Oleh: Dani Putra, S.E, A.k
Sebagian kita sudah sangat terbiasa mendengarkan kajian, tausyiah, dan ceramah mengenai suksesnya orang yang mengaku beriman didasarkan atas dasar hubungan yang baik dengan Tuhannya dan hubungan yang baik dengan sesama manusia. Namun yang jarang menjadi perhatian dalam dakwah adalah suksesnya orang beriman juga ditentukan oleh hubungan yang baik terhadap lingkungan. Dalam Islam dikenal dengan hablu mina Allah (manusia dengan Allah), hablu min an-Nas (manusia dengan manusia), dan hablu min ‘Alam (manusia dengan alam/lingkungan).
Jika merujuk pada al-Qur’an, maka akan ditemukan nilai-nilai/norma-norma dasar tentang interaksi terhadap lingkungan. Pertama, norma Tauhid yang disebutkan di dalam Al-Qur’an surat ke 4 ayat ke 126 tentang konsep kepemilikan mutlak adalah Allah, sedangkan manusia hanyalah dititipkan. Kedua, norma Mizan atau keseimbangan yang merupakan tugas/amanah manusia untuk menghadirkan keseimbangan. Seperti disebutkan di dalam Al-Qur’an surat ke 54 ayat ke 49 dan surat ke 55 ayat ke 6, 7, dan 8. Ketiga, norma Khalifah (pemimpin, penjaga, dan wakil Allah). Norma tersebut disebutkan di dalam Al-Qur’an pada surat ke 2 ayat 30, dan surat ke 6 ayat 165. Keempat, norma Amanah disebutkan di dalam Al-Qur’an surat 45 ayat 12 – 13. Kelima norma Masuliyah (Pertanggung Jawaban dan Hisab) sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Qur’an surat ke 99 ayat ke 7 dan 8.
Konferensi Lingkungan Hidup pertama digelar di Stockholm Swedia, pada tanggal 5-16 Juni tahun 1972. Hal tersebut menjadi salah satu alasan ditetapkan hari Lingkungan Hidup sedunia yang diperingati setiap tanggal 5 Juni atas usulan Jepang dan Senegal yang mengalami wabah Minamata. Konferensi tersebut dilaksanakan dalam rangka merespon perubahan iklim atau climate change yang terjadi di bumi. Perubahan iklim berdampak pada pemanasan global atau kenaikan suhu bumi dari sebelumnya atau yang dikenal dengan global warming disebabkan oleh peningkatan emisi gas karbondioksida dan gas rumah kaca lainnya yang merangkap panas di Bumi. Perubahan iklim berpengaruh terhadap kondisi cuaca di Bumi yang berakibat tidak menentunya kondisi cuaca. Ketidakaturan musim adalah salah satu yang paling kita rasakan.
Manusia adalah penyebab utama atas perubahan iklim dan pencemaran lingkungan. Ketika umur manusia bertamba maka kebutuhan akan energi juga ikut bertambah. Penggunaan bertmahnya kendaraan bermotor, penggunaan listrik yang berlebihan, industri rumah tangga, penggunaan plastik, dan pembakaran hutan gambut adalah penyebab utama dari sekian banyak penyebab rusaknya lingkungan. Belum lagi ditambah dengan perilaku manusia seperti terbiasa dengan membuang sambah sembarangan, hidup boros dalam pengguanaan air, pembangunan yang tanpa melakukan proses AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) pasti akan berpengaruh di kehidupan masa yang akan datang. Entah jangka pendek ataupun jangka panjang.
Hutan Indonesia
Hutan Indonesia adalah salah satu hutan dari tiga hutan yaitu Amazon di Amerika Latin dan Hutan Kongo di Afrika yang berfungsi sebagai hutan yang menjaga keseimbangan iklim di seluruh permukaan bumi. Hutan Indonesia juga disebut sebagai paru-paru bumi. Kelestarian hutan di Indonesia sangat berpengaruh terhadap keseimbangan kehidupan di bumi. Hutan Indonesia sebarannya terbesar di wilayah Papua, Kalimantan, dan Sumatera. Selain itu National Geographic menyebutkan bahwa 70% spesies tumbuhan dan hewan ada di hutan. Bahkan masih ada beberapa penduduk atau manusia asli yang masih sangat bergantung kehidupannya dengan hutan. Beberapa suku tersebut memang selalu berpindah-pindah dalam tempat tinggalnya.
Hutan alami yang berubah menjadi hutan Industri memiliki dampak yang besar terhadap perubahan iklim. Ketika hutan dibuka dengan cara melakukan pembakaran terhadap hutan, maka pepohonan yang menyimpan karbondioksida dari batang sampai akarnya akan langsung terbang ke atas. Hal tersebut yang menjadi bagian dari kontribusi terhadap efek rumah kaca menyebabkan semakin tingginya suhu yang ada di permukaan bumi. Data statistik Lingkungan Hidup Indonesia tahun 2019, menyebutkan bahwa pada tahun 2015 terjadi kebakaran hutan yang menyebabkan dampak emisi gas rumah kaca sebesar 802.870 ribu ton CO2. Belum lagi dengan dampak terhadap berbagai spesies hewan yang dipastikan juga berdampak besar.
