Oleh: Muhda Ashari DW
Masjid menjadi elemen penting bagi umat Muslim. Ibadah shalat memiliki pahala lebih besar apabila dilaksanakan secara berjamaah, tepat waktu, dan tempatnya di masjid. Bahkan umat Muslim juga menjadikan masjid sebagai pusat peradaban, di mana ilmu juga disebarluaskan melalui kajian-kajian di masjid. Kegiatan belajar mengaji dan penanman nilai-nilai agama sejak masa kanak-kanak pun juga dilaksanakan di masjid atau mushala.
Kita dapati bersama bahwa akhir-akhir ini banyak masjid yang dihentikan kegiatan berjamaahnya guna mencegah penyebaran Covid-19. Himbauan untuk tidak melaksanakan salat berjamaah di masjid bukanlah himbauan yang muncul begitu saja, melainkan dilakukan dengan dasar argumen yang kuat dan banyak pertimbangan kemaslahatan tentunya. Masyarakat dihimbau untuk tidak salat berjamaah di masjid dan tidak mengadakan acara yang melibatkan banyak orang seperti pengajian. Maka tugas kita sebagai jamaah yang bijak, hendaknya mentaati himbauan tersebut secara arif dan bijaksana.
Fakta di lapangan ternyata berbicara lain. Masih banyak masjid yang melaksanakan salat berjamaah dengan caranya masing-masing. Ada yang merenggangkan shaf salatnya, sebagian lagi membatasi jumlah jamaahnya. Jadi tetap ada salat berjamaah dengan kondisi yang telah disebutkan tadi. Akhirnya muncul berbagai macam pertanyaan mengenai apakah sah salat yang demikian itu, bagaimana hukumnya sampai pertanyaan tentang solusi terbaik menyikapi hal demikian.
Masalah baru muncul lagi ketika memasuki waktu salat Jumat. Padahal himbauan dari berbagai ormas Islam telah mencapai pada satu kata yang sama yakni meniadakan shalat berjamaah di masjid dan shalat Jumat, khususnya bagi kawasan merah. Sehingga tidak perlu ada pertanyaan-pertanyaan yang justru membingungkan masyarakat. Perlu kita ketahui bersama, bahwa shalat di rumah tidak akan menjadikan kita seorang hamba yang tidak taat.
Allah tidak akan menilai kita sebagai hamba yang lalai apalagi sampai menjadi kafir gara-gara tidak melaksanakan shalat berjamaah di masjid dan juga tidak shalat Jumat di masjid. Kita masih bisa melaksanakan salat fardhu secara berjamaah bersama keluarga di rumah dan mengganti salat Jumat dengan salat Zuhur 4 rakaat.
Hal yang demikian itu tidaklah menjadikan kita rendah di mata Allah, karena Allah akan melihat usaha kita dan kesungguhan kita dalam menjalankan ketaatan kepada Allah meski tidak di masjid. Bahkan kajian-kajian juga sudah dibuat menjadi kajian online. Dengan demikian justru lebih memudahkan. Bukankah Allah menginginkan kemudahan bagi hambanya, namun hambanya sering kali membuat sulit urusannya sendiri.
Ada sisi positif yang perlu kita lihat bersama, bahwa dengan kita mengurangi aktifitas dengan jumlah orang yang banyak di masjid, masjid justru menjadi berperan dalam pencegahan penyebaran Covid-19 ini. Mari kita kembali ke belakang saat Jamaah Tabligh mengadakan acara dengan jumlah orang yang banyak tanpa menghiraukan himbauan dari pemerintah. Alhasil, sepulang dari acara tersebut banyak kasus bermunculan dan banyak yang akhirnya menjadi positif terjangkit Covid-19 tersebut.
Orang-orang secara spontan langsung menyalahkan acara tersebut, bahkan lebih parahnya ada yang menolak menangani mereka yang positif Covid-19 karena kelalaian mereka sendiri. Tidakkah kita belajar dari fenomena di atas? Bagaimana bila sekolah tidak dialihkan pembelajarannya, kampus-kampus tetap kuliah dan tempat-tempat yang serupa tetap beraktifitas seperti biasanya.
Virus ini cepat menyebar ketika dalam kondisi yang ramai atau kerumunan manusia. Sekolah dan kampus pun menjadi bagian yang berpotensi menjadi media penyebaran virus. Maka kegiatan seluruh civitas dialihkan via online dari rumah atau kos masing-masing. Bahkan penulis sempat berfikir ekstrim, bisa saja tempat itu dimusnahkan dan tidak bisa difungsikan kembali seperti semestinya. Maka bagaimana bila banyak masyarakat yang hanya bermodal semangat beribadah saja dan tetap kekeuh melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Itupun tidak hanya satu masjid melainkan banyak masjid, serta dengan jamaah yang banyak pula.
Meskipun mereka menggunakan dalih bahwa asalkan masjid selalu dibersihkan, dijaga agar tetap steril, serta jamaah yang datang adalah mereka yang sehat dan bersih dari rumah, apakah ada jaminan pulang dan pergi dalam kondisi yang sama bersih dan sehatnya? Karena kita tidak tahu dengan cara seperti apa virus itu menyebar dan menempel pada diri kita. Sampai akhirnya, ketika orang-orang masih melaksanakan salat berjamaah di masjid dan ternyata dari situ virus menyebar, masjidlah yang menjadi sasaran untuk disalahkan. Semoga pikiran ekstrim penulis ini tidak terjadi.
Akhirnya, mari kita melihat kembali apa yang telah diusahakan oleh para ahli dalam bidang kesehatan, himbauan dari pemerintah serta para ulama yang telah bersusah payah memikirkan nasib kita semua. Mereka telah berupaya menyelamatkan kita serta meminimalisasi penyebaran virus. Namun masih banyak masyarakat yang ngeyel hanya karena ia semangat dalam beribadah di masjid.
Tidak berjamaah di masjid bukan berarti kita shalat secara munfarid di rumah, karena kita tetap bisa shalat berjamaah dengan keluarga tercinta di rumah. Dalam situasi seperti ini, kajian tidak perlu di masjid, karena kajian sekarang bisa bisa dilakukan secara online. Semoga kita semua senantiasa dilindungi oleh Allah, ibadah kita diterima oleh-Nya dan wabah ini segera diangkat oleh Allah sehingga kita bisa beribadah dengan nyaman di bulan Ramadhan tahun ini. Aamiin Yaa Rabbal’aalamiin.
Muhda Ashari DW, Alumni Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta 2014