daerah kota, tetapi juga di pedesaan.
Dalam konteks perkembangan Muhammadiyah di pedesaan Yogyakarta, Hyung-Jun Kim melalui buku Revolusi Perilaku Keagamaan di Pedesaan Yogyakarta ini menunjukkan secara gamblang bahwa Muhammadiyah menjadi motor perubahan keberagamaan di daerah pedesaan. Hyun-Jun Kim melalui karya yang diangkat dari disertasinya ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah mampu berkiprah dalam mewarnai sosio-kultural masyarakat desa.
Pengajian
Dalam proses pembauran itu, Guru Besar Antropologi pada Kangwon National University ini menyebut bermula dari pengajian dan diakhiri dengan pengajian pula. Pengajian memainkan peran penting dalam menjembatani para cendekiawan reformis di kota dan para petani buta huruf di desa. Sang khatib yang mengisi khutbah di masjid dusun menjadi audiens dalam pengajian di sekolah-sekolah atau kantor. Sedangkan penceramah di sekolah-sekolah dan kantorkantor adalah peserta dalam pengajian yang disampaikan oleh cendekiawan modernis dari universitas-universitas Islam atau organisasi-organisasi Islam tingkat nasional. Dengan begitu, gagasan-gagasan para cendekiawan reformis secara bertahap menyebar dari kota ke desa (hal. 115-116).
Pengajian menjadi sarana komunikasi dan menjadi ujung tombak penyebaran Muhammadiyah di desa. Melalui pengajian seorang penceramah akan belajar dan memahami sosiologi masyarakat. Saat seorang penceramah mampu memahami kemauan masyarakat, maka ide-ide Islam modernis/reformis sedikit demi sedikit akan diterima oleh masyarakat.
Selain itu, pria kelahiran Seoul, Korea Selatan, 7 Juni 1965 ini menunjukkan bahwa keberadaan Muhammadiyah di pedesaan tak lepas dari upaya para dai dalam memaknai ritual keagamaan. Mereka tidak langsung menyalahkan perilaku itu, namun, dengan jalan melakukan islamisasi ritual keagamaan.
Kontekstualisasi
Hyun-Jun Kim menulis, warga Muslim reformis menempatkan praktik-praktik tradisional ke dalam konteks Islam dengan cara menyuntikkan makna baru kepada praktik-praktik itu. Mereka berupaya menafsirkan kenduri dalam hubungan dengan konsep sedekah (yang dipuji dalam Islam) dan merekontekstualisasi makna-makna makanan-makanan upacara dalam perspektif Islam (hal 205).
Buku ini sungguh luar biasa dalam menjelaskan kiprah Muhammadiyah di pedesaan Yogyakarta. Hyung-Jun Kim membuka mata bagi pengkaji dan warga persyarikatan Muhammadiyah saat ini bahwa, kebesaran Muhammadiyah tidak lepas dari upaya para dai dan penceramah dalam memahami konteks sosio-kultural masyarakat. Memahami warga Muhammadiyah pedesaan adalah proses dinamisasi dan kontekstualisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Buku ini semakin mengukuhkan peran dakwah kultural dan dakwah khusus dalam rahim Muhammadiyah. Selamat membaca.
Benni Setiawan, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan P-MKU Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 17 Tahun 2017