Sisa-sisa tumbuhan dan hewan akan menjadi lahan basah gambut. Sebagian besar lahan gambut masih berupa hutan yang menjadi tempat tinggal tumbuh-tumbuhan dan satwa langka. Hutan gambut ini tersebar luas juga di beberapa wilayah permukaan bumi. Seperti di Amerika, Rusia, Kanada, dan Asia Tenggara. Salah satunya adalah Indonesia. Indonesia memiliki ekosistem gambut seluas 24,67 juta ha yang tersebar di empat pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Pada hutan gambut memiliki keistimewaan luar biasa. Hutan gambut mampu menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar dari permukaan hingga di dalam tanah mencapai kedalaman 10 Meter. Hal tersebut sangat bermanfaat untuk menanggulangi banjir pada saat musim hujan dan mampu menyimpan air pada saat musim kemarau.
Gambut yang terbakar akan sangat sulit dipadamkan meskipun dalam kondisi lembab. Karena akarnya sangatlah dalam. Ketika terbakar akan menimbulkan asap yang sangat banyak. Hal inilah yang mengakibatkan dampak besar terhadap atmosfer dan menimbulkan efek rumah kaca sehingga memicu perubahan iklim. Dalam rangka melakukan normalisasi terhadap hutan dibutuhkan energi yang sangat banyak dan waktu yang panjang. Oleh karena itu hutan dan satwa yang ada di dalamnya adalah kewajiban kita semua untuk menjaganya dan mencegah deforestasi sebagai pembuktian atas takdir makhluk yang berakal.
Masa Depan Kehidupan
Beberapa waktu yang lalu salah satu media memberitakan bahwa sejak tahun 1970 sampai dengan hari ini beberapa wilayah Jakarta telah mengalami penurunan tanah 4 meter. Wilayah-wilayah tersebut di setiap tahunnya mengalami penurunan tanah 5-10 cm. Sejarawan menyebutkan bahwa Jakarta di masa lalu adalah wilayah yang memiliki banyak rawa-rawa. Maka menjadi logis mengapa Jakarta setiap kali hujan turun di beberapa wilayah mengalami bencana banjir siapapun Gubernurnya. Bahkan tanpa hujanpun Jakarta terkadang mengalami banjir jika Bogor dan beberapa wilayah penyangganya mengalami hujan deras.
Namun saat ini Banjir tidak lagi dan selalu identik dengan Jakarta. Beberapa wilayah di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Bahkan tidak hanya mengalami banjir, tapi bencana lainpun ikut hadir. Seperti Banjir disertai Longsor di Sukajaya, banjir di tol Cipali, dan beberapa wilayah yang seolah tidak terprediksi untuk mengalami bencana atau sudah diikhtiarkan untuk tidak mengalami bencana.
Jika merujuk kepada data dari UN-ISDR PBB menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara dengan resiko terbesar Tsunami dari 265 negara, resiko bencana longsor peringkat pertama dari 162 negara, resiko gempa Bumi peringkat ke tiga dari 153 negara, dan resiko banjir dengan peringkat ke enam dari 162 negara. Sungguh negeri kita adalah negeri yang seharusnya masyarakatnya memiliki pemahaman yang komprehensif tentang potensi dan resiko negaranya. Selain itu masyarakat Indonesia seharusnya sudah pandai dalam tanggap gawat dan mitigasi bencana.
Bencana diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, Bencana alam. Bencana Alam adalah bencana yang terjadi murni atas alam yang mengalami perubahan seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan sebagainya. Kedua Bencana non Alam. Bencana tersebut adalah yang terjadi atas kontribusi manusia seperti genosida, peperangan, kerusuhan, dan lainnya. Walaupun disisi lain ada bencana yang terjadi atas akumulasi perilaku manusia yang dilakukan sekian lama dan bepengaruh terhadap kondisi alam dan lingkungan.
Masa depan manusia jika merujuk pada al-Qur’an dalam pembangunan dan dinamika kehidupan harus memperhatikan norma-norma atau etika yang ada di dalamnya. Karena etika tersebut lahir dari yang Maha Memiliki, Menguasai, Menciptakan, dan Mengetahui seluruh alam semesta. Dia paling tau apa yang paling tepat untuk manusia dalam rangka menyukseskan fungsi kekhalifahan. Rahmatan Lil ‘Alamin tidak akan mungkin hadir dari makhluk lain selain manusia. Manusia beriman harus mampu menyeimbangkan kebutuhan manusia dan keseimbangan alam semesta. Kota atau wilayah modern seharusnya tidak lagi tentang gedung yang tinggi. Kota modern adalah kota yang mampu menghadirkan keseimbangan kehidupan antar sesama makhluk. Mulai saat ini, mari kurangi konsumsi hal-hal yang berpotensi merusak alam. Semua harus eco friendly agar manusia kehidupannya tetap berlangsung dan maqosyid syari’ah tercapai. Wallahu a’lam
Dani Yanuar Eka Putra, Ketua PDPM Kota Depok, Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta, Tenaga Pendidikan SMA Muhammadiyah 04 Depok, Alumni Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta