Oleh: Ichsanul Rizal Husen
Beberapa hari yang lalu di masjid dekat rumah kawan saya, ada seorang jamaah masjid setempat yang ngotot meminta agar shalat jamaah di masjid tetap diselenggarakan. Tidak peduli dengan Covid-19 yang sedang mewabah sekarang ini. Orang ini dengan yakin berpendapat bahwa ada oknum tertentu yang sedang berusaha untuk memecah belah umat Islam dan berusaha untuk menjauhkan umat Islam dari masjid. Mendengar hal itu, kawan saya berusaha menjelaskan alasan tidak diselenggarakannya shalat berjamaah di masjid tersebut.
Meskipun telah diberi penjelasan logis serta dengan dalil yang jelas, jamaah ini tetap ngotot dan tidak mau menerima penjelasan yang dituturkan kawan saya. Beliau tetap tegas berpendapat bahwa shalat berjamaah di masjid harus tetap diselenggarakan tanpa ada rasa takut karena kita hanya boleh takut kepada Allah, bukan kepada Covid-19.
Mendengar cerita kawan saya mengenai orang tersebut, saya jadi teringat kisah Nabi Ibrahim ketika beliau selesai menghancurkan 72 berhala sesembahan dan menyisakan satu berhala paling besar. Raja Namrud dan Kaumnya terkejut saat menyadari sesembahan mereka telah dihancurkan. Ketika raja Namrud bertemu Nabi Ibrahim, dia bertanya, “Apakah kamu yang telah menghancurkan Tuhan-Tuhan kami?”. Kemudain dengan cerdik Nabi Ibrahim menjawab, “Coba tanyakan kepada berhala yang paling besar dan tidak hancur tersebut”. Dengan geram raja Namrud justru menjawab, “Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak mungkin dia yang menghancurkan patung-patung lainnya”. “Lantas mengapa kalian menyembahnya?”, balas Nabi Ibrahim.
Dari kedua kasus di atas, dapat kita sadari bahwa dalam banyak kesempatan, logika pun tidak bisa menjadi pencerah bagi mereka yang lebih dulu melahap dogma tanpa nalar serta fanatik terhadap suatu pandangan tertentu. Terlebih lagi, adanya kecenderungan bias konfirmasi pada tiap individu, yaitu kecenderungan seseorang untuk mencari dan menerima bukti-bukti yang sesuai dengan keyakinan mereka serta menolak bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinannya.
Kemudian kecenderungan ini semakin memperkokoh kejumudan dan kekolotan seseorang dalam berpikir. Sehingga, sehebat apapun dan selogis apapun argumen yang diberikan, akan sangat sulit membalik keyakinan orang semacam itu. Mirisnya lagi, apabila dahulu penolakan terhadap nalar dan kebenaran terjadi antara Nabi Ibrahim dan orang-orang kafir. Pada masa kita sekarang, penolakan tersebut malah banyak terjadi diantara umat Islam sendiri.
Tong Kosong Nyaring Bunyinya
Peneliti Psikologi dari Cornell University, David Dunning dan Justin Kruger, melakukan penelitian pada tahun 1999 mengenai kondisi ketika seseorang merasa bahwa dirinya cerdas, padahal kenyataannya sama sekali tidak. Hasil penelitian tersebut secara singkat menjelaskan bahwa semakin tidak berkompeten seseorang dalam suatu persoalan, maka semakin dia yakin bahwa sebenanya dia berkompeten. Atau dengan bahasa yang lebih kasar, semakin bodoh seseorang maka semakin dia yakin bahwa dirinya tidak bodoh.
Kemudian teori tersebut dikenal juga sebagai “Dunning-Kruger Effect”. Kondisi tersebut memicu seseorang untuk terus berbicara mengenai persoalan yang sebenarnya tidak benar-benar dipahaminya. Karena keyakinan bahwa dia paham apa yang dibicarakan dan tidak menyadari bahwa sebenarnya dia tidak paham sama sekali.
Setelah diselisik lebih jauh, alasan khusus terjadinya “Dunning-Kruger effect” lantaran rendahnya “metakognisi” seseorang. Metakognisi sendiri ialah kemampuan untuk menyadari kesalahan, dengan mengambil jarak, atau membayangkan sedang menilik perbuatan sendiri melalui sudut pandang lain, kemudian sadar bahwa anda telah melakukan kesalahan. Seorang penyanyi tentu saja harus bisa menyadari kesalahannya sendiri tatkala nada yang dinyanyikannya tidak sesuai atau salah. Begitu juga sebaliknya, orang yang tidak mampu menyadari kesalahan nada tentu saja tidak cocok untuk bernyanyi dan menjadi penyanyi.
Apabila diamati dengan saksama, akhirnya kita dapat memahami penyebab banyaknya orang yang baru secuil mengicipi ilmu agama, tetapi sangat vokal dalam menyampaikan pengetahuan terbatas yang dimilikinya. Percaya diri untuk menceramahi setiap orang dengan imajinasi bahwa ia paham dan memiliki keluasan ilmu agama. Cukup beruntung apabila lawan bicaranya pasif dalam berkomunikasi dan secara sabar mau mendengarkan ceramah tersebut.
Akan tetapi, coba bayangkan apabila dua orang yang sama-sama tidak paham betul mengenai pokok pembicaraan, secara masif terkena bias konfirmasi, dan tentunya memiliki kapasitan metakognisi yang rendah. Mempunyai pandangan berbeda terhadap suatu persoalan dan mulai saling berdebat. Jangankan ikut di dalam perdebatan tersebut, menontonnya saja pasti sudah sangat menyebalkan. Mau menunggu mulut berbusa pun tidak akan sampai pada konklusi yang memuaskan. Karena keduanya sama tidak sadar akan kesalahan masing-masing. Hingga perdepatan hanya akan berakhir dengan sakit di hati.
Sebatas Tambahan Jumlah
John Naisbitt memperkenalkan istilah high tech high touch pada Oktober 1999 melalui bukunya dengan judul yang sama. Dalam buku tersebut John bertanya, “apakah teknologi menghemat waktu kita sehari hari atau justru menciptakan kehampaan yang harus diisi dengan lebih banyak kegiatan?” John menekankan bahwa kemajuan teknologi seharusnya dibarengi dengan meningkatnya nilai kemanusiaan dan kesadaran emosional antara tiap individu. Atau sebagaimana dimaknai Haidar Bagir sebagai peningkatan nilai spiritualitas pada tiap orang. Sehingga teknologi dapat menyelesaikan persoalan seseorang di aspek tertentu dan tidak menambah masalah di aspek lainnya.
Sayangnya banyak perkembangan yang terjadi tidak seperti harapan John. Kebanyakan kemajuan teknologi malah dibarengi dengan melemahnya spiritualitas seseorang, menjadi sebuah fenomena diragukannya otoritas agama dalam kedupan. Semakin berkembang teknologi, semakin matrialistis pula pandangan hidup banyak orang.
Di sisi lain, terdapat juga orang-orang yang akhirnya muak menghadapi semrawutnya kehidupan seiring berkembangnya teknologi. Kebanyakan dari mereka adalah orang yang dikecewakan atau merasa putus asa dengan sistem yang telah ada. Hingga akhirnya, muncul dua gelombang besar yang sama kuatnya, yaitu keraguan terhadap agama dan keinginan untuk lebih serius dalam beragama.
Seolah apa yang muncul dari buah pikirannya adalah representesi Islam secara keseluruhan. Sangat disayangkan apabila akhirnya Islam yang penuh cinta kasih dan sangat rasional, gagal dipahami sebagai mana mestinya oleh orang awam. Selain itu, mereka yang lebih dulu mulai meragukan otoritas agama dalam hidup, akan semakin menjauh dan sulit untuk dirangkul kembali apabila Islam diproyeksikan sebagai agama dogma tanpa nalar rasional.
Munculnya fenomena “beragama dengan serius” bisa jadi malah menjadi bumerang bagi umat Islam. Apabila tambahan jumlah tersebut tidak diarahakan sebagaimana mestinya. Penulis sendiri tidak benar-benar tahu langkah apa yang harus dilakukan untuk mengatasi persoalan umat ini. Tentunya pusing betul bapak ibu kita yang dengan segenap jiwanya diabdikan untuk memikirkan umat.
Oleh karena itu, seminimal mungkin penulis sendiri berusaha untuk tidak menjadi salah satu potensi masalah umat tersebut dengan tidak ngeyel sebagai orang awam. Serta berusaha sekuat mungkin untuk tidak membicarakan persoalan yang penulis tidak pahami betul. Meskipun bisa jadi, sekarang penulis sedang melakukannya. Wallahua’lam
Ichsanul Rizal Husen, Alumni Mu’allimin Muhammadiyah Yk. dan Alumni Jambore Pelajar MAARIF Institute